Bustanuddin Agus: Industri Otak atau Industri SDM? Tanggapan kepada Shofwan dan Zaili
Industri Otak atau Industri SDM?
Selasa, 24 Juni 2008 | |
Oleh : Bustanuddin Agus, Dosen FISIP Unand Sadar sulit akan menang kalau ikut berpacu dengan daerah, apalagi negara lain, dalam bidang industri dan agroindustri, Sumbar optimis bisa menyamai, kalau tidak akan mengalahkan, daerah dan negara lain kalau menggarap industri otak sebagai produk unggulan.
Produk yang akan dijual di pasar bebas nasional atau internasional memang harus unggul sehingga orang berminat membeli. Suatu kemungkinan yang “menjanjikan”, seperti diungkap oleh Prof. Emil Salim sejak seperempat abad yang lalu dan oleh Gubernur Sumbar dalam berbagai kesempatan (seperti dalam pertemuan dengan para rektor Jum’at lalu).
Karena itu akan digalang dana untuk memberi beasiswa kepada mahasiswa kurang mampu. Jangan hanya bernostalgia pada masa lalu tokoh-tokoh nasional banyak dari Minang (walaupun andil Minang atau Sumbar untuk membesarkan mereka boleh dikatakan tidak ada). Sudah tidak jamannya sekarang bermentalitas “mengepit daun kunyit”, apologetik atau labeling itu. Perlu langkah kongret menuju ke sana.
Saya menggaris bawahi dan setuju sekali langkah-langkah konkret itu. Tanpa langkah konkret, angan-angan, mimpi, visi atau pun misi tidak akan pernah kenyataan. Sebelum menimbang industri otak atau ada lagi yang lebih mungkin untuk unggul, terlebih dahulu saya (demikian juga tentunya kalangan pendidik dan perguruan tinggi) menyambut hangat gagasan Gubernur tersebut dan mengucapkan terima kasih.
Semoga anak-anak Minang/Sumbar banyak yang betul-betul berhasil dalam menyelesaikan pendidikannya, baik S1, S2, dan S3, baik dalam dan luar negeri (tidak hanya sekedar mengepit ijazah, tapi berandil dengan tindakan konkret).
Sehingga memang ada andil masyarakat di bawah kepemimpinan Pak Gamawan Fauzi yang pantas dicatat sejarah untuk menuju ke sana, seperti Khalifah Al-Makmun, al-Manshur dan al-Rasyid memobilisir potensi nasional untuk menerjemahkan kita-kitab Yunani, India dan Persia ke Bahasa Arab pada abad ke-8 dan ke-9 M.
Bukan pesimis untuk unggul dalam industri otak, saya mempertanyakan gagasan ini karena melihat ada yang lebih berpeluang lagi bagi Sumbar untuk bersaing di pasar bebas ini. Kalau untuk mengisi dan memberdayakan otak saja, kita tampaknya juga akan tetap keteteran dengan negara-negara yang telah maju. Selain perpustakaan dan teknologi informasi yang mereka miliki jauh lebih canggih dari yang kita miliki, kebebasan berpikir yang mereka miliki super hebat: dapat saja menabrak nilai-nilai luhur, adat istiadat, dan bahkan ajaran dan umat beragama.
Keunggulan mereka dalam mengembangkan otak dan otot (fisik, raga, jasmani, peralatan, sarana dan prasarana) memenang diakui dan rasanya sulit (kalau tidak mustahil) disalip. Jangankan menyalip negara lain, mengejar dan menyamai negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia dan Thailand saja, kita sudah keteteran. Maksud hendak menyamai, yang didapat malah ketertinggalan yang makin jauh. Maka yang kita ”dagangkan” jangan lagi yang sama dengan mereka. Mesti ada nilai plusnya.
Otak saja hanya salah satu dari sumber daya yang dimiliki manusia. Walaupun potensinya besar dan penting, tapi ia agaknya tak lebih dari alat atau kendaraan yang akan digunakan oleh manusia pemiliknya. The man behind the gun yang menentukan. Otak memang mampu mengubah biji besi jadi mobil mewah, kapal induk, dan lainnya.
Otak mampu mengubah otom jadi sumber energi yang dahsyat. Otak mampu menayangkan peristiwa yang terjadi di ujung dunia selang beberapa detik di kamar atau di rumah kita. Otak mampu mendam laut sehingga menjadi kawasan wisata yang menarik, seperti Padang Bay Siti Nurbaya.
Dengan alat-alat yang diciptakan oleh otak itu manusia (penguasa) bisa berbuat baik untuk umat manusia dan dapat pula menghancurkan umat manusia. Energi atom yang ditemukan oleh otak Einstein dapat digunakan untuk membom suatu negeri seperti yang dipertontonkan Amerika di Hirosima dan Nagasaki. Tapi tenaga atom juga dapat digunakan untuk pembangkit tenaga listrik sehingga dapat menerangi jutaan manusia dan mengaktifkan berbagai alat elektronik.
Tetapi harus dicatat bahwa yang menghasilkan semua “keajaiban” teknologi modern itu bukanlah hanya otak. Kemauan, tekad, kerja keras, cinta dan kepekaan rasa, organisasi yang solid, semuanya ikut berandil. Potensi-potensi lain dari akal itu bisa saja dikatakan juga dihasilkan oleh otak. Tapi itu hanya dakwaan penganut paham rasionalisme. Kita harus rasional, tapi jangan menjadi penganut rasionalisme. Jadi industri otak yang akan ditabuh jangan tergelincir menjadi rasionalisme di mana akal yang dijadikan panglima dalam hidup ini.
Akal menentukan segalanya: buruk baik, benar salah, wajar tidak wajar, ada tidak ada. Dalam rasionalisme akal dijadikan sumbu roda kehidupan pribadi dan masyarakat. Nilai-nilai luhur dari hati nurani, budaya dan agama sekalipun bersiap-siap saja untuk tersingkir karena kita menjadikan otak sebagai sumbu dan panglima dalam kehidupan, alias akal yang maha menentukan.
Supaya jangan tergelincir menjadi rasionalisme, saya mengusulkan tidak industri otak tapi industri sumber daya manusia (SDM). Nilai budaya, agama, dan pemikiran rasional yang kita miliki yang disimbolkan dengan tungku tigo sajarangan, syara’ mangato, adat mamakai, alam takmbang jadi guru ada yang akan kita olah bersama sehingga dapat dijadikan “komoditi unggulan” yang menarik untuk dipasarkan. (***)
|
Komentar