Pahlawan Nasional DR. H. M. Natsir (3):

terkucil dari orba dan menggerakkan dakwah
Oleh DR. H. Shofwan Karim Elha, MA

M. Natsir baru bebas secara fisik dari penjara Soekarno oleh Soeharto namun kembali terkarantina dalam makna politik karena tidak boleh berpolitik praktis. Beliau aktif dalam forum petisi 50 pada tahun 1980. Keterlibatan itu memberi akibat tidak baik kepadanya. Sebelum petisi itu ada, Natsir masih bisa aktif menulis, bicara dan berpergian. Setelah ada petisi itu Natsir dicekal ke luar negeri, bicara dan menulis. Pergantian Orla ke Orba oleh Natsir tidak banyak maknanya dalam kifrah politik, karena pada hakikatnya beliau tetap "dipenjara". Meskipun begitu di awal Orba beliau pernah diminta bantuan oleh Soeharto untuk memulihkan hubungan Indonesia dan Malaysia. Beliau memberikan surat khusus kepada Tengku Abdul Rahman yang dibawa Ali Moertopo. Pengaruh surat itu dapat meredam konfrontasi kedua negara yang di masa Soekarno membeku kemudian mencair kembali. Begitu pula ketika pemerintah Soeharto kesulitan dalam meminta bantuan modal asing, Natsir kembali berinisiatif memuluskan bantuan dari Jepang serta beberapa negara Timur Tengah untuk pembangunan Indonesia.
Di masa Orba, akibat tidak boleh berpolitik praktis, Masyumi tidak dapat direhabilitasi, Natsir memilih medan dakwah. Meskipun ada yang berpendapat Natsir sebenarnya tetap "berpolitik" dalam dakwah itu. Namun secara kategorik beliau adalah mujahid dakwah bukan lagi politis. Bersama-sama tokoh ummat yang sehaluan dengannya beliau mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) tahun 1967. Pengabdian di bidang dakwah ini bukan dalam makna simbol tetapi secara substantif dan komprehensif baik lisan, tulisan dan bil-hal atau amaliah sosial terutama pendidikan dan kesehatan. Di samping itu Natsir aktif di dunia Islam internasional. Natsir sejak 1967 menjadi Wakil Presiden Kongres Muslim Sedunia atau Muktamar Alam Islami berkedudukan di Karachi dan anggota Majlis Ta'sisi Liga Muslim Sedunia atau Rabithah Alam Islami berkedudukan di Mekah dan juga Dewan Masjid Sedunia berkedudukan di Mekah.
DDII banyak menghidupkan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat suku terisolir dan terasing serta di pemukiman transmigrasi. Mahasiswa-mahasiswa yang potensial banyak yang memanfaatkan DDII di mana Natsir sebagai tokoh sentral memberikan rekomendasi untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri terutama negara-negara Islam di Timur Tengah. Tanpa kenal lelah, beliau menggereakkan pula beberapa lembaga pendidikan Islam di dalam negeri, pembangunan Masjid, penyantunan orang tua, anak yatim, dan rumah sakit Islam Ibnu Sina di berbagai pelosok Tanah Air mendapat asuhan dan dorongan utama dari Natsir. Di Sumatera Barat, hadirnya Rumah Sakit Islam Ibnu Sina, berdirinya Akademi Bahasa Asing (AKABA) Bukittinggi, pengiriman da'i serta santunan sosial bagi mualaf di Kepulauan Mentawai serta pemukiman transmigrasi di Sitiung, Pasaman Barat, Silunang Pesisir Selatan mendapat perhatian penuh dari Natsir dengan dukungan penuh DDII Sumbar. Dengan direncanakan berdirinya Universitas Mohammad Nastir yang baru dimulai dengan kecambahnya Sekolah Tinggi Islam di Padang, kemungkinan jiwa Natsir akan tetap tumbuh di Sumbar.
Lebih dari itu Natsir tak pernah lelah menggembeleng kader-kader Islam yang sangat ikhlas berjuang untuk kemulian dan ketinggian Islam. Terutama mantan aktivis Gerakan Pemuda Islam tahun 1950-an dan mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) yang selalu diserempet dan berjalan terseok-seok di masa penindasan politik Islam 1973-1985 era Orba. Terhadap kader-kader pemimpin Islam masa depan, Natsir bukanlah orang yang pesimis. Natsir mengganggap kader pemimpim tak bisa dicetak hanya dalam satu malam. Kata Natsir, pemimpin tidak bisa dicetak oleh kursus kepemimpinan, tidak ada universitas pemimpin, ijazah pemimpin. Pemimpin tak bisa di-SK-kan. Pemimpin tumbuh di lapangan . Yakni setelahb berinteraksi dengan tantangan di dalam masyarakat. Pemimpin harus lahir dari kandungan ummat itu sendiri. Lahir dari lapangan. Natsir percaya bahwa kader ummat dalam jumlah yang terbatas ada namun tidak suka gembar gembor. Pemimpin itu harus yang berakar ke bawah dan berpucuk ke atas. Inilah pemimpin yang diidamkan masyarakat. Proses itu lahir sendiri dalam suatu perjalanan sejarah. Hal itu disampaikannya pada acara syukuran 80 tahun Natsir yang dilaksanakan rekan dan sahabat pada 17 Juli 1988.
Dalam bagian pada wawancara dengan Panji Masyarakat Juli 1988 itu, Natsir mengibaratkan kader pempimpin itu adalah seperti harapan Nabi Zakaria yang mendambakan keturuan. Akhirnya Allah memberikan keturunan kepada Nabi Zakaria tadi dengan lahirnya Nabi Yahya. Natsir optimis lahirnya Yahya-Yahaya baru. Terutama menurutnya adalah dari Kampus dan dari LSM serta kelompok-kelompok pengajian dan pesantren. Yang penting menutut Natsir pada akhir 80-an itu, tercipta situasi yang kondusip yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat atau kebebasan berbicara.
Calon-calon pemimpin harus diuji oleh keadaan dan tantangan dalam masyarakatnya. Ujian itu ada yang baik dan ada yang buruk. Ujian atas kebaikan misalnya mendapat kesenangan harta dan pangkat.Menurut Natsir bila lulus akan memberikan kelipatan dampak poisitif yang tinggi. Sebaliknya bila gagal, maka yang menanggung deritanya adalah diri, keluarga dan masyarakat. Sebaliknya ujian terhadap keburukan misalnya penderitaan atau kekurangan harta. Bila sukses maka diri akan beruntung dan bila gagal yang menderita adalah dirinya pula dan tidak terlalu mengganggu kepada keluarga dan lingkungan. ***

Komentar

Postingan Populer