Pahlawan Nasional DR. H. M. Natsir (2):

Kejatuhan Kabinet hingga ke Penjara
Oleh DR. H. Shofwan Karim Elha, MA
Kejatuhan Kabinet Natsir boleh dibilang akibat oposisi Partai Nasional Indonesia (PNI) di parlemen dan tidak mau ikut duduk dalam kabinet Natsir. Faktor kejatuhan kabinet ini termasuk pemboikotan sidang oleh anggota-anggota DPR dalam isu pembubaran Dewan-dewan Perwakilan Daerah, serta sikap konfrontatif Soekarno akibat perselisihan pendapat tentang cara penanganan isu Irian Barat. Di satu pihak kabinet menghendaki Uni Indonesia-Belanda dibatalkan secara bilateral sedang perjuangan mengembalikan Irian Barat merupakan perjuangan tersendiri yang dilakukan terus menerus. Sementara Soekarno menghendaki status Uni Indonesia-Belanda memerlukan peninjauan kembali dan dicari dasar-dasar baru dan sekaligus dikaitkan dengan perjuangan pengembalian Irian Barat sebelum 11 Januari 1951.
Sejak saat itu Natsir keluar dari eksekutif dan semata-mata berjuang di legislatif sebagai anggota parlemen tahun 1950-1958 dan anggota Konstituante 1956-1958 di samping tetap menjadi Ketua Umum Masyumi sampai 1958. Dalam era ini Natsir memfokuskan gerakannya bersama partai Masyumi yang dipimpinnya memperjuangakan Islam sebagai dasar negara. Di dalam sidang-sidang Konstituante tahun 1957 Natsir secara gamblang memperjuangan Islam menjadi dasar negara. Beberapa analisis memberi alasan atas perjuangan ini. Pertama, Islam adalah agama mayoritas penduduk Indonesia dan Islam yang dipahami M. Natsir adalah Islam yang telah mengakomodasi nilai-nilai dasar dalam Pancasila yang diperjuangkan oleh kalangan lain sebagai nilai-nilai dasar dan pandangan hidup yang sudah lama hidup dalam hati sanubari bangsa Indonesia.
Kedua, Natsir merasa berkewajiban memperjuangan Islam sebagai Dasar Negara karena hal itu merupakan keputusan resmi Masyumi di mana ia menjadi Ketua Umumnya. Jadi hal itu merupakan amanah partai yang mesti diperjuangkan. Sebagai pemimpin yang demokratis maka Natsir merasa Konstituante adalah medan demokratis untuk memperjuangan aspirasi partainya. Ada beberapa pendapat lain. Di antaranya bahwa sebenarnya Pak (panggilan umum kala itu ) Natsir memperjuangakan kalau bukan sebagai dasar Negara, maka Islam sekurang-kurangnya menjadi Agama yang mendapat pengakuan utama oleh negara sebagai yang belakangan seperti yang berlaku di Malaysia, Islam adalah agama dalam Rukun Negara.
Pada tahun 1958 beberapa daerah bergolak antara lain lahirnya PRRI di Sumatera. Oleh pihak lawan peristiwa itu disebut pemberontakan. Kenegarawanan Natsir dianggap beberapa pihak meredup ketika ia kemudian ikut di dalam gerakan tersebut. Kepemimpinannya di Masyumi dipegang oleh Mohammad Rum dan Prawoto Mangkusasmito yang tidak mau terlibat dengan pergolakan di daerah. Keikutsertaan Natsir dalam perjuangan PRRI, bagi sebagian kalangan menjadi tanda tanya. Apa yang menjadi motivasi sebenarnya tokoh yang terkenal sangat demokratis dan berfikir integratif serta republiken tulen dan unitarian mau berpihak kepada PRRI. Meskipun pertanyaan itu belum sempurna bisa terjawab dan masih membutuhkan penelitian yang cermat, namun dari apa yang dikemukakan berapa penulis seperti Siddiq Fadhil dan George Mc Turnan Kahin serta wawancara Tempo dapat menjadi pertimbangan.
Menurut Fadhil penyertaan Natsir dalam PRRI harus dilihat sebagai suatu usaha menghalangi tindakan-tindakan tidak demokratik dan tidak konstitusional yang dilakukan Soekarno. Sementara menurut Kahin, Natsir di dalam PRRI memberikan konstribusi terbesar dengan menjaga tetapnya PRRI berjuang dalam konteks negara kesatuan RI bukan untuk keluar dari RI apalagi bersifat sparatisme.

Sementara pengakuan Natsir sendiri tentang keikutsertaannya dalam PRRI ini seperti disampaikan kepada Tempo yang dikutip kembali oleh Tempo 13 Feberuari 1993 adalah lantaran Presiden Soekarno--dengan Konsepsi Presiden--nya yang akan merombak struktur negara secara keseluruhan--telah melanggar konstitusi. Bung Karno bermaksud menguikutsertakan PKI dalam Kabinet, yang juga ditentang Bung Hatta.
Kemarahan Soekarno kepada Natsir tampaknya tidak proporsional. Hanya lantaran Natsir, Syafruddin Perwiranegara dan Burhanuddin Harahap berpihak kepada PRRI, dianggap Masyumi secara keseluruhan sudah makar dan dengan alasan itu Soekarno memberangus Masyumi dengan Kepres 200 tanggal 15 Agustus 1960 padahal Mohammmad Rum dan Kasman Singodimejo menyatakan Masyumi tidak berpihak kepada PRRI. Kepres itu merujuk kepada Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1959 dalam konsiderannya mengatakan bahwa sebagian tokoh-tokoh Masyumi terlibat dalam pemberontakan.
Tentang Masyumi dibubarkan atau membubarkan diri, menurut Yusril Ihza Mahendra adalah soal teknis semata. Karena meskipun sudah ada Kepres 200, tetapi pelaksanaan pembubaran Masyumi dilaksanakan oleh Masyumi itu sendiri. Walaupun bersifat teknis implikasinya sangat starategis. Karena di dalam Kepres 200 itu dinyatakan bahwa kalau dalam tempo tiga bulan Masyumi tidak membubarkan diri, maka Masyumi dinyatakan sebagai partai terlarang. Sebelum tiga bulan berakhir, Prawoto membubarkan Masyumi. Ibaratnya vonis hukuman mati dari Presiden tetapi pelaksanaan eksekusinya adalah oleh Masyumi sendiri. Jadi meskipun Masyumi bubar, tetapi bukan Partai terlarang. Ini suatu dalil yang tepat untuk menolak sikap Orba dulu yang menyamakan Masyumi dengan PKI sebagai partai terlarang.
Ketika rekonsiliasi nasional tercapai dengan selesainya PRRI dan semua yang terlibat PRRI menerima amnesti dan abolisi, maka Natsir yang seyogyanya bebas, tetap dipenjarakan oleh Soekarno dengan status karantina politik di Batu Jatim tahun 1960-1962 kemudian dipindahkan ke RTM Jakarta 1962.***

Komentar

Postingan Populer