World Journey : China (6)


Catatan Perjalanan dari Cina (6):

Nilai ideologis, Kekerabatan dan Etos Kerja yang Mumpuni

Oleh Shofwan Karim Elha
Di jalan raya Nanjing sepeda “kereta angin” lusuh berkejaran bersama mobil dan kenderaan roda dua lain yang digerakkan batrey tanpa bahan bakar. Hampir tidak pernah dijumpai sepeda motor “ojek” di negeri kita yang bunyi mesinnya menderu, kenal pot ompong dan asap mengepul. Oleh karena itu polusi lebih rendah dan udara lebih bersih ditambah dengan pohon-pohon rindang dan taman-taman yang cukup asri. Di musim gugur sekarang ini, mayoritas pohon palm mulai menguning dan dedauan mulai berjatuhan. Sebagai mana layaknya negeri-negeri yang memiliki empat musim: gugur, dingin, semi dan panas, penduduk Nanjing dikejar waktu. Tidak ada yang berjalan santai dan lambat. Untuk yang tidak tejangkau jalan kaki mereka bersepeda itu tadi. Karena itu kami tidak melihat orang yang bertubuh gemuk dan tambun.
Tampaknya jumlah sepeda belum kalah dengan kenderaan lain. Sepengetahuan penulis sepeda agak banyak jumlahnya di Amsterdam atau kota-kota lain di Belanda digunakan untuk cari keringat dan santai bukan untuk pergi kerja. Di Nanjing, suasana kota yang di mana-mana banyak sepeda di sela-sela mobil dan kenderaan lain itu mirip dengan di Padang pada tahun 1970-an. Bersepeda ternyata bukan menunjukkan kemiskinan. Hanya sesekali kami melihat orang menadahkan tangan untuk meminta dan itupun tidak dalam semu wajah yang amat memelas. Bersepeda mungkin lebih kepada filsafat hidup sederhana, hemat dan kerja keras.
Agaknya keadaan ini dipengaruhi nilai-nilai kekerabatan, filsafat hidup warga dan masyarakat di negeri yang memiliki kebudayaan dan peradaban yang cukup tua ini. Beberapa sumber menjelaskan sistem kekerabatan Cina dipengaruhi oleh paham kekeluargaan Konfusius. Menurut Olga Lang, orang tua dalam sistem keluarga Cina berkewajiban mengajari anggota keluarganya tentang mekanisme Negara agar mereka bisa menerima ororitas Negara. Bahkan menurut Lucian Pye kultur politik Cina menekankan interpendensi antara pemerintah dan keluarga. Dalam masyarakat tradisional Cina, keluarga berperan, bertindak dan merupakan benteng utama menghindari kekacauan dalam institusi-institusi publik. Orangtua selalu memelihara orde-sosial untuk kedamaian dan kesejahteraan setiap anggota keluarga.
Keakraban, kedekatan hubungan serta kekompakan merupakan motor penggerak dalam nilai-nilai ideologis kekeluargaan Cina. Implikasi ideologis dari sistem ini adalah bahwa dalam membangun ekonomi Cina, yang ditekankan adalah jaringan, relasi untuk saling menolong. Kinship networks atau jaringan kekeluargaan, menjadi pilar paradigma klasik dan tetap baru dalam kerangka kerja sosial, budaya politik, lebih-lebih ekonomi Cina. Selain itu, yang mengakibatkan Cina mampu menguasai perekonomian secara global agaknya lantaran nilai-nilai ideologis kekerabatan dan etos kerja yang mumpuni. Suatu etos yang menekankan keuletan, kerajinan, hemat, sederhana dan kerja keras tadi. Dalam kaitan ini, paling sedikit ada tiga kredo penjelasan etos kerja yang dimaksud.
Pertama, etos kerja telah ditanamkan kepada anak-anak sejak kecil. Dalam keluarga Cina, segenap olah tindak dan kerja dihubungkan dengan kumpulan nilai yang kompleks. Mencakup pengorbanan dan kepentingan diri, rasa percaya, dan hemat yang dipandang sebagai dasar untuk terakumulasinya kekayaan.
Kedua, etos kerja Cina berorientasi kelompok. Setiap orang berpartisipasi dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga, kemudian untuk kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, setiap orang Cina bekerja keras untuk mendapatkan imbalan materi tetapi tidak selalu materialistik. Sesuatu yang sulit dijelaskan. Kira-kira sama dengan sikap profesionalisme tetapi ada charitas dan nuansa philanthropic atau kedermawan yang tinggi. Selain itu di dalam komunitas Cina perantauan yang hidup di berbagai sudut bumi, kemakmuran, kenyamanan, dalam usia lanjut, menduduki posisi sentral dalam persepsi Cina tentang kehidupan yang baik.
Akan tetapi tidak semua etika hidup ideal tadi seutuhnya terpelihara dan bertahan dalam masyarakat Cina moderen. Sebagaimana juga di Tanah Air kita Indonesia, banyak yang berubah. Urbanisasi, teknologi, persaingan hidup, pergaulan lintas kontinen, media dan sebagainya sudah pula memasuki kehidupan pribadi dan keluarga. Meskipun generasi tua tetap mempersuasi anak-anak muda tetap berpegang kepada nilai-nilai luhur ribuan tahun itu yang menekankan etika kebaikan, sopan santun, keutamaan, dan menghargai orang lain.
Namun demikian, dalam pengalaman singkat kami di Nanjing, kelihatan ancaman modernisasi tadi belum begitu mengesankan. Gaya dan canda hampir-hampir tidak kelihatan. Jarang sekali anak muda yang mejeng di depan mall atau tempat-tempat keramaian dan koridor jalan utama. Apalagi yang asyik chating, sms dan berteleponan berbagai merek serta pameran asessori. Tidak kelihatan mata-mata liar untuk bikin usil di tengah keramaian. Masing-masing orang sibuk dengan apa yang sedang dilakukan. Yang berjalan tetap lurus, bergegas dan cepat dan tidak celangak-celenguk. Sesuatu yang yang agak langka ditemui di jalan-jalan utama di negeri kita. ***

Komentar

Postingan Populer