MORATORIUM TKI DAN SRIKANDI MINANG DI JEDDAH

Published By :

 http://hariansinggalang.co.id/moratorium-tki-dan-srikandi-minang-di-jeddah/#more-44643

SETELAH 12 TAHUN KE MEKKAH (11-HABIS): 
MORATORIUM TKI DAN SRIKANDI MINANG DI JEDDAH

Oleh Shofwan Karim Bin Abdul Karim Husein

Seperti biasa, bila ke satu Negara, saya selalu kontak dengan sahabat di Negara itu. Pada Umrah kali ini, saya sudah kontak dengan beberapa orang di Mekkah, Jeddah dan Riyadh.

Di Riyadh saya dan isteri dijemput oleh Dr. Elly Warti Maliki, MA. Ibu rumahtangga, aktivis social, pendidikan serta ilmuwan separo baya ini (pembaca tentu masih ingat dengan sosok yang satu ini), berasal dari Kinari, Solok.






Tak lama masa lalu, Harian Singgalang menulis feature human interest tentang tokoh satu ini. Kali ini, saya ingin menulis tentang hal lain. Beberapa teman di sini menyebutnya sebagai Srikandi Indonesia dari Minangkabau.

Putri dari pasangan Maliki Yusuf (ayah) dan Siti Aminah binti Jalin (ibu) ini, terlibat menjadi koordinator bantuan untuk TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang tekena razia lewat masa tinggal (over-stayer) di Saudi beberapa tahun lalu. Mereka mempunyai slogan, “memelihara martabat bangsa” waktu itu.

Pada tahun 2011, ada sekitar 90 ribu TKI yang dokumen resmi mereka habis masa berlaku di Jazirah Arabia ini. Dr. Elly turun tangan dengan beberapa Warga Indonesia. Mereka waktu itu turut menyuarakan supaya sementara dilakukan moratorium (penghentian) dulu pengiriman TKI ke Saudi. Setelah hampir 3 tahun moratorium itu, menurut kabar, otoritas kedua Negara, mau mencabut moratorium itu pada th 2014 ini.

Kami di bawa ke tempat pengabdiannya. Doktor Ahli Fikih Al-Azhar University, Kairo Mesir ini, sejak 22 tahun lalu menyingsingkan lengan baju. Ia meneruka karya social pendidikan. Mendirikan lembaga pendidikan Islam Darul Ulum. Sekolah (madrasah) filial sekolah Indonesia di Jeddah.

Sempat galau. Tidak mungkin dua sekolah Negara Asing berada di 1 kota Jeddah. Padahal Sekolah Indonesia Jeddah itu sudah melewati kapasitas. Sekolah yang dari SD sampai SMA itu berdaya tampung 6 ratus orang, kini mempunyai murid dan siswa 1070 (seribu tujuh puluh ) orang.

Terpaksa Dr. Elly mengajukan permohonan lain yang lebih khusus. Antara perasaan cemas dan galau tadi, rupanya kementerian pendidikan di sini dengan cepat memberikan izin. Dengan syarat, segera harus dibangun gedung yang benar-benar sekolah. Karena yang sekarang itu adalah bangunan perumahan tinggal. Dan harus milik sendiri, alias tidak bisa disewa lagi seperti sekarang.

Maka dengan izin sementara itu tadi, Dr. Elly berjuang dan melobby ke sana ke mari. Baik di Saudi maupun ke Indonesia. Mengingat banyaknya keluarga yang membutuhkan pendidikan anak-anak mereka dan terbatasnya kapasitas ekolah Indonesia Jeddah tadi, maka sekolah di bawah Lembaga Darul Ulum ini terus sedang dan akan dikembangkan dan ditingkatkan kapasistas dan kualitasnya.

Sekarang muridnya 300 orang. Terdiri atas Kelompok Bermain, Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Tahun 2002, waktu saya mengunjungi sekolah ini, gedung sekolahnya satu komplek dengan kediaman Dr. Elly dengan suaminya Adyawarman Arby dan 3 puteri mereka Ola Rosalia Arby, Afifa Arby dan Khalifa Arby.

Tetapi karena tuntutan objektif, maka gedung sekolah pindah ke tempat sekarang ini, tak jauh dari komplek yang lama. Sementara keluarga ini pindah ke tempat tinggal flat bertingkat.
Ahli fikih wanita ini, di samping tetap menjadi dosen terbang untuk beberapa universitas di Asia Tenggagara , terpaksa merangkap menjadi perancang kurikulum dan membuat buku cara belajar Bahasa Arab Praktis bagi anak didiknya.

Targetnya, tamat SD, anak-anak sudah bisa berbahasa Arab dengan baik dan bisa membaca kitab gundul. Sekolah ini disebutnya sebagai pendidikan terpadu Agama, Bahasa dan Teknologi .
Entah bagaimana ia bisa membangun gedung sekolah yang dirancang dengan biaya senilai 48 milyar rupiah itu. Sampai sekarang ia kasak-kasuk ke sana kemari melobi dan meyakinkan berbagai pihak yang mungkin membantu.

Ia yakin, maksud sampai. Sambil diskusi soal azam-obsesinya itu, ia menceritakan bagaimana dulu dia tidak tertarik untuk sekolah agama. Karena di zamannya, akhir 70-an, semua saudaranya sekoalah umum menjadi insnyur dan dokter. Di dalam pandangan Elly waktu itu, tamatan sekolah agama hanya menjadi orang miskin. Ketika orang tuanya terus memaksa, maka dia mengatakan boleh sekolah Agama tetapi harus ke Timur Tengah. Kata-kata itu hanya cara untuk menghindar dari paksaan tadi.
Tetapi entah mengapa akhirnya saya memang sampai sekolah di Kairo. Pada mulanya saya tidak tahu apa-apa tentang Bahasa Arab. Meskipun sudah menamatkan Tsanawiyah dan Aliyah di Indonsia. Untunglah para senior yang menolang membimbingnya.

Di antaranya Hakim Agung RI Prof. Dr. H. Rifyal Ka’bah (almarhum). Allah Maha

Bijaksana. Saya ketagihan jadinya belajar agama dan menguasai Bahasa Arab. Sehingga menyelesaikan S1 dan Master. Lalu setelah mempunyai 3 orang buah hati, dari Jeddah saya terbang lagi ke Mesir.

Saya menyelesaikan Doktor, Fakultas Study Islam dan Bahasa Arab, Jurusan Fikih, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Disertasi saya adalah Al-Ahkaam asy-Syar’iyyah al-Mustanbathah min Qaaidah Sadd Adz-Dzara’i fi Fiqh al-Mar’ah wa Ta’tsiiruha ‘ala binai al-Mujtama’) (2005). Alhamdulillah saya mendapat pujian dengan Suma Cumlaude atau mumtaz, tutupnya. Tidak banyak memang Doktor Ilmu Agama tamatan Al-Azhar asal Indonesia. Apalagi wanita. 

"Sekarang apalagi yang saya ciya-citakan. Ya, itu sekolah yang gagah dan berwibawa di Jeddah atas nama Bangsa Indonesia, katanya" .*** (Habis) 

Komentar

Postingan Populer