Pandangan Agama terhadap Fungsi dan Peranan Pariwisata
http://icmisumbar2007.blogspot.co.id/2016/05/religiousitas-dan-ideologi-dari.html
Pandangan Agama
terhadap Fungsi dan Peranan
Pariwisata*
Oleh Dr. H. Shofwan
Karim Elha, M.A.w
I. Pendahuluan
Agama sebagai
suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk
dengan kehendak dan pilihannya sendiri mengikuti peraturan tersebut, guna
mencapai kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat (Mu’in, 1986:121) . Secara
amat ringkas agama sebagai yang dipahami seara umum adalah ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada
manusia melalui seorang Rasul (Nasution, 1979: 10). Islam adalah agama wahyu
yang disebut al-Din. Ia mencakup tatanan
semua segi kehidupan manusia tentang
akidah (teologi), ibadah (ritual), akhlak (etika) dan muámalah
(sosio-kultural). Secara umum ketercakupan itu merupakan pengaturan hubungan dengan Allah dan hubungan sesama
manusia. [1] Para ulama klasik menyebut Islam itu adalah aqidah
dan mu’amalah. Yang disebut mu’amalah itu dibaginya dua yaitu
mu’amalah yang berhubungan dengan Tuhan
dan muámalah yang berhubungan dengan manusia. Pada umumnya mereka mendekati
ajaran Islam secara doktriner, tekstual (nash). Ulama kontemnporer Syaikh Mahmud Syaltut menyebut Islam itu
adalah akidah dan syariah. Syariah dibaginya menjadi ibadah, akhlak dan muámalah. Sementara Fazlur Rahaman menyebut pokok ajaran
Islam ada tiga: percaya kepada keesaan Tuhan; pembentukan masyarakat yang
adil dan kepercayaan hidup setelah mati. Untuk lebih memudahkan pemahaman
para ulama yang masyhur merinci lagi Islam sebagai Aqidah, Ibadah, Akhlak dan
mu’amalah. Di dalam akidah dan ibadah pandangan agama dibimbing oleh
satu kaidah: jangan lakukan sesuatu yang berhubungan dengannya kecuali yang
disuruh atau mempunyai dalil (nash) yang kuat. Didalam akhlak dan muámalah
berlaku kadidah lakukan sesatu kecuali yang dilarang.
Dari struktur
pendekatan tadi nampaknya ajaran Islam pada dasarnya membahas masalah hubungan
terhadap tiga pokok : Tuhan, alam , dan manusia atau teologi,
kosmologi dan antropologi (Mukti Ali,1989:42). Oleh karena itu Islam
sebagai al-din al-syumuli, agama
yang meliputi segala hal atau kaffah, harus memberikan kontribusi, wazan,
jugement atau pertimbangannya terhadap aktivitas hidup dunia modern yang
tidak bisa lepas dari tiga hal tadi, termasuk dunia kepariwisataan. Dunia
kepariwisataan termasuk sub sistem
kehidupan yang merupakan bagian dari muámalah, atau kehidupan sosial
kemasyarakatan, ekonomi, budaya dan seterusnya.
Pengembangan
kepariwisataan merupakan agenda nasional harus ditopang oleh kekuatan
masyarakat. Untuk itu kepada warga masyarakat seyogyanya secara spontan atau
terprogram harus memahami, mengapresiasi, serta berpartisipasi dan pada
gilirannya sangat peduli dan bertanggungjawab di dalam pengembangan
kepariwisataan. Untuk maksud tersebut, maka umat beragama harus memahami fungsi
dan peranan kepariwisataan dan bagaimana pandangan agama terhadap hal ini,
merupakan diskusi berikut ni.
II. Memahami Pariwisata
Kosa
kata pariwisata berasal dari kata “pari” yang berarti banyak, berkali-kali,
berputar-putar dan “wisata” artinya bepergian atau pelayanan. Jadi pariwisata
berarti suatu kegiatan perjalanan atau bepergian yang dilakukan dari satu
tempat ke tempat lain, dengan tujuan bermacam-macam. (Suara Muhammadiyah,
1988:22).
Di dalam makna yang umum kepariwisataan (tourism)
terambil dati kata tour atau perjalanan. Menurut kamus Encarta, tour·ism (n)
1. the visiting of places away from home for pleasure 2. the business of
organizing travel and services for people traveling for pleasure. Tourisme
berarti (1) kunjungan ke suatu atau beberapa tempat yang jauh dari rumah untuk
kesenangan: (2) urusan yang berhubungan dengan penyelenggaraan dan pelayanan
bagi orangan yang melakukan perjalanan untuk kesenangan.
Di dalam bahasa
Arab, kosa kata untuk berpergian atau melakukan perjalanan khusus bersang-senang disebut rihlah . Berbeda
dengan safara yang berarti bepergian untuk tujuan yang lebih umum. Kata rihlah ini juga telah disinggung
Al-Qurán sebagai lambang rutinitas orang Quraisy yang biasanya melakukan
perjalanan di musim dingin dan musim panas. [2]
Secara
garis besar tujuan perjalanan pariwisata itu dibedakan antara :
(1) Business
tourism, yaitu perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang
dengan tujuan dinas, perdagangan, atau yang berhubungan dengan pekerjaan,
seperti menghadiri kongres di dalam mapun di luar negeri, seminar, konprennsi,
simposium , musyawarah dan lain-lain.
(2) Vacational
tourism, perjalanan uantuk berlibur datau cuti.
(3) Educatitonal
tourism, perjalan untuk kepentingan pendidikan, studi dan penelitin dll.
Sementara itu dilihat dari sebgi obyeknya, pariwisata itu dapat ditinjau
dari beberapa jenis:
(1)
Cultural
tourism, wisata
kebudayaan, seni, dan pertunjukan tradisoional serta penampilan dan atraksi
budaya pada umumnya, kunjungan ke lokasi
peninggalan masa lalu, pusat
kepurbakaan dst.
(2)
Recuperational
tourism, jenis kepariwisataan penyegaran dan
kesehatan, kepegunungan, ke darerah tertentu dan lain-lain.
(3)
Commercial
tourism, yaitu
kepariwisataan yang dikaitkan dengan kepentingan usaha daganag, kontak produsen
dan konsumen, kontak dagang saling mengtuntungkan dan sebagainya.
(4) Sport
tourism, wisata untuk menyaksikan event olahraga nasional dan internasional
seperti PON, Olympiade, formula, champion dll.
(5) Poltical
tourism, perjalanan menyaksikan peristiwa-peristiwa tertentu di berbagai negara seperti Pemilu, pelantikan
Presiden dan Kepala Negara, Raja, upaya kenegaraan dll.
(6) Advantural
tourism, yaitu perjalanan petualangan, hiking, jelajah laut, hutan, gunung,
arung-jeram dan lain-lain.
(7) Sosial
tourism, kunjungan wisata sambil memberikan bantuan pangan, pakaian dan
obat-obatan ke suatu tempat atau
masyarakat .
(8) Religious
tourism, yaitu perjalanan wisata bernuansa keagamaan , termasuk umrah, haji dan seterusnya.
Pada dua atau
tiga dekade lalu dunia perjalanan wisata itu
disederhanakan orang menjadi sun,
sand, and smile (matahari, pasir pantai, dan senyuman). Beberapa waktu yang
agak panjang pada dekade lalu ada pula istilah wisata seks. Karena pada waktu
itu ada negara tertentu yang menjajajakan wisatanya dibumbui oleh penyediaan
jasa seks komersial itu. Pada halk,
wisata jenis ini merupakan penyimpangan dari aslinya yanag dimaksud
kepariwisataan itu.
Belakangan di
Indonesia mengenal pula apa yang disebut wisata ziarah yang pada dasarnya
merupakan bagian dari wisata budaya tadi.
Bahkan ada pula yang menyebut pada akhir-akhir ini sebagai wisata religi atau agama.
Yang disebut terakhir ini tentu
mempunyai dasar yang relevan juga. Bukankah perosesi haji itu sendiri oleh beberapa kalangan
disebut sebagai wisata jasmani dan ruhani atau wisata agama.
Di dalam Bahasa Inggris hajji yang biasa disebut pilgrimage
itu, juga disebut sacred journey atau perjalanan suci. Sementara di
dalam Islam sendiri ibadah haji berarti jawaban untuk memenuhi panggilan Allah
sesuai do’a Nabi Ibrahim as. Sebagai lambangt akidah tauhid untuk kebesaran Allah swt dan merupakan tuntunan
yang mesti dilakukan setiap muslim dan muslimat yang mempunyai kemampuan untuk
melaksanakannya. Ibadah hajji menjadi rukun (pilar) Islam yang ke-5 berdasarkan
firman Allah di dalam al-Qurán. [3]
Sementara itu di dalam kaitan dengan nilai-nilai
ideal dari kepariwisataan bagi Islam adalah bagaimana ummatnya mengambil
i’tibar atau pelajaran dari hasil pengamatan dalam perjalanan yang dilakukan
sebagai diisyaratkan al-Qurán (QS,6 :11) [4]. Menurut Mufassir al-Maraghi, perjalanan
manusia dengan maksud dan keperluan tertentu di permukaan bumi harus diiringi
dengan keharusan untuk memperhatikan dan mengambil pelajaran dari peninggalan
dan peradaban bangsa-bangsa terdahulu seperti yang dinyatakan pada ayat tadi dan
berikut, QS Fathir,35 : 44.[5]
Selanjutnya Al-Qur’an menggambarkan pula apabila
manusia itu mau memperhatikan, mereka
akan dapat melihat dan mengetahui bahwa dalam alam sekelilingnya, malah pada
diri mereka sendiri (jasmaniiah dan ruhaniah) berlaku peraturan-peraturan
sunnatullah (M. Natsir, 1969 :4) [6] Pada bagian lain Al-Qur ‘an menekankan
perlunya jaminan keamanan suatu daerah atau negara serta fasilitas yang
tersedia bagi para wisatawan. Hal ini ditekankan oleh Mufassir al-Qurthubi
ketika memahami QS Saba’ 34: 18. [7]
III. Fungsi dan Peranan
Pariwisata
Apabila direnungkan secara mendalam, berdasarkan
uraian di atas tadi maka dilihat dari makna substantif dan jenis pariwisata
serta kategori wisata dilihat dari objek dan kegiatan ideal yang hendak ditujunya,
maka fungsi wisata pada dasarnya adalah aktivitas luar dan di dalam ruangan (out
door and indoor activities) perorangan
atau kolektif untuk memberikan kesegaran
dan semangat hidup baik secara jasmani mapun rohani.
Fungsi kepariwisataan yang demikian ternyata di
dalam perakteknya dapat dikembangkan di
dalam berbagai peranannya dalam kehidupan manusia baik secara individu maupun
kolektif. Di antaranya pariwisata berperanan di dalam perkekonomian keluarga,
kelompok bahkan pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, bidang
pariwisata termasuk bidang poembangunan ekonomi. Karena semua kegiatan
pariwisata memberikan aktivitas prima terhadap pertumubuhan ekonomi.
Pariwisata
berperanan di dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Wisata pendidikan
baik domistik maupun mancanegara, maka pemahaman tentang ilmu pengatahuan dan
teknologi, pemahaman atas peritiwa masa lalu, sejarah, kepurbakalan dan
sebagainya akan menambah wawasan yang lebih tercerahkan.
Pariwisata
ternyata juga berperanan di dalam mengembangkan semangat, rasa dan kesadaran
keberagamaan (religousness)
manusia. Bahkan wisata di dalam Islam seperti telah disiinggung di atas
merupakan bagian tak terpisahkan dengan ibadah seperti ibadah haji yang
melakukan prosesi dan safari suci Makkkah,
Arafah, Muzdalifah, Mina dan kembali ke Mekkah. Ziarah ke kota dan masjid
nabawi di Madinah dan tempat-tempat bersejarah lainnya di sekitar Mekkah dan
Madinah. Bahkan sekarang berkembang wisata ibadah umrah plus mengunjungi
berbagai temnpat bersejarah di negara-negara Timur Tengah. Tentu saja wisata
agama ini bukan hanya milik Islam, bahkan hampir semua agama memiliki wisata jenis
ini dengan segala variasinya menurut kepercayaan dan sosial budaya mereka.
Pariwisata
dengan demikian mempunyai peranan yang
amat luas di dalam kehidupan manusia. Akan tetapi wisata yang menyimpang
dari norma ideal haruslah disingkirkan seperti wisata seks. Wisata hiburan yang
mengarah kepada eksplorasi dan eksploitasi seks dan wanita dan pria yang
mengutamakan kesenangan fisik yang rendah bersifat hedonistik dan erotik untuk kepuasan
lahiriah dan naluriah hewaniah inilah yang menjadi malapetaka yang pada
ujungnya membuahkan penyalahgunaan obat terlarang dan bahkan menjadi sarang
berkembangnya HIV dan Aid, mungkin pula sars.
IV. Pandangan Agama dan Sarana dakwah .
Seperti
telah disinggung pada bagian terdahulu, maka pariwisata termasuk komponen keagamaan
yang tercakup di dalam bagian muámalah sebagai wujud dari aspek kehidupan
sosial budaya dan sosial ekonomi. Di dalam muámalah, pandangan agama terhadap
sesuatu aksi sosial dan amaliah senantiasa disandarkan kepada makna kaidah yang disebut maqashid al-syari’ah.
Oleh Ibn al-Qaiyim al-Jauziah (19977:14)
syariát itu senantiasa di dasarkan kepada maqashid syari’ dan
terwujudnya kemaslahatan masyarakat secara
kseseluruhan baik di dunia maupun di akhirat .
Di
samping itu tentu juga harus
dipertimbangkan antara kemaslahatan (manfaat) dan mafsadah (keburukan), di mana
menghindari keburukan jauh lebih baik daripada mengambil kebaikan . Sebangun
dengan itu, mengambil yang terbaik daripada yang baik harus pula diutamakan
Di
dalam kaitan ini maka bila dunia priwisata membawa kepada kemanfaatan maka
pandangan agama adalah positif, tetapi bila sebaliknya, maka agama niscaya
melarang kegiatan wisata itu. Di dalam hal ini belaku kaidah menghindari keburukan (mafsadah) lebih utama
daripada mengambil kebaikan (maslahat).
Oleh
karena itu pnadangan agama akan positif kalau dunia kepariwisataan itu
dijalankan dengan cara yang baik untuk mencapai tujuan yang baik. Agama akan
negatif terhadap wisata walupun tujuan baik untuk menyenangkan manusia dan
amasyarakat tetapi dilakukan dengan cara-cara yang menyimpang dari kemauan
syariat, maka hal itu ditolak.
Wisata yang menyimpang pasti bertentangan
dengan agama. Terhadap hal ini, agama apa pun mengharamkannya. Lebih dari itu,
pariwisata dapat pula menjadi media dakwah untuk membangun kesadaran, keimanan
dan ketaqwaan serta mencapai nilai-nilai kehidupan yang tinggi luhur.
Apabila
dakwah diharapkan sebagai salah satu di antara media pengembangan dunia
kepariwisataan, maka paling tidak ada beberapa komponen yang perlu
dipertimbangkan. Pertama, da’i sebagai subyek diharapkan dapat menjadi motivator dan memberikan
nilai-nilai ideal dalam pengembangan kepariwisataan. Untuk itu tentu saja
diperlukan suatu pendekatan persuasif atau interaksi dan komunikasi yang
produktif antar pelaku dunia wisata seperti PHRI, ASITA, Dinas Pariwisata dan
seniman serta budayawan yang bergerak di dunia kepariwisataan ini bersama da’i.
Semua aktifitas yang baik dan mengandung nilai-nilai positif serta dilaksanakan
dengan cara yang baik, tentulah bernilai ibadah.[8]
Yang
diperlukan bagi para da’i adalah suatu pemahaman bahwa dunia wisata adalah
bagian dari kebutuhan jasmani dan ruhani
manusia yang terbimbing ke arah yang baik dan benar, terjauh dari yang berbau
maksiat. Simbol-simbol kepariwisataan di antaranya dibolehkannya atau bahkan
dibiasakannya petugas hotel dan wisata memakai busana muslim dan muslimah,
tentu saja akan membuat para da ‘i terjauh dari prasangka buruk. Dunia
perhotelan haruslah dijauhi dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai dan budaya Islami.
Selanjutnya pengaturan
tamu hotel yang tidak membolehkan penggunaan obat terlarang dan pencegahan praktek-praktek pergaulan lintas jenis
kelamin yang tidak syah, secara implisit merupakan bentuk dakwah yang menunjang
kepariwisataan. Begitu pula pertunjukan yang disajikan seniman atau pelaku seni
pada dunia wisata ditampilkan dalam batas-batas kewajaran tentu akan dapat
diterima secara wajar pula oleh para da ‘i khsusunya dan ummat beragama yang
taat pada umumnya.
Kedua, komponen pesan atau isi da’wah. Para pelaku aktivitas dakwah, di antaranya
da’i, jama’ah pengajian, majelis ta’lim dan lainnya dapat diberdayakan pula
untuk mengajak masyakat luas menggunakan fasilitas wisata seperti toilet umum,
tempat tempat umum dan objek wisata sebagai sesuatu yang mesti dipelihara kerapihan, kebersihan dan
kenyamanannya secara bersama-sama dan untuk
kemaslahatan (kebaikan) bersama. Terhadap turis mancanegara, para da’i dapat
berperanan mengajak masyarakat untuk menghormati mereka secara wajar tidak
berlebihan atau sebaliknya melecehkan.
Ketiga, para pekerja sektor wisata seperti sopir
angkutan wisata, interpretor dan pemandu wisata, travel agent, tour leader
(pimpinan perjalanan) dan pramuwisata
lainnya pada dasarnya adalah pelaku dakwah bil-hal atau dakwah dengan
perbuatan. Apabila mereka menjalankan tugasnya secara baik, etis atau
berakhlakul karimah, dan bagi yang beragama (Islam) menjalankan ibadahnya serta
menyediakan waktu pula bagi peserta wisata menjalankan ibadah mereka, maka
otomatis mereka bekerja sambil berdakwah.
Keempat,
objek wisata yang memberikan dampak nilai-nilai sepiritual yang biasa disebut
wisata ziarah atau wisata budaya diharapkan semakin diperkaya di samping objek
lainnya. Begitu pula item-item dan panjangan bernilai sejarah, kultural, dan
bernuansa religi yang terdapat di museum, gallary dan sebagainya seyogyanya
diperkaya dengan hasil karya dan produk serta peninggalan yang menunjukkan jati
diri bahwa artifak bernuansa agama juga tertampilkan dalam visualisasi yang memadai.
Kelima,
fasilitas, perlengkapan, peralatan, akomodasi dan konsumsi. Pada setiap tempat
objek wisata hendaknya di samping dilengkapi dengan toko souvenir, toilet dan
sebagainya, seharusnya disediakan tempat sholat atau tempat ibadah serta keran
air untuk berwuduk yang bersih dan
memadai. Penyediaan ruangan ibadah, sajadah, kitab suci al-Qur’an di
laci meja atau fasilitas ibadah di dalam
kamar atau di ruangan lain bahkan tempat khusus komplek perhotelan, tentulah
semuanya itu menjadi media dakwah yang komplementer. Lebih dari itu, makanan
dan minuman yang disajikan terutama untuk wisatawan lokal dan domistik, harus
dijamin kehalalannya. (Shofwan Karim, 2003:6-8)
IV. Penutup.
Dengan bahasan
beberapa landasan normatif-tekstual dan empirik aktual tadi tidak ada alasan bagi umat Islam untuk
bersikap pasif di dalam mengembangkan dunia kepariwisataan. Karena nilai-nilai
ideal Islam seperti yang diisyaratkan firman Allah swt tadi tidak ada yang
bertentangan dengan kepariwisataan yang bersifat ideal. Akan tetapi bila kepariwisataan
itu hanya berkisar antara sun, sand smile and sex , dengan lebih mementingkan berjemur diri di
panas pantai dengan pameran aurat dan penyalahgunaan dunia entertainment (hiburan) serta pergaulan hidup di luar ketentuan syari’at, maka
hal itu bertentangan dengan nilai-ideal dan tentu saja tidak mungkin
bersesuaian dengan pandangan agama ( Islam). ***
Kepusatakaan
Al-Qur’an al-Karim.
Encarta. Encylopedia Delux. Microsoft: t.t.p, 2002.
CD 2
PTIQ. 1983. Pancaran Al-Qur’an terhadap Pola
Kehidupan
Bangsa Indonesia. Jakarta .
Pustaka Al-Husna.
Karim, Shofwan. 2003. “ Dakwah
sebagai Media Pengembangan
Kepariwisataan.”. Padang:
Dinas Parsenibud Sumbar.
Makalah.Forum
Pertemuan antara Seniman, Budayawan,
Pemuka Agama, Adat serta Usaha
Pariwisata (PHRI-
ASITA) dan MUI, 16 Juni di
Bumi Minang Hotel.
Muhammadiyah, Suara. 1988.
“Industri Pariwisata”. Yogyakarta.
PP
Muhammadiyah. No. 18/68.
Mu’in, KHM Taib Thahir Abd. 19866. Ilmu Kalam.
Jakarta.
Wijaya. Cet. VIII.
Natsir, M. 1969. Fiqhud-Da’wah : Jejak Risalah dan
Dasr-dasar
Da’wah. Jakarta: Kiblat.
Nasution, Harun.
1979. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.
Jakarta. UI Press. Jilid I.
*
Makalah disampaikan pada Pelatihan/Pemantapan Adat, Akhlak dan Budaya Alam
Minangkabau unsur Muballigh Kota Padang, 24-30 Juli 2003, Gedung Abdullah
Kamil, Padang. Edit ulang, 09.5.2016.
w
Pengasuh Mata Kuliah Pemikiran Modern di Dunia Islam (PMDI) Fak.Ushuluddin IAIN
Imam Bonjol Padang dan Program
Pascasarjana UMSB , serta Ketua PW
Muhammadiyah Sumbar.
[1]
Mereka diliputi kehinaan
di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama)
Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat
kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena
mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang
benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. (Q.S.
3: 112)
Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan
mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. (QS, Quraisy, 106:
1-2).
Dan berserulah kepada
manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan
berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru
yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfa`at bagi mereka dan supaya
mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang
Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah
sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan
orang-orang yang sengsara lagi fakir. QS, Alhaj, 22:27-28)
Katakanlah: "Berjalanlah di muka bumi,
kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan
itu". (QS, Al-An’am, 6:11)
Dan apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu
melihat bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka, sedangkan
orang-orang itu adalah lebih besar kekuatannya dari mereka? Dan tiada sesuatupun yang dapat melemahkan
Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Kuasa. (QS, Fathir,
:44)
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga
jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak
cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (QS,
Fushilat, 41: 53).
Dan Kami jadikan antara mereka dan antara
negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang
berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan.
Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam dan siang hari dengan aman.
(QS, Saba’ : 18).
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku. (Al-Zaariyat, 51 : 56)
Komentar