Pandangan Agama terhadap Fungsi dan Peranan Pariwisata

http://icmisumbar2007.blogspot.co.id/2016/05/religiousitas-dan-ideologi-dari.html

Pandangan Agama

terhadap Fungsi dan Peranan Pariwisata*


Oleh Dr. H. Shofwan Karim Elha, M.A.w

I.  Pendahuluan

Agama sebagai suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk dengan kehendak dan pilihannya sendiri mengikuti peraturan tersebut, guna mencapai kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat (Mu’in, 1986:121) . Secara amat ringkas agama sebagai yang dipahami seara umum  adalah ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul (Nasution, 1979: 10). Islam adalah agama wahyu yang disebut al-Din. Ia  mencakup tatanan semua segi kehidupan manusia tentang  akidah (teologi), ibadah (ritual), akhlak (etika) dan muámalah (sosio-kultural). Secara umum ketercakupan itu merupakan pengaturan  hubungan dengan Allah dan hubungan sesama manusia. [1]  Para ulama klasik menyebut Islam itu adalah aqidah dan mu’amalah. Yang disebut mu’amalah itu dibaginya dua yaitu mu’amalah yang berhubungan dengan  Tuhan dan muámalah yang berhubungan dengan manusia. Pada umumnya mereka mendekati ajaran Islam secara doktriner, tekstual (nash). Ulama kontemnporer  Syaikh Mahmud Syaltut menyebut Islam itu adalah akidah dan syariah. Syariah dibaginya menjadi  ibadah, akhlak dan muámalah.  Sementara Fazlur Rahaman menyebut pokok ajaran Islam ada tiga: percaya kepada keesaan Tuhan; pembentukan masyarakat yang adil dan kepercayaan hidup setelah mati. Untuk lebih memudahkan pemahaman para ulama yang masyhur merinci lagi Islam sebagai Aqidah, Ibadah, Akhlak dan mu’amalah. Di dalam akidah dan ibadah pandangan agama dibimbing oleh satu kaidah: jangan lakukan sesuatu yang berhubungan dengannya kecuali yang disuruh atau mempunyai dalil (nash) yang kuat. Didalam akhlak dan muámalah berlaku kadidah lakukan sesatu kecuali yang dilarang.  
Dari struktur pendekatan tadi nampaknya ajaran Islam pada dasarnya membahas masalah hubungan terhadap  tiga pokok : Tuhan,  alam , dan manusia atau teologi, kosmologi dan antropologi (Mukti Ali,1989:42). Oleh karena itu Islam sebagai  al-din al-syumuli, agama yang meliputi segala hal atau kaffah, harus memberikan kontribusi, wazan, jugement atau pertimbangannya terhadap aktivitas hidup dunia modern yang tidak bisa lepas dari tiga hal tadi, termasuk dunia kepariwisataan. Dunia kepariwisataan termasuk  sub sistem kehidupan yang merupakan bagian dari muámalah, atau kehidupan sosial kemasyarakatan, ekonomi, budaya dan seterusnya.

Pengembangan kepariwisataan merupakan agenda nasional harus ditopang oleh kekuatan masyarakat. Untuk itu kepada warga masyarakat seyogyanya secara spontan atau terprogram harus memahami, mengapresiasi, serta berpartisipasi dan pada gilirannya sangat peduli dan bertanggungjawab di dalam pengembangan kepariwisataan. Untuk maksud tersebut, maka umat beragama harus memahami fungsi dan peranan kepariwisataan dan bagaimana pandangan agama terhadap hal ini, merupakan diskusi berikut ni.

II. Memahami Pariwisata

            Kosa kata pariwisata berasal dari kata “pari” yang berarti banyak, berkali-kali, berputar-putar dan “wisata” artinya bepergian atau pelayanan. Jadi pariwisata berarti suatu kegiatan perjalanan atau bepergian yang dilakukan dari satu tempat ke tempat lain, dengan tujuan bermacam-macam. (Suara Muhammadiyah, 1988:22).
  Di dalam makna yang umum kepariwisataan (tourism) terambil dati kata tour atau perjalanan. Menurut kamus Encarta, tour·ism (n) 1. the visiting of places away from home for pleasure 2. the business of organizing travel and services for people traveling for pleasure. Tourisme berarti (1) kunjungan ke suatu atau beberapa tempat yang jauh dari rumah untuk kesenangan: (2) urusan yang berhubungan dengan penyelenggaraan dan pelayanan bagi orangan yang melakukan perjalanan untuk kesenangan.
Di dalam bahasa Arab, kosa kata untuk berpergian atau melakukan perjalanan khusus  bersang-senang disebut rihlah . Berbeda dengan safara yang berarti bepergian untuk tujuan yang lebih umum.  Kata rihlah ini juga telah disinggung Al-Qurán sebagai lambang rutinitas orang Quraisy yang biasanya melakukan perjalanan di musim dingin dan musim panas. [2]
            Secara garis besar tujuan perjalanan pariwisata itu dibedakan antara :
(1)     Business tourism, yaitu perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang dengan tujuan dinas, perdagangan, atau yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti menghadiri kongres di dalam mapun di luar negeri, seminar, konprennsi, simposium , musyawarah dan lain-lain.
(2)     Vacational tourism, perjalanan uantuk berlibur datau cuti.
(3)     Educatitonal tourism, perjalan untuk kepentingan pendidikan, studi dan penelitin dll.
Sementara itu dilihat dari sebgi obyeknya, pariwisata itu dapat ditinjau dari beberapa jenis:
(1)    Cultural tourism, wisata kebudayaan, seni, dan pertunjukan tradisoional serta penampilan dan atraksi budaya pada umumnya, kunjungan ke lokasi  peninggalan  masa lalu, pusat kepurbakaan dst.
(2)    Recuperational tourism,  jenis kepariwisataan penyegaran dan kesehatan, kepegunungan, ke darerah tertentu dan lain-lain.
(3)    Commercial tourism, yaitu kepariwisataan yang dikaitkan dengan kepentingan usaha daganag, kontak produsen dan konsumen, kontak dagang saling mengtuntungkan dan sebagainya.
(4)    Sport tourism, wisata untuk menyaksikan event olahraga nasional dan internasional seperti PON, Olympiade, formula, champion dll.
(5)    Poltical tourism, perjalanan menyaksikan peristiwa-peristiwa tertentu di  berbagai negara seperti Pemilu, pelantikan Presiden dan Kepala Negara, Raja, upaya kenegaraan dll.
(6)    Advantural tourism, yaitu perjalanan petualangan, hiking, jelajah laut, hutan, gunung, arung-jeram dan lain-lain.
(7)    Sosial tourism, kunjungan wisata sambil memberikan bantuan pangan, pakaian dan obat-obatan  ke suatu tempat atau masyarakat .
(8)    Religious tourism, yaitu perjalanan wisata bernuansa keagamaan , termasuk umrah,  haji dan seterusnya.

Pada dua atau tiga dekade lalu dunia perjalanan wisata itu   disederhanakan  orang menjadi sun, sand, and smile (matahari, pasir pantai, dan senyuman). Beberapa waktu yang agak panjang pada dekade lalu ada pula istilah wisata seks. Karena pada waktu itu ada negara tertentu yang menjajajakan wisatanya dibumbui oleh penyediaan jasa  seks komersial itu. Pada halk, wisata jenis ini merupakan penyimpangan dari aslinya yanag dimaksud kepariwisataan itu.
Belakangan di Indonesia mengenal pula apa yang disebut wisata ziarah yang pada dasarnya merupakan  bagian dari wisata budaya tadi. Bahkan ada pula yang menyebut pada akhir-akhir ini sebagai wisata religi atau agama. Yang disebut terakhir ini tentu mempunyai dasar yang relevan juga. Bukankah perosesi  haji itu sendiri oleh beberapa kalangan disebut sebagai wisata jasmani dan ruhani atau wisata agama.
Di dalam Bahasa Inggris hajji yang biasa disebut pilgrimage itu, juga disebut sacred journey atau perjalanan suci. Sementara di dalam Islam sendiri ibadah haji berarti jawaban untuk memenuhi panggilan Allah sesuai do’a Nabi Ibrahim as. Sebagai lambangt akidah tauhid untuk  kebesaran Allah swt dan merupakan tuntunan yang mesti dilakukan setiap muslim dan muslimat yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya. Ibadah hajji menjadi rukun (pilar) Islam yang ke-5 berdasarkan firman Allah di dalam  al-Qurán. [3]
Sementara itu di dalam kaitan dengan nilai-nilai ideal dari kepariwisataan bagi Islam adalah bagaimana ummatnya mengambil i’tibar atau pelajaran dari hasil pengamatan dalam perjalanan yang dilakukan sebagai diisyaratkan al-Qurán (QS,6 :11) [4].   Menurut Mufassir al-Maraghi, perjalanan manusia dengan maksud dan keperluan tertentu di permukaan bumi harus diiringi dengan keharusan untuk memperhatikan dan mengambil pelajaran dari peninggalan dan peradaban bangsa-bangsa terdahulu seperti yang dinyatakan pada ayat tadi dan berikut, QS Fathir,35 : 44.[5] 
Selanjutnya Al-Qur’an menggambarkan pula apabila manusia itu mau  memperhatikan, mereka akan dapat melihat dan mengetahui bahwa dalam alam sekelilingnya, malah pada diri mereka sendiri (jasmaniiah dan ruhaniah) berlaku peraturan-peraturan sunnatullah (M. Natsir, 1969 :4) [6]  Pada bagian lain Al-Qur ‘an menekankan perlunya jaminan keamanan suatu daerah atau negara serta fasilitas yang tersedia bagi para wisatawan. Hal ini ditekankan oleh Mufassir al-Qurthubi ketika memahami QS Saba’ 34: 18. [7]

III. Fungsi dan Peranan Pariwisata

Apabila direnungkan secara mendalam, berdasarkan uraian di atas tadi maka dilihat dari makna substantif dan jenis pariwisata serta kategori wisata dilihat dari objek dan kegiatan ideal yang hendak ditujunya, maka fungsi wisata pada dasarnya adalah aktivitas luar dan di dalam ruangan (out door and indoor  activities) perorangan atau kolektif  untuk memberikan kesegaran dan semangat hidup baik secara jasmani mapun rohani.
Fungsi kepariwisataan yang demikian ternyata di dalam perakteknya dapat dikembangkan  di dalam berbagai peranannya dalam kehidupan manusia baik secara individu maupun kolektif. Di antaranya pariwisata berperanan di dalam perkekonomian keluarga, kelompok bahkan pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, bidang pariwisata termasuk bidang poembangunan ekonomi. Karena semua kegiatan pariwisata memberikan aktivitas prima terhadap pertumubuhan ekonomi.
Pariwisata berperanan di dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Wisata pendidikan baik domistik maupun mancanegara, maka pemahaman tentang ilmu pengatahuan dan teknologi, pemahaman atas peritiwa masa lalu, sejarah, kepurbakalan dan sebagainya akan menambah wawasan yang lebih tercerahkan.
Pariwisata ternyata juga berperanan di dalam mengembangkan semangat, rasa dan kesadaran keberagamaan (religousness)  manusia. Bahkan wisata di dalam Islam seperti telah disiinggung di atas merupakan bagian tak terpisahkan dengan ibadah seperti ibadah haji yang melakukan prosesi dan safari suci  Makkkah, Arafah, Muzdalifah, Mina dan kembali ke Mekkah. Ziarah ke kota dan masjid nabawi di Madinah dan tempat-tempat bersejarah lainnya di sekitar Mekkah dan Madinah. Bahkan sekarang berkembang wisata ibadah umrah plus mengunjungi berbagai temnpat bersejarah di negara-negara Timur Tengah. Tentu saja wisata agama ini bukan hanya milik Islam, bahkan hampir semua agama memiliki wisata jenis ini dengan segala variasinya menurut kepercayaan dan sosial budaya mereka.
Pariwisata dengan demikian mempunyai peranan yang  amat luas di dalam kehidupan manusia. Akan tetapi wisata yang menyimpang dari norma ideal haruslah disingkirkan seperti wisata seks. Wisata hiburan yang mengarah kepada eksplorasi dan eksploitasi seks dan wanita dan pria yang mengutamakan kesenangan fisik yang rendah bersifat hedonistik dan erotik untuk kepuasan lahiriah dan naluriah hewaniah inilah yang menjadi malapetaka yang pada ujungnya membuahkan penyalahgunaan obat terlarang dan bahkan menjadi sarang berkembangnya HIV dan Aid, mungkin pula sars. 

IV. Pandangan Agama dan Sarana dakwah .

            Seperti telah disinggung pada bagian terdahulu, maka pariwisata termasuk komponen keagamaan yang tercakup di dalam bagian muámalah sebagai wujud dari aspek kehidupan sosial budaya dan sosial ekonomi. Di dalam muámalah, pandangan agama terhadap sesuatu aksi sosial dan amaliah senantiasa disandarkan  kepada makna kaidah  yang disebut maqashid al-syari’ah. Oleh Ibn al-Qaiyim al-Jauziah (19977:14)  syariát itu senantiasa di dasarkan kepada maqashid syari’ dan terwujudnya kemaslahatan masyarakat secara  kseseluruhan baik di dunia maupun di akhirat .
            Di samping itu tentu  juga harus dipertimbangkan antara kemaslahatan (manfaat) dan mafsadah (keburukan), di mana menghindari keburukan jauh lebih baik daripada mengambil kebaikan . Sebangun dengan itu, mengambil yang terbaik daripada yang baik harus pula diutamakan
            Di dalam kaitan ini maka bila dunia priwisata membawa kepada kemanfaatan maka pandangan agama adalah positif, tetapi bila sebaliknya, maka agama niscaya melarang kegiatan wisata itu. Di dalam hal ini belaku kaidah menghindari  keburukan (mafsadah) lebih utama daripada mengambil kebaikan (maslahat).
            Oleh karena itu pnadangan agama akan positif kalau dunia kepariwisataan itu dijalankan dengan cara yang baik untuk mencapai tujuan yang baik. Agama akan negatif terhadap wisata walupun tujuan baik untuk menyenangkan manusia dan amasyarakat tetapi dilakukan dengan cara-cara yang menyimpang dari kemauan syariat, maka hal itu  ditolak.
             Wisata yang menyimpang pasti bertentangan dengan agama. Terhadap hal ini, agama apa pun mengharamkannya. Lebih dari itu, pariwisata dapat pula menjadi media dakwah untuk membangun kesadaran, keimanan dan ketaqwaan serta mencapai nilai-nilai kehidupan yang tinggi luhur.
            Apabila dakwah diharapkan sebagai salah satu di antara media pengembangan dunia kepariwisataan, maka paling tidak ada beberapa komponen yang perlu dipertimbangkan. Pertama, da’i sebagai subyek  diharapkan  dapat menjadi motivator dan memberikan nilai-nilai ideal dalam pengembangan kepariwisataan. Untuk itu tentu saja diperlukan suatu pendekatan persuasif atau interaksi dan komunikasi yang produktif antar pelaku dunia wisata seperti PHRI, ASITA, Dinas Pariwisata dan seniman serta budayawan yang bergerak di dunia kepariwisataan ini bersama da’i. Semua aktifitas yang baik dan mengandung nilai-nilai positif serta dilaksanakan dengan cara yang baik, tentulah bernilai ibadah.[8]
Yang diperlukan bagi para da’i adalah suatu pemahaman bahwa dunia wisata adalah bagian dari kebutuhan jasmani dan  ruhani manusia yang terbimbing ke arah yang baik dan benar, terjauh dari yang berbau maksiat. Simbol-simbol kepariwisataan di antaranya dibolehkannya atau bahkan dibiasakannya petugas hotel dan wisata memakai busana muslim dan muslimah, tentu saja akan membuat para da ‘i terjauh dari prasangka buruk. Dunia perhotelan haruslah dijauhi dari hal-hal yang  bertentangan dengan nilai dan  budaya Islami.
Selanjutnya pengaturan tamu hotel yang tidak membolehkan penggunaan obat terlarang dan pencegahan  praktek-praktek pergaulan lintas jenis kelamin yang tidak syah, secara implisit merupakan bentuk dakwah yang menunjang kepariwisataan. Begitu pula pertunjukan yang disajikan seniman atau pelaku seni pada dunia wisata ditampilkan dalam batas-batas kewajaran tentu akan dapat diterima secara wajar pula oleh para da ‘i khsusunya dan ummat beragama yang taat pada umumnya.
Kedua,  komponen pesan atau isi da’wah.  Para pelaku aktivitas dakwah, di antaranya da’i, jama’ah pengajian, majelis ta’lim dan lainnya dapat diberdayakan pula untuk mengajak masyakat luas menggunakan fasilitas wisata seperti toilet umum, tempat tempat umum dan objek wisata sebagai sesuatu yang  mesti dipelihara kerapihan, kebersihan dan kenyamanannya secara bersama-sama  dan untuk kemaslahatan (kebaikan) bersama. Terhadap turis mancanegara, para da’i dapat berperanan mengajak masyarakat untuk menghormati mereka secara wajar tidak berlebihan atau sebaliknya melecehkan.
Ketiga,  para pekerja sektor wisata seperti sopir angkutan wisata, interpretor dan pemandu wisata, travel agent, tour leader (pimpinan perjalanan) dan  pramuwisata lainnya pada dasarnya adalah pelaku dakwah bil-hal atau dakwah dengan perbuatan. Apabila mereka menjalankan tugasnya secara baik, etis atau berakhlakul karimah, dan bagi yang beragama (Islam) menjalankan ibadahnya serta menyediakan waktu pula bagi peserta wisata menjalankan ibadah mereka, maka otomatis mereka bekerja sambil berdakwah.
            Keempat, objek wisata yang memberikan dampak nilai-nilai sepiritual yang biasa disebut wisata ziarah atau wisata budaya diharapkan semakin diperkaya di samping objek lainnya. Begitu pula item-item dan panjangan bernilai sejarah, kultural, dan bernuansa religi yang terdapat di museum, gallary dan sebagainya seyogyanya diperkaya dengan hasil karya dan produk serta peninggalan yang menunjukkan jati diri bahwa artifak bernuansa agama juga tertampilkan dalam visualisasi  yang memadai.
            Kelima, fasilitas, perlengkapan, peralatan, akomodasi dan konsumsi. Pada setiap tempat objek wisata hendaknya di samping dilengkapi dengan toko souvenir, toilet dan sebagainya, seharusnya disediakan tempat sholat atau tempat ibadah serta keran air untuk berwuduk yang bersih dan  memadai. Penyediaan ruangan ibadah, sajadah, kitab suci al-Qur’an di laci meja  atau fasilitas ibadah di dalam kamar atau di ruangan lain bahkan tempat khusus komplek perhotelan, tentulah semuanya itu menjadi media dakwah yang komplementer. Lebih dari itu, makanan dan minuman yang disajikan terutama untuk wisatawan lokal dan domistik, harus dijamin kehalalannya. (Shofwan Karim, 2003:6-8)

IV. Penutup.

Dengan bahasan beberapa landasan normatif-tekstual dan empirik aktual  tadi tidak ada alasan bagi umat Islam untuk bersikap pasif di dalam mengembangkan dunia kepariwisataan. Karena nilai-nilai ideal Islam seperti yang diisyaratkan firman Allah swt tadi tidak ada yang bertentangan dengan kepariwisataan yang bersifat ideal. Akan tetapi bila kepariwisataan itu hanya berkisar antara sun, sand smile and sex ,  dengan lebih mementingkan berjemur diri di panas pantai dengan pameran aurat dan penyalahgunaan dunia entertainment  (hiburan) serta  pergaulan hidup di luar ketentuan syari’at, maka hal itu bertentangan dengan nilai-ideal dan tentu saja tidak mungkin bersesuaian dengan pandangan agama ( Islam).  ***  

Kepusatakaan
Al-Qur’an al-Karim.

Encarta. Encylopedia Delux. Microsoft: t.t.p, 2002. CD 2

PTIQ. 1983. Pancaran Al-Qur’an terhadap Pola Kehidupan
Bangsa Indonesia. Jakarta .  Pustaka Al-Husna.

Karim, Shofwan. 2003. “ Dakwah sebagai Media Pengembangan 
             Kepariwisataan.”.  Padang:  Dinas Parsenibud Sumbar.
Makalah.Forum Pertemuan antara Seniman, Budayawan,
Pemuka Agama, Adat serta Usaha Pariwisata (PHRI-
ASITA) dan MUI, 16 Juni di Bumi  Minang Hotel. 

Muhammadiyah, Suara. 1988. “Industri Pariwisata”. Yogyakarta.
PP Muhammadiyah.  No. 18/68.

Mu’in, KHM Taib Thahir Abd. 19866. Ilmu Kalam. Jakarta.
Wijaya. Cet. VIII.

Natsir, M. 1969. Fiqhud-Da’wah : Jejak Risalah dan Dasr-dasar
Da’wah. Jakarta: Kiblat.

Nasution, Harun. 1979. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.
Jakarta. UI Press. Jilid I.







* Makalah disampaikan pada Pelatihan/Pemantapan Adat, Akhlak dan Budaya Alam Minangkabau unsur Muballigh Kota Padang, 24-30 Juli 2003, Gedung Abdullah Kamil, Padang. Edit ulang, 09.5.2016.
w Pengasuh Mata Kuliah Pemikiran Modern di Dunia Islam (PMDI) Fak.Ushuluddin IAIN Imam Bonjol Padang dan  Program Pascasarjana UMSB , serta   Ketua PW Muhammadiyah Sumbar.








[1]
 
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. (Q.S. 3: 112)


[2]
Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. (QS, Quraisy, 106: 1-2).
[3]

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfa`at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. QS, Alhaj, 22:27-28)

[4]
Katakanlah: "Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu". (QS, Al-An’am, 6:11)
[5]
Dan apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka, sedangkan orang-orang itu adalah lebih besar kekuatannya dari mereka? Dan tiada sesuatupun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (QS, Fathir, :44)
[6]
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (QS, Fushilat, 41: 53).
[7]
Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam dan siang hari dengan aman. (QS, Saba’  : 18).
[8]  
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (Al-Zaariyat, 51 : 56)

Komentar

Postingan Populer