Berat Berpisah dan Agama Kaum Selebriti (?)

Setelah 12 Tahun ke Mekkah (10):

Berat Berpisah dan Agama Kaum Selebriti (?)

Publiushed By 

http://hariansinggalang.co.id/berat-berpisah-dan-agama-kaum-selebriti/#more-44590

Oleh Shofwan Karim Bin Abdul Karim Husein

Kami melaksanakan Thawaf Wada’ (thawaf perpisahan) dimulai pk.04.00, dinihari Rabu, 29 Januari kemarin . Oleh karena rapat-padatnya jamaah pada pusaran ritual itu, maka beberapa menit sebelum salat subuh 05.42, baru thawaf ini selesai.



Tentu saja kami tidak keluar langsung  untuk berangkat meninggalkan Ka’bah.  Kesempatan salat subuh di pelataran sekitar Ka’bah tak kami sia-siakan.

Rasa berat hati meninggalkan Ka’bah untuk Umrah kali ini, memenuhi rongga dada kami.  Muthawwif  (pembimbing) kami mengajak ke tempat sedikit  lapang agak ke belakang.

Di situ dipanjatkan do’a. Panjang doanya, menyentuh kalbu. Jamaah meng-amin-kannya. Tentu saja ada yang tersedu dan airmata mengalir bagai sungai kecil di pipi kami.

Muthawwif ini, pada ziarah ke berbagai tempat di luar Mekkah, kemarin lalu itu bercerita.  Banyak juga di antara jamaah Indonesia yang perlu diberikan pelurusan niat.

Misalnya ada yang ingin dapat jodoh datang ke Jabal Rahmah, karena di Bukit itu ada tugu. Hanya suatu tanda saja. Tidak ada makna sakralitas atau magisnya. Tetapi bagi kalangan tertentu dianggap sebagai  lambang kasih sayang, karena di situ  Adam dan Hawa bertemu pertama kali setelah turun dari Syurga ke Bumi.



Oleh karena itu berkembang selentingan dari mulut ke mulut, bahwa kalau orang yang belum mempunyai pasangan hidup, maka berdoalah di sana. Insya Allah doa dikabulkan dan tali kasih akan tersambung dengan yang baru. 

Atau kepada pasangan lama yang mengalami hubungan tidak harmonis, insya Allah akan mesra kembali. Itu tidak benar, kata Muthawwif. Kalau berdoa, di mana saja boleh. Tetapi jangan mengistimewakan bukit ini.

Pada kasus lain, ada juga yang dengan penuh semangat, ingin dan kemudian melaksanakan ijab-kabul atau menikah di Masjidil Haram. Dengan harapan, nanti pasangan hidup akan langgeng dan murah rezeki dan seterusnya. Lebih dari itu, kedengarannya sangat “wah”, karena menikah di Mekkah. Nah ini sudah “ria”.

Oleh karena itu,  jangan heran, kata Muthawwif ini, lebih banyak dari mereka yang setelah menikah di Mekkah ini, pulang ke Tanah Air dan tak berapa lama rumah tangga mereka runtuh. Maka itu jangan salahkan menikah di Masjid ini. Tetapi pasanglah niat yang murni.
Oleh Muthawwif kami, yang sepertinya berpendidikan tinggi  karena sudah bergelar S2, kedua contoh di atas tadi dikoreksi. Ziarah ke Jabal Rahmah, cukup ziarah saja jangan diembel-embeli niat lain. Begitu pula kalau ke Masjidil Haram.



Mau Umrah atau Haji, silahkan kerjakan itu dengan sempurnya. Jangan ditambah pula dengan menikah di Masjidil Haram lebih afdhal daripada tempat yang lain. Karena di dalam hadist pahala yang berlipat ganda itu adalah untuk salat. Bukan upacara menikah.

Di dalam pikiran saya bergejolak suatu pradigma berfikir. Di antaranya apa yang disebut sebagai “Popular Religion”. Suatu istilah untuk pengamalan agama tidak berdasarkan ajaran murni dari kitab suci atau praktik baku dari otoritas keagamaan.

Akan tetapi lebih kepada sikap, perasaan dan bahkan amalan keagamaan yang lebih dipengaruhi oleh praktik kebudayaan. Baik budaya local, atau budaya yang menjadi trend (kercendrunghan) umum,   pada masa tertentu pada suatu komunitas masyarakat  kecil atau besar .

Apa yang kita sebut sebagai keberagamaan kaum selebritis, masa sekarang , agaknya bisa termasuk  sebagai popular religion ini. Kita dapat menyaksikan di layar kaca televisi atau di media lainnya. Pada masa tertentu kaum selebritis, bukan hanya artis, tetapi juga pejabat, penguasa dan pengusaha atau orang ternama lainnya, dengan bangga menyatakan pergi haji-plus atau  umrah-plus.

Di sana mereka tersedu-sedu  meminta ampun dan merasa tenteram sekali. Tetapi setelah pulang dari kedua tanah Haram, Mekah dan Madinah ini, mereka tidak bertahan dengan situasi ruhani dan batin tadi. Mereka kembali rapuh, gelisah dan kadang-kadang  runtuh lagi. Di dalam bahasa pengajian kita, mungkin mereka tidak bertahan dalam mabrur-nya ibadah itu.

Apalagi kalau ada yang lebih jauh dari itu. Menganggap pergi Haji dan Umrah adalah “musim pengampunan”.  Selama  40 hari di Tanah Air setelah pulang, mereka masih memakai baju muslimah alias menutup aurat atau bagi yang laki-laki, rambut yang dicukur ketika tahallul biar panjang dulu. Mereka masih disiplin dan rajin beribadah seperti di kedua tempat suci tadi.
Lalu setelah lewat masa itu, mereka kembali ke dunia biasanya. Dan nanti kalau merasa ada yang salah lagi di dalam kehidupan, maka mereka pergi Haji atau Umrah lagi.

Mudah-mudahan kita tidak termasuk kepada pasungan popular religion atau beragama kaum selebritis itu. Bila kita rindu kembali ke Masjidil Haram, Ka’bah dan Masjid Nabawi, ini benar-benar dari hati yang ikhlas dan murni. Insya Allah. Allah yang Maha Tahu. ***


Komentar

Postingan Populer