Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz

Umar bin Abdul’Aziz merupakan tokoh pembaharu pertama bagi generasi muslim pada periode seratus tahun pertama. Dia yang mengubah wajah dunia hanya dalam kurun waktu yang singkat, yaitu dua tahun lebih lima bulan. Dia merupakan sosok pemimpin yang berusaha menegakkan keadilan. Biografinya perlu kita tela’ah lebih dalam agar kita bisa mempelajari keteladanannya sebagai seorang pemimpin.
Nama dan Kelahiran
Namanya yaitu Umar bin Abdul’Aziz bin Marwan bin Al-Hakam bin Abi Al-‘Ash bin Umayyah bin Abdisyams bin Abdimanaf bin Qushay bin Kilab. Umar bin Abdul’Aziz lahir di Hilwan, nama sebuah desa di Mesir. Ayahnya seorang pemimpin daerah disana tahun 61 atau 63 Hijriyah. Ibunya bernama Ummu ‘Ashim binti ‘Ashim bin Umar bin Al-Khattab radhiallahu’anhu.
Awal Mula keaktifannya Menuntut Ilmu dan Memegang Jabatan Kekhalifahan
Orang tuanya ingin melihatnya keluar dari daerah itu guna menuntut ilmu, sehingga ia berkata, “Wahai ayah, mungkin lebih bermanfaat bagiku kalau ayah membawaku pergi ke kota Madinah. Karena aku disana bisa belajar banyak dengan para ahli fiqhnya dan menyelami perilaku mereka.” Kemudian ayahnya membawanya ke Madinah hingga akhirnya Umar bin Abdul’Aziz terkenal di Madinah dengan kecerdasan dan kedalaman ilmunya walaupun dia masih sangat muda.
Ketika ayahnya meninggal, Khalifah Abdul Malik bin Marwan mengutus pengawalnya kepada Umar bin Abdul’Aziz untuk dibawa keistana dan diasuhnya bersama-sama dengan puteranya yang lain. Dia memang terlihat menonjol daripada mereka putera-puteri khalifah. Kemudian khalifah menikahkannya dengan puterinya, Fatimah. Ketika Al-Walid menjabat sebagai khalifah, Umar bin Abdul ’Aziz diangkat menjadi walikota Madinah. Dia menjabat walikota Madinah dari tahun 86 HIjriyah hingga tahun 93 Hijriyah, akan tetapi kemudian dia diturunkan dari tahta sehingga dia lalu pergi ke Syam. Ketika Al-Walid berniat mengulingkan saudaranya Sulaiman dari haknya memegang pemerintahan selanjutnya (setelah Al-Walid) dan menggantikannya dengan puteranya; Dia memaksa para pemimpin daerah dan walikota ataupun para gubernur untuk menyetujui rencanya itu. Namun Umar bin Abdul’Aziz tidak menyetujuinya. Dia berkata, “Sulaiman adalah orang yang berhak mendapat ba’iat dalam pundak kami.” Dia bersikeras dengan pendapatnya itu sehingga membuat Al-Walid berang dan membenamkan wajahnya kedalam tanah berlumpur. Ketika Sulaiman dan para pendukungnya mengetahui sejarah dan peristiwa kegigihan Umar bin Abdul ’Aziz yang mempertahankan hak Sulaiman, dia mengamanatkan kepada seluruh warganya untuk mengangkatnya sebagai khalifah.
Dari Raja’ bin Haiwah, dia berkata, “Ketika Jum’at tiba, Sulaiman memakai pakaiannya dari sutera dan bercermin sambil berkata, “Demi Allah, aku adalah seorang raja yang masih muda.” Lalu dia berangkat ke masjid untuk shalat berjama’ah dengan penduduk. Ketika dia kembali, dia merasakan tubuhnya kurang sehat. Ketika sakitnya semakin bertambah berat, dia menuliskan sepucuk surat untuk mengangkat puteranya Ayyub, sebagai putera mahkota yang pada saat itu masih seorang bocah yang belum baligh, sehingga aku lalu berkata, “Apa yang Anda lakukan, wahai Amirul Mukminin? Sesungguhnya yang bisa menjada kematian seorang kahalifah tetap tenang didalam kuburnya adalah mengangkat seorang khalifah yang saleh.” Sang khalifah berkata, “Surat ini memang membingungkan, aku kira ini yang terbaik, akan tetapi aku belum bisa mengesahkannya.” Surat itu disimpan khalifah selama dua atau tiga hari lalu dibakarnya. Beberapa saat kemudian, dia memanggilku (perawi) dan berkata, “Kalau Dawud bin Sulaiman, bagaimana pendapatmu?”Aku menjawab, “Dia sedang berada di Konstantinopel, sedangkan Anda tidak tahu apakah dia masih hidup ataukah sudah meninggal dunia,” Dia berkata, “Bagaimana pendapatmu, siapa yang layak?” Aku berkata, “Terserah Anda Wahai Amirul Mukminin, aku memohon Anda untuk berpikir kira-kira siapa yang pantas.”
Sang khalifah kemudian berkata, “Bagaimana pendapatmu jika Umar bin Abdul ‘Aziz?” Aku berkata, “Yang aku tahu dia adalah orang yang mulia, terhormat dan memang dialah orang yang terbaik dan terpilih dikalangan kaum muslimin.” Kahalaifah berkata, “Ya, dia. Demi Allah, aku yakin itu, kalaulah aku jadi mengangkatnya dan tidak mengangkat salah seorang keturunan dari khalifah Abdul Malik bin Marwan, niscaya akan terjadi fitnah dikemudian hari-Yazid bin Abdul Malik saat itu sedang tidak berada di istana selama satu musim.” Khalifah lalu berkata, “Angkatlah dia (Yazid) setelah Khalaifah Umar bin Abdul ‘Aziz nanti, jika dia orang yang dapat menyejukkan dan mereka cintai.” Aku menjawab, “Aku setuju pendapat Anda, wahai Amirul Mukminin.” Lalu Khalifah sulaiman menuliskan surat wasiat dengan tangannya sendiri.
Rasa Takut dan Tangisannya
Dari Al Mughirah bin Hukaim, dia berkata, “Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan, dia berkata kepadaku, “Wahai Mughirah, mungkin saja ada orang yang lebih baik shalat dan puasanya daripada Umar bin Abdul ‘Aziz, akan tetapi aku belum pernah melihat seorangpun yang lebih banyak takut dan lebih banyak menangis dihadapan Tuhannya daripada Umar bin Abdul ‘Aziz. Jika dia masuk kerumahnya, dia langsung membungkukkan dir dalam persujudannya, dia terus saja menangis hingga kedua matanya tertidur, kemudian terbangun dan menangis lagi dan lagi. Dia menghabiskan sebagian besar malamnya seperti itu.”
Kezuhudannya
Dari Maslamah bin Abdul Malik, dia berkata, “Aku menemui Umar bin Abdul ‘Aziz untuk menjenguknya karena sakit. Saat itu dia mengenakan baju yang sudah jelek dan kotor, kemudian aku berkata kepada Fatimah binti Abdul Malik, isterinya, “Wahai Fatimah, cucilah baju Amirul Mukminin.” Sang isteri berkata, “InsyaAllah akan aku lakukan.” Selang beberapa waktu, aku pun kembali menjenguknya dan ternyata bajunya masih yang itu juga, sehingga aku pun berkata kepada isterinya, “Wahai Fatimah, tidakkah aku talah memintamu untuk membersihkan dan mengganti pakaian Amirul Mukminin, karena banyak warga yang ingin menjenguknya?” Fatimah berkata, “Demi Allah, dia tidak mempunyai baju yang selain itu.”
Dari Malik bin Dinar, dia berkata, “Orang-orang berkata, “Malik bin Dinar adlah orang yang zuhud,” akan tetapi sebenarnya orang yang bisa dikatakan zuhud itu adalah Umar bin Abdul ‘Aziz yang dikaruniai kemewahan dunia dengan segala isinya akan tetapi dia memilih untuk meninggalkannya.”
Kewara’annya
Ja’wanah berkata, “Ketika Abdul Malik bin Umar bin Abdul ‘Aziz meninggal dunia, Umar bin Abdul ‘Aziz terlihat bersyukur karenanya. Kemudian, sesorang berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, jika dia masih hidup, apakah Anda akan mengangkatnya sebagai putera mahkota?” Dengan tegas Umar menjawab, “Tidak.” Orang itu bertanya lagi, “Mengapa tidak, dan Anda malah bersyukur atas kematiannya?” Dia menjawab, “Aku takut dia akan menjadi perhiasan dimataku (yang dapat menghalanginya dari kebenaran), seperti perhiasan seorang anak pada orang tuanya.”
Dari Yahya bin Said, dia berkata, “Abdul Humaid bin Abdirrahman menulis sepucuk surat kepada Umar bin Abdul ‘Aziz. Dalam suratnya itu dia berkata, “Sesungguhnya telah ada pengaduan kepadaku tentang seseorang yang mencaci Anda, kemudian aku berniat membunuhnya. Akan tetapi, aku membatalkannya hingga akhirnya aku berinisiatif menulis surat kepada Anda untuk meminta pendapat Anda.” Umar bin Abdul ‘Aziz memberikan seseorang tidak berhak untuk dibunuh hanya karena mencaci orang lain, kecuali yang mencaci Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam. Jadi, caci makilah dia jika kamu menginginkannya, kemudian lepaskan.”
Kerendahan Hatinya
Dari Raja’ bin Haiwah, dia berkata, “Aku pernah begadang malam bersama Umar bin Abdul ‘Aziz, tiba-tiba lampu padam. Lalu aku bergegas untuk berdiri dan memperbaikinya, akan tetapi Umar bin Abdul ‘Aziz melarangku. Setelah itu, dia memperbaikinya sendiri dan duduk kembali, lalu dia berkata, “Jika kamu duduk, maka aku tetap Umar bin Abdul ‘Aziz (orang biasa yang tak perlu diistimewakan). Dan jika kamu berdiri, maka aku juga tetap Umar bin Abdul ‘Aziz dan celakalah seseorang yang memperkerjakan tamunya.”
Kata-Kata Mutiaranya
Dari Abdurrahman bin Maisarah Al-Hadrami, dia berkata, “Sesungguhnya Umar bin Abdu ‘Aziz pernah berkata, “Ketakwaan kepada Allah bukanlah sekedar melakukan puasa pada siang hari, bangun shalat malam dan melaukan semua rutinitas itu, akan tetapi ketakwaan kepada Allah adalah dengan meninggalkan apa yang telah diharamkan Allah dan mengerjakan apa yang telah diwajibkanNya. Barangsiapa yang diberikan kebaikan karena telah melakukan perbuatan takwa itu, maka dia telah mendapat kebaikan diatas kebaikan.”
Dari Mahmun bin Mihran, dia berkata, “Umar bin Abdul ‘Aziz pernah memberikan nasehat kepadaku, dia berkata, “Wahai Maimun, janganlah kamu menyendiri di tempat sunyi dengan seorang perempuan yang bukan mahram, walaupun kamu membacakan Al Qur’an untuknya; Janganlah kamu dekat dengan pemerintah walaupun kamu ingin memerintahkan yang baik dan melarang yang mungkar; Jangan pula kamu berbuncang-bincang dengan ahli bid’ah, karena itu akan menjerumuskanmu kedalam sesuatu yang membuat kemurkaan Allah kepadamu.”
Meninggalnya
Umar bin Abdul ‘Aziz meninggal dunia di Dir Sam’an, pada tanggal 10 atau 5 bulan Rajab tahun 101 Hijriyah. Saat itu dia genap berusia 39 tahun lebih enam bulan. Meninggalnya karena meminum racun yang telah direkayasa oleh bani Umayyah sendiri, karena Umar bin Abdul ‘Aziz dikenal tegas terhadap kezhaliman mereka, mencabut semua kekebalan hukum dan hak istimewa mereka serta memutus semua sumber dana kekayaan mereka. Dia memang mengabaikan kehati-hatian dan pengamanan pada dirinya.
Kita akan mengakhiri biografi Umar bin Abdul ‘Aziz dengan apa yang disebutkan Ibnu Al Jauzi dalam kitab sirah-nya, dia berkata, “Ada yang memberitahukan kepadaku bahwa Al-Manshur berkata kepada Abdurrahman bin Al Qasim, “Berilah aku nasehat!” Dia berkata, “Dengan apa yang pernah aku lihat atau dengan apa yang pernah aku dengar?” Dia berkata, “Dengan apa yang pernah yang Anda lihat.” Dia berkata, “Umar bin Abdul ‘Aziz meninggal dunia, dengan meninggalkan 11 putera, harta warisannya 17 dinar. Harta itu lalu digunakan mereka untuk membeli kain kafan 5 dinar dan kuburannya 2 dinar. Dan yang tersisa dibagikan kepada semua anggota keluarga dan setiap mereka mendapat 19 dirham.
Hisyam bin Abdul Malik meninggal dunia, dia meninggalkan 11 putera, harta warisannya dibagikan kepada anak-anaknya itu dan masing-masing mendapatkan ribuan dinar. Dan aku pernah melihat seorang lelaki dari keturunan Umar bin Abdul ‘Aziz membawa seratus kuda perang untuk dishadaqahkan guna dipakai berperang dijalan Allah dalam satu hari, dan aku melihat seorang lelaki dari keturunan Hisyam bin Abdul Malik diberikan shadaqah (karena sudah jatuh miskin).”

Wassalamu'alaikum wr.wb.Karina Dive,---Sumber:60 Biografi Ulama Salaf, Syaikh Ahmad Farid: Pustaka Al-Kautsar
Tags: khalifah umar, @karinadive, bin abdul aziz

Komentar

Postingan Populer