World Journey: China (7)


Catatan Perjalanan dari Cina (7):
Resto Cina Berubah Mengikuti Selera Zaman
Oleh Shofwan Karim Elha

Menurut etika klasik bersantap cara Cina, agak mirip dengan kaum Melayu. Semua hidangan diletakkan sekaligus lalu disantap bersama. Akan tetapi sesuai dengan perkembangan zaman, kini cara itu sudah disesuaikan dengan gaya moderen. Makanan disajikan beriringan dan mulai dari pembuka (appetizer) sup, sayuran, baru masuk menu utama, kemudian penutup dan “parabuang” ( desert) cuci mulut. Tentu saja, di awalnya disajikan menuman teh dalam poci kecil yang hangat dan menggebu. Tapi jangan Tanya kopi hangat. Sejak dari Beijing tahun 1995 sampai ke Nanjing 2008 ini, penulis tidak pernah menemukan orang minum kopi di negeri bekas tirai bambu ini. Itulah yang membuat Ibu Hj. Norma Abrar, anggota DPRD Sumbar kelabakan ketika candu kopi itu menggelegak dalam kerongkongan ingin mereguknya. Pada waktu itu semua pelayan hotel tempat kami menginap bersama anggota DPRD Sumbar Komisi E/Kesra di sebuah hotel di Beijing, menggelengkan kepalanya mengatakan tidak tersedia.

Berbeda dengan di Beijing, mencari resto Muslim di Nanjing agak sulit. Mungkin karena kami tidak terlalu banyak waktu berkeliaran mencari tempat “sungkah” itu. Lebih-lebih lagi jadwal makan sudah diatur oleh escort (sejawat pengantar atau tour leader) kami termasuk resto mana yang sudah di-booking atau reserved. Sementara dulu di Beijing, dengan mudahnya kami menemukan resto Cina Muslim. Hampir di setiap jalan utama kota berpenduduk hampir 20 juta orang itu terpampang merek resto untuk Muslim. Tentu saja tayangannya mengundang selera amat menarik dengan masakan dan jenis makanan halal. Di situlah seingat penulis, di salash satu resto Mjuslim kami pernah memperingati hari ulang tahun Kak Mimi Djabar, isteri Uda Yonda Djabar. Begitu pula ketika kami mengunjungi Tembok Besar (Great Wall), benteng pertahanan Cina sejak ratusan tahun lalu sepanjang hampir 750 kilometer itu. Waktu itu dengan mudahnya kami mendapatkan resto Cina Muslim di sepanjang jalan di hampir setiap tempat istirahat, toko souvenir dan klinik Cina tradisional yang terkenal dengan obat-obat tradisional, herbalis dan alami.

Kembali ke Nanjing, rasa dan aroma serta jenis makanannya lebih lezat dalam nostalgia masa lalu penulis dibanding resto Cina di Venesia, Italia, dan Toronto, Canada atau China Town New York City. Hanya kepada tour leader kami wanti-wanti bahwa rombongan kami ada Muslim dari Indonesia dan Malaysia sehingga yang halal saja yang harap disajikan. Tentu saja kami selalu was-was sehingga kecuali untuk ikan dan sayuran, kami selalu menanyakan jenis daging yang dihamparkan di depan kami. Bila daging angsa, ayam atau burung, barulah kami sentuh. Untuk daging sapi pun, walupun jelas disebut “beef” rasanya kami selalu ragu.

Di luar soal selera itu, ada budaya meja makan yang membuat penulis berfikir jauh. Di Cina, sebenarnya makan itu tidak memakai sendok dan garpu tetapi sumpit atau chop stick yang dijepitkan antara ibu jari, jari tengah dan telunjuk. Bentuk sumpit Cina sedikit berbeda dengan sumpit yang digunakan di Jepang. Sumpit Cina ujungnya agak tebal dan persegi, tidak seruncing sumpit Jepang. Sumpit harus ditaruh di atas sandaran sumpit yang diletakkan di samping piring makan, dengan posisi ujung yang lebih runcing di atas. Setelah digunakan untuk menyantap satu hidangan, sumpit yang sama dapat digunakan untuk menyantap hidangan yang lain.

Di Cina, konon katanya ada semacam takhayul atau supertition yang perlu diperhatikan bagi mereka yang suka hal-hal mistik dan ramal meramal. Di antaranya saat menyantap hidangan dari ikan. Jika ikan sudah selesai disantap pada salah satu sisinya, jangan pernah membalikkan ikan dengan sumpit. Menurut kepercayaan, jika ikan tersebut patah, maka hidup Anda akan mengalami banyak masalah.
Ada hal lain yang tidak kami temui kali ini di Cina adalah soal undian nasib. Dulu ketika penulis bolak-balik ke Amerika dan Eropa, termasuk juga Hongkong dan Thailand, bila makan di restoran Cina, selalu selesai makan dan bersiap-siap meninggalkan resto itu, dibagikan sejenis kue kering berbentuk lokan yang di dalamnya ada kertas. Masing-masing kertas itu ada tulisan yang menyatakan tentang nasib orang yang memegangnya. Sesuatu yang mungkin sekarang sudah berubah. Atau memang, Hal seperti itu tidak lazim di resto Cina dalam negeri. Kebiasaan itu mungkin hanya asessori atau daya tarik resto Cina di perantauan. Sesuatu yang merupakan budaya tambahan.

Kembali ke soal sumpit. Tahun 1980-an ketika awal-awal pengalaman makan di resto Cina di Los Angles, California atau di Calgary, Alberta, penulis minta sendok dan garpu karena sulitnya menyantap dengan sumpit itu. Tetapi sejak setelah 1990-an makin pintar dan sekarang di Nanjing sudah lancar. Kelihatannya amat merepotkan bagi yang baru mengalami. Namun dibalik itu ada filsafat makan yang dalam. Dengan sumpit, makan yang terbawa ke mulut adalah sedikit demi sedikit. Jadi tidak bersua istilah “gadang suok” dan sifat “cama” atau rakus. Tentu saja bagi yang merasa sok “hygienics” (menjaga kesehatan) lalu “galinggaman” atau rada jijik, ketika sumpit setiap orang masuk ke setiap wajan makanan dan langsung dilahap ke mulutnya. Karena masing-masing orang dengan sumpitnya itu bebas menjepit makanan itu dalam cawan, mangkok dan “cambuang” di atas kayu dengan alas kaca yang berputar di atas meja bundar yang dikeliling 6 sampai 7 orang itu. Namun kalau direnungkan lebih dalam, itu artinya ada rasa kekeluargaan dan persabatan tanpa curiga dan sungkan atau malu-malu. Tak ubahnya seperti kita makan bajamba dalam talam atau dulang besar 2 sampai 3 orang pada acara adat dan sosial di nagari-nagari di Ranah kita tercinta ini. Musim Gugur 2008. ***

Komentar

Postingan Populer