Yudi Latif, Kejarangan Membawa Nilai
Oleh: SUBUR TJAHJONO
Dari biodatanya terbaca bahwa sejak kecil ia adalah siswa yang menonjol. Predikat sebagai siswa terbaik atau mahasiswa teladan adalah hal biasa. Bahkan, sejak sekolah menengah pertama di Kecamatan Jampangkulon, Sukabumi, hingga lulus studi doktor (Strata 3) di Canberra, Australia, ia selalu mendapat beasiswa untuk membiayai pendidikannya. dia adalah Dr Yudi Latif (41), Direktur Eksekutif Reform Institute.
Lembaga kajian untuk reformasi institusi dan kebijakan publik itu belakangan ini mulai populer dengan sejumlah risetnya, terakhir tentang Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Yudi Latif lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 26 Agustus 1964. Dari autobiografi intelektualnya yang berjudul Dari Islam Sejarah, Memburu Islam Ideal, tampaknya pandangannya tentang Islam dan politik juga dipengaruhi oleh persentuhan antara Islam santri yang dianut Utom Mulyadi, ayahnya yang aktivis Nahdlatul Ulama, dan ibunya, Yurtika, yang disebutnya sebagai Islam sekuler karena lahir dari keluarga Partai Nasional Indonesia.
Atas keputusan sendiri setamatnya dari SMP Jampangkulon, ia masuk ke Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Karena sejak kecil dididik ayahnya untuk membiasakan berwacana serta tradisi debat dan pidato di Pondok Gontor, akhirnya Yudi memutuskan masuk Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung.
Setelah sempat mengajar satu semester di Unpad atas ajakan Dipo Alam, ia masuk ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tahun 1993 di Pusat Analisis Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Namun, karena lebih banyak aktif di luar, ia memutuskan keluar dari LIPI.
Pergaulannya dengan kalangan aktivis di Bandung dan Jakarta menyebabkan Yudi memutuskan menggeluti komunikasi dan sosiologi politik. Pendidikan S2 tahun 1999 dan S3 pada 2004 di bidang sosiologi politik diselesaikannya di The Australian National University. Tesis S2-nya tentang Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia: Sebuah Interpretasi Sosiologis.
Dalam tesisnya ini, Yudi Latif mengamati ada dua pendulum dalam dinamika politik Indonesia yang terus berlangsung sejak beberapa abad terakhir hingga kini, yakni sekularisasi dan Islamisasi. Menurut dia, di antara tarik-menarik kedua pendulum ini kecenderungan politik di masa depan tidak akan sepenuhnya dimenangkan kutub sekularis dan tidak sepenuhnya dimenangkan kutub Islamis. ”Keduanya berjalan simultan. Yang terjadi adalah sekularisasi moderat,” ujar Yudi dalam percakapan dengan Kompas di Kantor Reform Institute awal pekan.
Bagaimana kalau dikaitkan dengan konteks sekarang?
Dalam perkembangan terakhir, termasuk Partai Keadilan Sejahtera atau partai yang berbasis Islam, meskipun mengklaim berbasis Islam, tetapi akibat derasnya pengaruh wacana inklusifisme atau Islam liberal, itu sudah cukup bagi partai Islam supaya tidak dicap sebagai ekstremis harus mengakomodasi unsur wacana liberal.
Tidak ada satu pun dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai itu yang mengatakan sebagai partai tertutup, selalu dikatakan partai terbuka.
Sering dikatakan Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Bagaimana menjelaskannya?
Justru sekarang sedang tumbuh apa yang dinamakan demokrat Islam di dunia ini. Katakanlah di Turki, metamorfosis dari Partai Raffah menjadi Partai Keadilan dan Pembangunan itu membuat beberapa Islamis ketika masuk ruang parlemen mencoba melakukan negosiasi dalam ruang politik yang tersedia.
Di Indonesia, partai Islam sulit menjadi besar. Bagaimana dengan PKS?
Singkatnya, untuk membuat partai Islam besar atau tidak, sangat ditentukan partai-partai lawannya, terutama Partai Golkar dan PDI-P. Jangan lupa, masyarakat tidak semuanya memilih karena alasan ideologis. Pendukung fanatik itu sebetulnya sangat kecil jumlahnya.
Peluang tahun 2009
Wakil Rektor Universitas Paramadina sejak tahun 2005 itu menyelesaikan disertasi S3-nya dengan judul Inteligensia Muslim Indonesia: Sebuah Genealogi Kemunculannya Pada Abad Ke-20.
Inti dari isi disertasi ini adalah memaparkan perkembangan secara genealogis hubungan antara intelegensia Muslim dan kekuasaan di Indonesia.
Dalam disertasinya itu Yudi menemukan apa yang memengaruhi pertumbuhan pada setiap generasi. Faktor-faktor itu di antaranya profil dan sistem pendidikan, ruang publik yang tersedia, jenis wacana yang dominan seperti apa dalam generasi itu, serta struktur peluang politik yang akan memengaruhi pilihan-pilihan kerja intelektual.
Ia memulai pembacaan intelegensia dari tahun 1850 ketika diperkenalkan pendidikan Belanda di Indonesia. Ia membaginya dalam generasi-generasi. Generasi terakhir adalah generasi VI, merupakan intelegensia yang lahir pada akhir 1960-an dan tahun 1970-an semacam Ulil Abshar Abdalla, Ahmad Sahal, Saiful Mujani, atau Ahmad Basyaib. Yang agak puritan ada Anis Matta, Fachri Hamzah, dan Adian Husaini. Mereka ini yang mengisi ruang publik generasi sekarang.
Dengan tampilnya orang-orang ini sekarang, bagaimana wajah politik kita ke depan?
Dengan melihat kecenderungan di PKS yang orang mempersepsikan sebagai representasi kelompok radikal atau fundamentalis, maka saya bisa menyimbolkan, sebenarnya dalam jagat politik Indonesia tidak ada tempat bagi kaum fundamentalis, baik itu yang menamakan Islam liberal atau fundamentalis. Ketika harus terjun dalam dunia politik Indonesia, itu akan terjadi proses moderasi.
Bagaimana peluangnya untuk tahun 2009?
Kalau untuk tahun 2009 jelas peluang PKS masih akan naik karena memang kinerja PKS masih belum teruji keburukannya.
Kegagalan partai berbasis Islam yang lain bagaimana?
Saya kira akan turun kecenderungannya karena klaim keislaman itu hanya jargon, tidak dilengkapi dengan aspek praktis.
PKS memiliki modal moral. Di saat-saat kebangkrutan moral dan hilangnya kepercayaan masyarakat, partai yang memiliki modal moral ini menjadi bernilai. Scarcity bring values, kejarangan membawa nilai-nilai. Kalau modal moral ini rusak karena kebijakan dan kinerjanya dan terlalu pragmatis, maka dia akan kembali ke titik nol karena tidak punya modal ekonomi dan modal sosial.
Bagaimana dengan prospek partai sekuler seperti Partai Golkar dan PDI-P?
Saya kira Partai Golkar akan bertahan. Kalau PDI-P tergantung bagaimana bisa menjalankan peran oposisi yang selama ini sejauh didengungkan, tetapi belum dipraktikkan secara sistematik dan powerfull.
Sebetulnya marhaenisme sangat relevan dalam konteks dalam situasi krisis ekonomi rakyat. Tetapi itu harus konsisten diperagakan, melakukan advokasi yang populis.
Apakah Partai Demokrat bisa disebut fenomena?
Partai Demokrat adalah partai politik gelembung (bubble political party) yang gelembungnya membesar karena ada personifikasi pada SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Ketika dia ragu dengan kinerja partai, dia memilih personifikasi SBY. Jadi siklus hidupnya tergantung kemampuan SBY menjaga kinerja dirinya.
Kalau citra tidak didukung substansi dan batas ini tidak mampu menyangga harapan masyarakat, terjadi proses balik.
Kira-kira seperti apa pemimpin yang dihasilkan Pemilu 2009?
Saya kira SBY jelas tidak ada jaminan memenangkan pemilu yang akan datang karena beberapa hal. Dia tidak bisa mengkonsolidasikan lingkungan istananya sendiri dan birokrasi.
Sementara itu, pilkada yang berlangsung akan dimenangkan partai-partai yang lebih solid. Partai Demokrat di tingkat lokal tidak mempunyai figur yang kuat seperti SBY.
Kalau pada tingkat partai tidak bisa, paling tidak dia bisa mengandalkan dirinya. Dirinya itu terikat dengan kinerja kabinet dan kecenderungan dia yang sudah mulai terbaca oleh apa yang disebut dengan legenda politik kota (urban political legend), semacam stereotip yang dibangun media dan publik, yang lama-lama publik akan percaya bahwa dia pemimpin yang tidak tegas.
Alternatif pemimpin pada Pemilu 2009 siapa?
Saya kira pemain lama yang masih penasaran dan merasa bahwa tidak ada pesaing baru yang cukup tangguh juga akan kembali ke bursa seperti Amien Rais dan Megawati Soekarnoputri. Selain itu, Hidayat Nur Wahid bisa menjadi pendatang baru yang representatif. *
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/02/Politikhukum/1859854.htm

Komentar

Postingan Populer