Berpuasa Saat Suasana Mencekam
Berpuasa Saat Suasana
Mencekam
Wartawan
: Shofwan Karim - Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumbar • Editor : Riyon •
2016-06-21 10:57
Tahun
1958-1959 merupakan tahun tak terlupakan, lebih-lebih saat bulan Ramadhan.
Bukan apa-apa, saat itu masyarakat kampung kakek H . Hussein dan ayah saya H Abdul Karim, Sungai Limau Asam Jujuhan, Kabupaten
Dharmasraya (dulu Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung) hidup dalam ketakutan. Kampung
Sungai Limau dibakar entah oleh pihak mana. Sebagian besar keluarga ayah saya pindah ke
kampung ibu saya yang tak jauh dari Sungai Limau, Dusun Sirih Sekapur,
Kecamatan Jujuhan, sekarang berbatasan dengan Sungai Rumbai.
Semuanya
dipicu oleh gejolak antara Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
dengan tentara pusat. Nah, kampung saya termasuk daerah perlintasan tentara
PRRI. Makanya, tentara pusat sering melakukan pemantauan ke daerah kami.
Waktu
itu, setiap lelaki dewasa dicurigai jadi anggota PRRI. Guna menghindari hal-hal
tak diinginkan, banyak masyarakat memilih keluar dan tinggal di gubuk-gubuk
perladangan, atau masuk hutan. Jaraknya dari perkampungan cukup jauh. Biasanya,
mereka bersembunyi siang hari. Saya ingat betul waktu itu.
Saya
bersama keluarga lainnya juga mengungsi ke gubuk di ladang. Saat itu, orangtua
mengatakan bahwa beras tak cukup. Apalagi sambal dan lainnya. Padahal, ketika
itu lagi bulan puasa.
Umur
saya waktu itu baru 6 tahun. Namanya anak-anak, saya tetap menjalani puasa
dengan gembira. Seakan tak ada hal yang perlu ditakutkan, termasuk keberadaan
tentara PRRI.
Akibat
keterbatasan beras, orangtua saya tak memasak. Mujurnya, meski tak ada beras
untuk ditanak, namun hasil hutan saat itu melimpah. Berbagai macam buah-buahan
mudah ditemui. Mulai durian, salak, dan buah lainnya siap untuk disantap. Kami
sekeluarga dan orang kampung lainnya tak merasakan kelaparan waktu itu.
Saya
merasa ada saja kemudahan di balik kesusahan itu. Rasanya sangat nikmat dan
lebih enak dibandingkan berbuka dengan beras. Bayangkan saja, buah-buahan
tinggal dipetik di ladang atau hutan.
Ketika
malam datang, kami sering berkumpul dalam gubuk. Lantai gubuk masih terbuat
dari anyaman bambu, dinding dari kulit kayu dan atap rumbia. Hari-hari saya
selama bulan Ramadhan itu dihabiskan di sekitar gubuk dan ladang. Sesekali,
saya dan kawan-kawan sebaya pergi ke hutan.
Kebersamaan
satu kampung begitu terasa. Tak ada rasa takut, padahal bapak dan pria dewasa
di kampung saya pada ketakutan. Saya sendiri juga pernah melihat orang kampung
dibawa tentara nasional yang katanya, mereka ditanya-tanya soal PRRI.
Sebetulnya,
bapak saya juga sempat dibawa tentara pusat. Untung saja, bisa kembali dengan
selamat karena memang bukan anggota PRRI. Saya sempat khawatir pula waktu itu.
Untuk mengisi waktu ketika tinggal di ladang, saya dan sejumlah teman-teman lain
terkadang bermain di sungai.
Dalam
bulan puasa, mandi di sungai merupakan hal paling enak. Untuk mendinginkan
badan, saya dan teman-teman sering menyelam hingga ke dasar sungai. Pokoknya,
kami riang dan gembira saja. Hal ini bagi saya merupakan berkah Ramadhan.
Selain
itu, kesan Ramadhan yang tak terlupakan bagi saya adalah saat bersekolah di
Padangpanjang. Tepatnya, tahun sekitar 1969 silam. Saya mendapatkan kesempatan
mengenyam pendidikan di Sekolah
Persiapan IAIN IB Padangpanjang (setingkat Madrasah Aliyah). Umur saya baru 17
tahun.
Ketika
Ramadhan, saya libur ke kampung. Saat itu, saya begitu dihargai. Meski masih
bersekolah, namun apresiasi orang kampung sangat luar biasa. Setiap hari, saya
diajak berbuka di rumah warga. Bagi orang kampung saya, jika ada warganya
bersekolah apalagi sekolah agama sangat dihargai.
Memasuki
bulan Ramadhan, biasanya orang kampung saya memiliki tradisi khusus, di mana
warga memotong sapi. Tradisi ini bentuk suka cita dalam menyambut Lebaran.
Prosesi itu menjadi kebanggaan bagi orang kampung saya, sehingga mereka tak
menyia-nyiakannya.
Malam
hari saat Shalat Tarawih, saya selalu diminta berbagi ilmu di masjid. Bahkan,
saya dan kawan sebaya lainnya mengaji sampai dini hari. Setelah mengaji, kami
membangunkan warga sambil membunyikan tabuah.
Di
usia remaja itu, saya dibentuk untuk taat beragama. Ilmu agama mesti
disebarluaskan. Makanya keberhasilan saya saat ini, tak terlepas dari
pendidikan alam dan sosial dibentuk masyarakat. Baik di kampung maupun sekolah.
(*)
Dikutip
dan diedit 22.6.16 dari :
http://www.m.padek.co/detail.php?news=63486
Komentar