Sampailah di Madinah, Meski Berdebat
Oleh Shofwan Karim Bin Abdul Karim Hussein
Di dalam
perut pesawat, hasrat menggelegak untuk
mencium Hajar Aswad atau paling tidak mencium Ka’bah. Tentu saja
“berahi” spiritual ini tidak menafikan hal-hal yang bersifat fisik dan teknis.
Misalnya
soal pesawat yang kami tumpang. Meskipun terbang dengan Boeing 747-400 yang biasa digunakkan oleh
maskapai penerbangan rute interconent (antar-benua)
tetapi saya tidak merasakan aura internasional. Padahal kami terbang selama 9
jam 15 menit dari Jakarta ke Jeddah. Pesawat ini penuh penumpang. Jumlah kursi
505, termasuk Cabin-Decker lantai 2.
Kru pesawat
17 orang dan Pilot serta Co-Pilot 3 orang. Pesawat ini, menurut salah seorang
kru, adalah buatan tahun 1992. Tentu
saja mesin terbangnya tak disangsikan. Akan tetapi fasilitas dan interior serta
toilet dan lainnya, termasuk pengeras suara kurang memadai. Begitu pula skrin
video depan kursi dan TV pada tiap ruas lambung pesawat tidak berfungsi
seluruhnya secara normal. Hanya satu atau
beberapa saja yang masih jalan.
Tak
sengaja, saya mengundang daya ingat
tahun 1996 dan 2002. Untuk pelipur lara. Bahwa ke Mekkah untuk beribadah
janganlah memikir duniawi, apalagi rasa kemewahan dan kenikmatan jasadi. Inilah jenis teologi yang ditanamkan ke jiwa kita
sejak dulu.
Oleh karena itu saya memanjakan jiwa soal ini.
Terimalah kenyataan safari inernasional
tetapi rasanya seperti pesawat “low rate” lokal-domistik. Sepengetahuan saya
sejak tahun 1980 terbang antara benua dengan pesawat jenis ini, dalam harga dan
kategori atau jenis tiket apa saja, tetap nikmat.
Saya baru
puang bulan lalu dari 6 kota pada 4 Provinsi Wilayah Atlantik Canada. Terbang
sangat nyaman. Pada waktu lain, meski tiket promosi super-ekonomi, berbayar
setengah harga regular sekalipun, fasilitas, kenyamanan dan aura internasional tetap
seimbang.
Arinya,
harga tiket tidak membawa perubahan kenyamanan. Bisa mendengar music, melihat
skrin pesawat terbang sudah sampai di mana, menonton video, film, TV dan dengar
radio. Kali ini tidak demikian. Taka apa,
ini adalah safari ibadah.
Tentu saja
saya menghibur diri. Bayangkan di masa ayah dan kakek-nenek kita dulu, ke Mekah dengan kapal laut. Sejak zaman
Belanda sampai ujung tahun 1960-an, pulang pergi umrah dan haji, antara 3
sampai 4 bulan. Sekarang tidak sampai
satu hari sudah menjejakkan kaki di Jeddah. Bagi yang langsung Umrah terus ke Mekah.
Yang lain, seperti kami terus ke Madinah dulu, baru 3 hari lagi ke Mekkah.
Sepandai-pandai
tupai melompat, suatu kali akan “gawa”. Kena batunya. Pengalaman banyak belum
tentu efektif. Biasanya beberapa menit setelah terbang, pesawat pada ketinggian
normal, akan datang awak pesawat membagikan minuman ringan. Ada daftar menu
selama terbang.
Tetapi kali
ini setelah hampir 2 jam, baru dapat
pembagian makan tanpa ada makan kecil
pendahuluan seperti biasa itu tadi. Tentu saja kami langsung “terkam” “sungkah”.
Perut keroncongan memekik, tiba-tiba tenang. Dan tidak ada pertanyaan setelah
itu mau teh atau kopi.
Untung
setelah beberapa jam kemudian ada suguhan minuman air putih, teh atau jus tanpa
ada makanan kecil. Ketika ditanyakan ke awak pesawat kapan lagi ada hidangan.
Dijawab nanti setelah pukul 15.30 waktu Saudi, lebih kurang 1 jam 1 jam 30
menit sebelum mendarat, ada nasi goreng.
Saya katakan kepada isteri menyesal tidak bawa makanan ke dalam tas kabin.
Karena yang tidak boleh dibawa biasanya hanya air. Kalau buah dan roti untuk
sekedar penggalang perut, biasanya dibolehkan, kata kru. Ialah, kata saya. Sekali-kali “gawa”.
Kami
mendarat pk. 17.05 waktu Saudi. Bukannya melalui garbarata, tetapi turun ke
bawah. Naik bus beberapa detik sudah sampai di suatu ruangan. Kami di suruh
menunggu di situ. Waktu maghrib masuk dan sampai waktu Isya, belum ada kabar,
kami mau mengapa.
Sebagai
tadi sudah dikatakan, “karung” kesabaran mulai berkurang. Seorang teman yang
kebetulan dengan keluarga bersama kami bercakap dengan saya. “Manga awak” lai,
mengapa kita lagi. Teman ini sengaja
saya tak sebut namanya karena takut kurang tepat dipublikasikan di sini. Dan
saya tidak minta izin kepadanya. Dan saya bilang ke teman ini, kalau boleh saya
dan isteri mau keluar duluan.
Dari tadi
saya lihat tidak ada yang urus. Penumpang lain dari berbagai Negara langsung ke
imigrasi dan keluar. Saya tanya ke beberapa teman lain, jawaban senada, kita
ndak tau. Ada pula yang bilang, kita selalu belakangan karena dari Indonesia.
Tentu saja karung kesabaran saya bobol lagi.
Saya dan isteri
bergerak keluar ruangan besar itu dan menuju ke tempat antrian menuju imigrasi. Di tahan oleh seseorang yang
memegang walky-talky mengatakan tidak boleh, apalagi disebut, Indonesia ?
Katanya tunggu semua orang yang masuk dari berbagai Negara lain, baru
Indonesia.
Maka saya
minta menghadap kepada Bos-nya. Saya yakinkan itu bos, berdebat dan mengatakan
hal-hal yang agak sensitive. Bahwa kami sudah tunggu 3 jam tanpa ada info, dan
kami lapar. Coba lihat passport saya. Ini syah visa dari kedutaan Saudi dan
seterusnya. Alhamdulillah, tak berapa lama kami kami diizinkan dan
dipanggillah, Indonesia, Indonesia. Tentu saja saya dan isteri berada di antri
paling muka.
Saya lihat
banyak anggota rombongan yang antri beberapa garis, dan agak panjang waktu taya-jawab. Bahkan diminta memberikan sidik jari serta difoto
wajahnya oleh petugas imigrasi itu.
Kami
berdua, tidak mengalami hal yang seperti itu dan berlalu dengan sangat cepat.
Mungkin karena di Passport kami sudah penuh oleh visa berbagai Negara dan lembaran terakhir
adalah visa Saudi Arabia.
Setelah itu
berlenggang-lancar, rombongan kami di atas 7 Bus besar bergerak dari Jeddah dan
sampai di Madinah, 1 jam
sebelum subuh waktu di sini, tanggal 23 kemarin.
" Ya Allah negeri ini adalah tanah haram Rasul-Mu Muhammad SAW,
maka jadikanlah penjaga bagiku dari neraka, aman dari siksa dan buruknya hisab
(perhitungan di Hari Kemudian)." ***
Komentar