Pahlawan Nasional DR. H. Mohammad Natsir ( 01)
Masa Awal, Dinamika Pertumbuhan dan Perjuangan
Oleh DR. Drs. H. Shofwan Karim Elha, M.A.
(Rektor Universitas Muhammadiyah Sumbar, Dosen FU-IAIN Imam Bonjol Padang, Sekretaris ICMI Orwil Sumbar, Komisaris PT Semen Padang, dan menulis Disertasi DOKTOR UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2008, Nasionalisme, Pancasila, dan Islam sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, Studi Pemikiran Mohammad Natsir)
Mohammad Natsir lahir di Kampung Jembatan Berukir, Kecamatan Lembah Gumanti, Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, 17 Juli 1908 dan wafat di Jakarta, 6 Februari 1993. Mohammad Natsir merupakan tokoh pendidik, penulis produktif, pendakwah, politisi-negarawan, pemikir, ulama dan pembela Islam. Secara umum kehidupannya dapat diikhtisarkan kepada empat fase. Fase pembentukan, pertumbuhan, pemikir dan politisi-negarawan, serta pemikir dan pengabdi dakwah. Fase-fase itu dilaluinya pertama, di Solok, Maninjau dan Padang tempat lahir dan masa remajanya 1908-1927. Kedua, di Bandung menuntut ilmu, menulis dan mendidik 1927-1945. Ketiga, di Jakarta sebagai politisi dan negarawan 1945-1966. Keempat, di Jakarta sebagai pendakwah, pegiat amal sosial, dan aktivis Islam internasional 1966-1993.
Mohammad Natsir adalah putra dari Ibu Khadijah dan ayah Idris Sutan Saripado. Ayahnya Asisten Demang di Bonjol, kemudian menjadi juru tulis Kontrolir di Maninjau. Mulanya Natsir sekolah Gubernemen berbahasa Melayu sampai kelas 2 tinggal bersama kedua orang tuanya, kemudian pindah ke Padang dibawa Eteknya Rahim. Tidak diterima HIS pemerintah, ia masih beruntung dapat masuk HIS swasta Adabiyah yang baru dibuka DR. Abdullah Ahmad.
Natsir kecil pindah ke Solok dan masuk kelas 2 HIS pemerintah. Di sini ia tinggal di rumah saudagar H. Musa, ayah seorang anak siswa kelas 1 di HIS yang sama. Sambil pagi sekolah di HIS, sorenya Natsir sekolah Diniyah dan malamnya mengaji al-Qur'an dengan Angku Mudo Amin.
Di kelas tiga Diniyah ia terpilih sebagai guru bantu. Tiga tahun kemudian atas permintaan Rabi'ah, sang kakak ia kembali ke Padang dan dan dapat diterima di kelas lima HIS pemerintah yang memang dari dulu diidamkannya. Ia menamatkan HIS ini tahun 1923.
Ketika kemudian melanjutkan sekolah ke MULO, ia mendapat bea-siswa yang sejak semula didambakannya lantaaran ekonomi keluarga pas-pasan. Di MULO ia aktif di kepanduan Natipij dari Jong Islamieten Bond (JIB) dam perkumpulan Jong Sumatera. Di dunia kepanduan ini Natsir muda sebagaimana juga tokoh-tokoh pejuang Indonesia lainnya tumbuh jiwa kesatria dan rasa kebangsaan yang paralel dengan jiwa keislaman.
Setelah lulus MULO di Padang, Natsir masuk AMS di Bandung dengan bea-siswa Rp. 30. Di usianya yang 19 tahun itu ia tinggal di rumah Latifah, eteknya di kota Paris van Java itu. Di sekolah ini di samping belajar Bahasa Belanda ia belajar Bahasa Latin dan Kebudyaan Yunani. Di kelas 2 AMS ia sudah sanggup meneliti dan menganalisa "Pengaruh Penanaman Tebu dan Pabrik Gula Bagi Rakyat di Pulau Jawa" dan berani memaparkannya di depan kelas. Menurut Natsir pengaruh itu negatif.
Perasaan fanatik membela Islam mulai muncul dalam diri Natsir. Ini berawal ketika diajak guru gambarnya menghadiri khutbah Pendeta Protestan DS Christoffel yang menyerang Islam. Natsir membuat sanggahan yang dimuat dalam Surat Kabar Algemeen Indisch Dagblad (AID) dengan judul " Qur'an en Evangeli" dan " Muhammad asls Profeet".
Masa ini mulailah Natsir belajar politik secara tidak langsung dengan tokoh-tokoh seperti Haji Agus Salim, HOS Cokroaminoto, Cipto Mangunkusumo. Ia belajar Agama Islam pada Ustadz A.Hasan, seorang tokoh utama Persatuan Islam (Persis) Bandung secara intensif. Ustadz A. Hasan hidup dalam kesederhanaan, rapi dalam kerja, alim dan tajam argumentasinya dalam tukar pikiran dan berani mengemukakan pendapat. Kepribadian A. Hasan dan gerakan Persis Bandung ini tampaknya cukup berpengaruh dalam kehidupan Natsir selanjutnya.
Persis Bandung sebagai lembaga pendidikan Islam mempunyai tujuan antara lain : (1) melaksanakan berlakunya hukum Islam dan kembali kepada pimpinan Al-qur'an dan Sunnah; (2)menghidupkan jiwa jihad dan ijtihad; (3)membasmi bid'ah khurafat, takhayul, taklid, dan syirik; (4)memperluas tabligh dan dakwah Islam; (5)mendirikan pesantren dan sekolah untuk mendidik kader-kader Islam; (6)menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan.
Setamatnya dari AMS (1927-1930), Mohammad Natsir yang semula bercita-cita menjadi Mister in de Rechten (Sarjana Hukum) tidak melanjutkan kuliah ke Fakultras Hukum atau menjadi pegawai pemerintah, padahal ia mendapat tawaran bea-siswa di Fakultas Hukum di Jakarta dan di Fakultas Ekonomi Rotterdam Negeri Belanda.
Perhatiannya tertumpu kepada perjuangan di jalan Allah, sabilillah. Di AMS ia berhadapan dengan lingkungan intelektual yang sekuler dan dengan tekun mempelajari buku-buku berbahasa asing. Di masa ini ia terdorong mengajar mata pelajaran agama di sekolah MULO dan Sekolah Guru Gunung Sahari Lembang. Setamat AMS ia memantapkan dirinya sebagai pengkaji agama dan pejuang agama. Ia tidak memburu uang, tetapi cukup bekerja bersama A.Hasan Bandung sebagai anggota Redaksi Majalah "Pembela Islam" dengan honor Rp.20 perbulan. Ia terus belajar agama dengan konsep belajar agama bukan sekedar Ilmu Tauhid, fiqh, tafsir dam hadist tetapi juga ilmu filsafat Islam, sejarah kebudyaan Islam, pendidikan Islam, politik Islam dan lain-lainnya.
Pada fase ini Natsir mengisi perjuangannya dengan giat di bidang pendidikan, menulis dan berpolitik. Sore hari ia membuka kursus pendidikan Islam dengan murid awalnya lima orang dengan mengunakan tempat yang dipakai pihak lain untuk kursus Bahasa Inggris. Kursus ini berkembang menjadi Pendidikan Islam dengan menyewa Gedung sendiri di Jalan Lengkong Besar No. 16 . Tempat ini menjadi Kampus Pendidikan Islam yang dipimpinnya 1932-1942. Pandidikan Islam di sini terdiri atas empat tingkat: Taman Kanak, HIS, MULO dan Kweeksckool (sekolah guru). Dalam perkembangannya sekolah ini berpindah-pindah sampai sekolah ini ditutup Jepang.
Komentar