Menggetarkan Kalbu, Madinah Penuh Toleransi
http://hariansinggalang.co.id/menggetarkan-kalbu-madinah-penuh-toleransi/
Apalagi dibanding 1996, pertama kali saya naik haji, taman makam mujahidin belum apa-apa. Sekarang di tata rapi. Gundukan tanah seperti kuburan yang di atasnya ada sebuah tanda sangat sederhana.
Rasanya lebih dari seribuan gundukan kecil pada berbagai bukit dan data rantinggi di dalam komplek yang amat luas itu. Taman Baqi’ dijaga polisi berpakaian dinas dengan tameng dan pentungan. Sepertinya mencegah pengunjung yang akan memuja-muja kuburan itu. Tentu dengan maksud, sekalian menjaga keamanan secara menyeluruh.
Tiba-tiba ketika saya masih asyik potret sana-potret sini (dan ini tak pernah terjadi pada tahun 1996 dan 2002), polisi tadi memanggil dari jauh, minta supaya semua pengunjung keluar melalui pintu gerbang amat besar itu.
Saya menepuk bahunya dan coba merayu untuk memotretnya. “Jangan”, katanya. Kami petugas tak boleh difoto. “Itu, foto saja kuburan”, lanjutnya. Setelah gerbang ditutup dan pengunjung meninggal tempat ini, semua polisi yang jaga tadi sekitar 50 orang, juga meninggalkan Baqi’. Saya tidak perhatikan lagi kemana mereka pergi.
Hari kedua di Madinah, kami berziarah kebeberapa tempat.Mulai dari Masjid Quba’ atau masjid pertama tempat Onta Nabi Muhammad Rasulullah saw berhenti pada waktu kedatangan hijrah. Ketika penduduk Yastrib (nama kota ini sebelum di sebut Madinah) menyambut Nabi dengan salawat badar, selamat datang. Dan di titik itulah dibangun masjid yang pertama oleh beliau.Terasa menggetarkan kalbu.
Terus ke Jabal (Bukit) Uhud, kenangan perang Uhud. Pasukan Nabi dikalahkan kafir Quraisy karena pasukan pemanah di puncak Bukit Arma sebelah Uhud meninggalkan lokasi karena melihat harta rampasan di bawah. Kafir Quraisy melambung kebelakang lalu naik kepuncak itu, lalu ambil alih penguasaan pertempuran. Saat itu lah Hamzah, Paman Rasulullah wafat dan dadanya dicabik Hindun yang memakanhatinya, sebagai balasan atas kematian suaminya di tangan Paman Nabi itu. Dan hati ini menjadi panas.
Kemudian ke Masjid Qiblatain. Nabi menerima wahyu memutar Qiblat salat dari arah semula Masjidil Aqsha kemudian beralih ke arah Masjidil Haram. Kami terus ke wilayah Parit Khandaq. Inilah benteng pertahanan Perang Khandaq yang diusulkan Salman Al Farisi. Padabagian lain dari turziarahini ada selingan keladang Kurma. Ini sepertinya pesan sponsor. Makanlah sepuasnya kurma di situ, tetapi yang akan dibawa pulang harus dibeli.
Bahkan sudah menjadi ungkapan popular bagi kita yang jauh dari Tanah Suci. Bahwa belum sempurna rasa nya ke Mekkah kalau belum ke Madinah. Padahal bagi warga penduduk Saudi, berumrah atau berhaji, cukuplah di Mekkah saja.
Bagi kita, Madinah menjadi kerinduan. Bila kita lebih dari sehari di Madinah, maka ada perasaan tenteram yang menyejukkan. Salat di Masjid Nabawi seperti mendapatkan naungan langsung dari suatu kekuatan gaib, keruhanian penuh keindahan. Terasa nuansa beragama yang lurus. Tasamuh, penuh toleransi.
Kaum wanita ada tempatnya khusus di dalam Masjid yang tidak bercampur dengan kaum pria. Kalau pun tak tertampung di dalam Masjid, ada pula wilayah khusus kaum ibu itu di teras bawah paying tenda raksasa di pekarangan luar. Begitu pula untuk ke Taman Raudhah dan ziarah kemakam Rasul dan para sahabat, ada wilayah khusus wanita.
Perilaku orang di Masjid Nabawi khususnya, bahkan keluar Masjid pun terasa lebih berbudaya. Pada Maghrib Kamis lalu, saya pada mulanya bingung untuk berbuka. Itu adalah Maghrib pertama kedatangan kami di Kota ini. Ketika saya berdoa berbuka puasa sunat setelah selesai minum secangkir air Zam-zam, tiba-tiba seorang petugas kebersihan menunjukkan kesaf orang yang sedang berbuka di sebelahnya.
Dan di sudut dekat ketel air Zam-zam itu ada tumpukan kurma yang ranum untuk berbuka orang puasa. Tentu tidak lupa siwak pembersih gigi yang terletak di sudut lain. Semua itu boleh diambil untuk dimanfaatkan siapa saja. Kalau kita berdiri akan minum air Zam-zam, danada orang lain yang duluan dari kita, pasti orang itu mengulur kancangkir kerta situ ke kita. Tentu sudah diisinya dengan air minum Zam-zam yang nikmatitu.
Dalam ibadah pun terasa tenang. Tidak perluburu-buru. Satu jam sebelum waktu subuh masuk, ada azan pertama. Lalu tepat waktu fajar subuh masuk, barulah azan sebenarnya untuk shalat subuh terdengar syahdu keseantero langit.
Jarak azan dan iqamat salat, rata-rata antara 15 sampai 20 menit. Seakan memberikan waktu kepada semua jamaah untuk besiap lebih sempurna. Lalu antara bacaan alfatihah dengan ayat Quran lainnya oleh imam ada Jeddah yang memadai. Ini tentu saja seakan memberikan kesempatan bagi masing-masing diri jamaah membaca Al-fatihah di dalam hati. Meskipun bagi pendapat tertentu, al-fatihah sang Imam sudah cukup dan tidak perlu diulang sendiri-sendiri oleh makmum. (*)
Menggetarkan Kalbu, Madinah Penuh Toleransi
Tanggal 29 January 2014
Setelah 12 Tahun ke Mekkah (6):
Shofwan BIN Abdul Karim Hussein —
Setelah dari Raudhah, sepertinya sudah paket, langsung ke Baqi’.Suatu bebukitan yang amat luas. Wilayah yang sudah di pagar sekelilingnya. Prasaan saya tak kurang dari sepuluh lapangan bola luasnya.
Beruntung kami tepat wak tu sebelum jam 10 pagi. Saat pintu masuk masih dibuka dari sesudah shalat subuh, sejak sekitar pk 7 sampai habis waktu dhuha. Setelah itu pintu ditutup dan dibuka lagi nanti setelah zuhur sampai ashar. Kemudian ditutup lagi sampai besok nyata. Memori saya mengingat bahwa 12 tahun lalu pembenahan dan perluasan Baqi’ sudah di mulai. Tetapi waktu itu saya tidak masuk ke arena pemakaman para keluarga, mujahid dan sahabat Rasulullah di zamannya itu. Hanya melongok dari luar, di sela-sela lubang.
Apalagi dibanding 1996, pertama kali saya naik haji, taman makam mujahidin belum apa-apa. Sekarang di tata rapi. Gundukan tanah seperti kuburan yang di atasnya ada sebuah tanda sangat sederhana.
Rasanya lebih dari seribuan gundukan kecil pada berbagai bukit dan data rantinggi di dalam komplek yang amat luas itu. Taman Baqi’ dijaga polisi berpakaian dinas dengan tameng dan pentungan. Sepertinya mencegah pengunjung yang akan memuja-muja kuburan itu. Tentu dengan maksud, sekalian menjaga keamanan secara menyeluruh.
Tiba-tiba ketika saya masih asyik potret sana-potret sini (dan ini tak pernah terjadi pada tahun 1996 dan 2002), polisi tadi memanggil dari jauh, minta supaya semua pengunjung keluar melalui pintu gerbang amat besar itu.
Saya menepuk bahunya dan coba merayu untuk memotretnya. “Jangan”, katanya. Kami petugas tak boleh difoto. “Itu, foto saja kuburan”, lanjutnya. Setelah gerbang ditutup dan pengunjung meninggal tempat ini, semua polisi yang jaga tadi sekitar 50 orang, juga meninggalkan Baqi’. Saya tidak perhatikan lagi kemana mereka pergi.
Hari kedua di Madinah, kami berziarah kebeberapa tempat.Mulai dari Masjid Quba’ atau masjid pertama tempat Onta Nabi Muhammad Rasulullah saw berhenti pada waktu kedatangan hijrah. Ketika penduduk Yastrib (nama kota ini sebelum di sebut Madinah) menyambut Nabi dengan salawat badar, selamat datang. Dan di titik itulah dibangun masjid yang pertama oleh beliau.Terasa menggetarkan kalbu.
Terus ke Jabal (Bukit) Uhud, kenangan perang Uhud. Pasukan Nabi dikalahkan kafir Quraisy karena pasukan pemanah di puncak Bukit Arma sebelah Uhud meninggalkan lokasi karena melihat harta rampasan di bawah. Kafir Quraisy melambung kebelakang lalu naik kepuncak itu, lalu ambil alih penguasaan pertempuran. Saat itu lah Hamzah, Paman Rasulullah wafat dan dadanya dicabik Hindun yang memakanhatinya, sebagai balasan atas kematian suaminya di tangan Paman Nabi itu. Dan hati ini menjadi panas.
Kemudian ke Masjid Qiblatain. Nabi menerima wahyu memutar Qiblat salat dari arah semula Masjidil Aqsha kemudian beralih ke arah Masjidil Haram. Kami terus ke wilayah Parit Khandaq. Inilah benteng pertahanan Perang Khandaq yang diusulkan Salman Al Farisi. Padabagian lain dari turziarahini ada selingan keladang Kurma. Ini sepertinya pesan sponsor. Makanlah sepuasnya kurma di situ, tetapi yang akan dibawa pulang harus dibeli.
Rasanya menjadi kuat terasa aura, apa yang kita sebut sebagai wisata religi (agama). Apalagi diimingi ganjaran besar. Bila salat di Masjid Nabawi pahalanya seribu kali lipat. Dan nanti salat di Masdjidil Haram Makkah, seratus ribu kali lipat. Padahal secara hakiki, ke Madinah tidak ada hubungannya dengan ibadah Umrah atau Haji. Artinya, murniziarah. Tetapi berkunjung ke Madinah menjadi sesuatu yang amat bermakna.
Bahkan sudah menjadi ungkapan popular bagi kita yang jauh dari Tanah Suci. Bahwa belum sempurna rasa nya ke Mekkah kalau belum ke Madinah. Padahal bagi warga penduduk Saudi, berumrah atau berhaji, cukuplah di Mekkah saja.
Bagi kita, Madinah menjadi kerinduan. Bila kita lebih dari sehari di Madinah, maka ada perasaan tenteram yang menyejukkan. Salat di Masjid Nabawi seperti mendapatkan naungan langsung dari suatu kekuatan gaib, keruhanian penuh keindahan. Terasa nuansa beragama yang lurus. Tasamuh, penuh toleransi.
Kaum wanita ada tempatnya khusus di dalam Masjid yang tidak bercampur dengan kaum pria. Kalau pun tak tertampung di dalam Masjid, ada pula wilayah khusus kaum ibu itu di teras bawah paying tenda raksasa di pekarangan luar. Begitu pula untuk ke Taman Raudhah dan ziarah kemakam Rasul dan para sahabat, ada wilayah khusus wanita.
Perilaku orang di Masjid Nabawi khususnya, bahkan keluar Masjid pun terasa lebih berbudaya. Pada Maghrib Kamis lalu, saya pada mulanya bingung untuk berbuka. Itu adalah Maghrib pertama kedatangan kami di Kota ini. Ketika saya berdoa berbuka puasa sunat setelah selesai minum secangkir air Zam-zam, tiba-tiba seorang petugas kebersihan menunjukkan kesaf orang yang sedang berbuka di sebelahnya.
Dan di sudut dekat ketel air Zam-zam itu ada tumpukan kurma yang ranum untuk berbuka orang puasa. Tentu tidak lupa siwak pembersih gigi yang terletak di sudut lain. Semua itu boleh diambil untuk dimanfaatkan siapa saja. Kalau kita berdiri akan minum air Zam-zam, danada orang lain yang duluan dari kita, pasti orang itu mengulur kancangkir kerta situ ke kita. Tentu sudah diisinya dengan air minum Zam-zam yang nikmatitu.
Dalam ibadah pun terasa tenang. Tidak perluburu-buru. Satu jam sebelum waktu subuh masuk, ada azan pertama. Lalu tepat waktu fajar subuh masuk, barulah azan sebenarnya untuk shalat subuh terdengar syahdu keseantero langit.
Jarak azan dan iqamat salat, rata-rata antara 15 sampai 20 menit. Seakan memberikan waktu kepada semua jamaah untuk besiap lebih sempurna. Lalu antara bacaan alfatihah dengan ayat Quran lainnya oleh imam ada Jeddah yang memadai. Ini tentu saja seakan memberikan kesempatan bagi masing-masing diri jamaah membaca Al-fatihah di dalam hati. Meskipun bagi pendapat tertentu, al-fatihah sang Imam sudah cukup dan tidak perlu diulang sendiri-sendiri oleh makmum. (*)
Komentar