Perjalanan ke Daratan Cina, Hongkong dan Macau dari 1980-2015
Di jalan lorong koridor atas dinding tembok besar Chna, Desember 2015. (Foto: Dok/Dok) |
Catatan Perjalanan ke Daratan Cina 1995, 2008, 2010, 2015 dan Hongkong 1980, 1981, 1982, 1983, 1984, 1985, 1988, 1995, 1998, 2013, 2015: (1)
Pengalaman Shalat di Bandara Internasional Hongkong
Oleh Shofwan Karim
Hongkong, (Singgalang, 19/10).
Selain di negara
negara Islam atau mayoritas penduduk Muslim, fasilitas untuk menunaikan ibadah
shalat tentulah menjadi perhatian musafir muslim. Setiap
waktu shalat datang, yang dicari adalah tempat sujud ini. Pengalaman ini,
penulis ulangi hari ini, Ahad, 19/10 pukul 16.00 (WK) di Hongkong
Terminal 1. Dengan isteri, kami celangak celenguk mencari kemungkinan tempat yg
satu ini. Tiba-tiba Imnati, ibu 3 putra dan 1 putri saya menunjuk satu
tanda orang duduk antara dua sujud. Benar saja, ketika kami buka pintu kaca di
bawah tanda itu, rupanya seseorang shalat di dalam ruangan kira-kira 6 kali 5
meter itu.
Alhamdulillah, maksud sampai. Kami langsung masuk, berwuduk dan
menggelar sajadah yang tersedia didalam sebuah lemari luks dan rapi di
sudutnya. Di sudut lain ada tempat wuduk yg bersih dan kerannya otomatis
mencurat, ketika tangan atau anggota wuduk yg lain didekatkan ke bawahnya. Kami
menjadi makmum untuk shalat jamak qashar Zuhur n Asar kepada seorang
lelaki. Kemudian datang lagi seorang perempuan menjadi makmum lainnya.
Dalam ramah tamah setelah salam, ternyata imam kami adalah Muhammad, mahasiswa
Accounting Adelaide University Australia. Dia berasal dari Mekkah, Saudi
Arabia.
Bandara
Internasional Hongkong yg baru beberapa tahun di bangun cukup moderen
ini, rupanya telah didesain dan dibangun sedemikian rupa untuk mengakomodasi
kepentingan ummat Islam yg keluar masuk Bandara ini. Seingat penulis,
selain di Bandara negeri Muslim, tidak banyak Bandara di dunia yg menyediakan
fasiltas seperti ini. Pada tahun 1996, pengalaman penulis di Bandara Frankfurt,
Jerman juga ada ruangan untuk menunaikan ibadah shalat ini. Tetapi di situ
dipakai oleh semua agama. Di dalam ruangan kecil yg lebih sempit dari yg di
Hongkong ini, waktu itu (1996) ada patung Budha, ada Patung Yesus dan Konghucu,
serta sajadah shalat dan Alqur'an serta beberapa perlengkapan ibadah agama
lain.
Di Bandara
Hongkong, ruangan shalat ini tidak bercampur dg tempat ibadah agama lain yg dan
tempatnya yg laim belum penulis temukan. Mungkin otoritas Bandara Hongkong
mengambil pelajaran kepada negara Muslim yg menyediakan fasiltas seperti ini.
Di negeri Muslim pun fasilitas semacam ini, seperti Indonesia tergolong baru.
Seingat penulis, sejak zaman Pak Azwar Anas menjadi Menhub RI akhir 80-an
barulah tempat ibadah ini disediakan. Inilah agaknya salah satu
bentuk respon positif dunia internasional terutama otoritas Bandara memberikan
apresiasi yg memadai kepada ummat Islam yg dalam bermacam kepentingan terbang
dari satu tempat ke tempat lain baik lokal, nasional, internasional
dan interkontinental. Islam dan umat Muslim rupanya makin menikmati ibadahnya
dg mudah. Hanya saja di Bandingkan dengan di Bandara Internasional Minangkabau,
yg shalat di BI Hongkong memang tidak terlalu banyak, sehingga kebersihan dan
kenyamanan lebih memadai dibandingkan di kampung kita ini.***
Catatan Perjalanan dari Cina (10-habis)
Persahabatan Indonesia-Cina sebagai warga dunia
Oleh Shofwan Karim Elhussein
M enurut
beberapa sumber, persahabatan Nusantara dengan Tiongkok sudah hampir 2000
tahun lalu. Tentu saja yang dimaksud di sini adalah persahabatan antara
Dinasti-dinasti di China dan kerajaan-keraajan di Nusantara sebelum maupun
selama dan sepanjang serta sesudah Sriwijaya dan Majapahit sampai
kepada kerajaan pasca Majapahit yang antara lain adalah
kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Misalnya hubungan
yang terjalin kuat sejak Laksamana Cheng Ho mengunjungi Sumatera
sekitar 700 tahun lalu.
|
Akan tetapi di dalam era
moderen, tentu saja persahabatan antara Nusantara dan Tiongkok itu diganti
dengan persahabatan antara Indonesia dan China setelah Indonesia merdeka 1945
dan berdirinya RRC pada 1949. Pada
tanggal 13 April 1950 kedua negara menjalin hubungan diplomatik secara resmi.
Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 dan Lima Prinsip Hidup
Berdampingan dengan Damai dan Dasasila Bandung yang ternama merupakan sumbangan
terpenting dari negara-negara baru Asia Afrika, termasuk RI dan RRC dalam
rangka membangun kembali kesamaan derajat hubungan negara dan keadilan tata
tertib internasional.
Pada tahun 1955 bahkan sudah ada Perhimpunan
Persahabatan Indonesia-China yang pertama. Tentu saja ini suatu lembaga
yang sudah menjadi jamak semasa itu seperti Perhimpunan Persahabatan
Indonesia-Amerika, Indonesia-Belanda, Indonesia-Jepang, Indonesia Inggris dan
seterusnya. Akan tetapi khusus untuk Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Cina
ditutup oleh Orde Baru dengan Surat Edaran Kabinet Ampera pada tahun 1966. Baru
pada tahun 1998 upaya menghidupkan kembali lembaga ini dimulai pasca kejatuhan
Soeharto. Di era Abdurrahman Wahid menjabat presiden pada 1999, barulah lembaga
yang semula bernama Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok ini lahir kembali.
Hanya saja kali ini namanya berubah menjadi Perhimpunan Persahabatan
Indonesia-China (PPICh).
Pada masa itu, kata “China” dianggap penting ditegaskan karena berbeda
dengan “Cina”. Pemerintah RRC sendiri memakai pelafalan ini, sementara “Cina”
adalah kata yang dibuat Orde Baru dengan stigma tertentu. Tetapi sekarang,
stigma itu sudah tidak ada lagi. Oleh karena itu kata “Cina” yang sudah sesuai
dengan kaidah Bahasa Indionesia, tidak mengandung makna pejoratif (merendahkan)
lagi. Namun, perhimpunan tadi tetap memakai kata China sehingga akronim
sebagai Perhimpunan Persahabatan Indonesia-China (PPICh), belum berubah.
Organisasi ini adalah satu-satunya organisasi persahabatan kedua negara yang
bersifat G to G atau dari pemerintah ke pemerintah kedua negara. Didirikannya
pun dengan SK Menteri Luar Negeri yang ketika itu dijabat Prof. Dr. Alwi
Shihab.
Seperti diketahui, menurut data yang dikemukakan oleh Kedubes RRC
beberapa waktu lalu, Indonesia adalah negara dengan volume perdagangan nomor 17
bagi RRC. Sementara RRC malah nomor empat terbesar bagi R.I. Hal ini
menunjukkan betapa penting dan strategisnya RRC bagi RI tentu juga sebaliknya.
Tampaknya persahabatan dengan Cina amatlah strategisnya dan ternyata sekarang
sudah tidak ada masalah psikologis lagi. Hal yang telah dirintis oleh Presiden
Gus Dur dan Megawati beberapa tahun lalu itu, kini diikuti boleh pemerintah
SBY-JK. Beberapa waktu lalu Presiden Cina Hu Jintao berkunjung ke
Indoneisa, dan SBY dua pekan lalu hadir di KTT Masyarakat Asia Eropa di Cina
dan sebelumnya dulu JK sudah berkunjung ke Cina. Isyu terakhir adalah
soal penjualan Gas Papua Tangguh Indonesia ke Fujian, Cina yang
kontraknya 25 tahun ke depan harus dinegosiasi ulang karena terasa
merugikan Indonesia.
Sebenarnya, disamping upaya pemerintah dan semi pemerintah dalam
menjalin persahabatan antara Indonesia Cina, tak kurang pula peranan rakyat
kedua Negara. Diantaranya yang amat menonjol adalah organisasi yang didirikan
oleh keturunan Cina yang beragama Islam. Yang amat tersohor di
antaranya adalah Pembina Iman Tauhid Islam yang dulunya disebut
Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) yang didirikan di Jakarta, pada
tanggal 14 April 1961. Pendirinya antara lain almarhum H. Abdul
karim Oei Tjeng Hien, almarhum H. Abdusomad Yap A Siong dan almarhum Kho
Goan Tjin bertujuan untuk mempersatukan muslim-muslim Tionghoa di Indonesia
dalam satu wadah yang dapat lebih berperan dalam proses persatuan bangsa
Indonesia.
PITI didirikan pada waktu itu sebagai tanggapan realistis atas saran
Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah almarhum KH Ibrahim kepada almarhum H. Abdul
Karim Oei bahwa untuk menyampaikan agama Islam kepada etnis Tionghoa harus
dilakukan oleh etnis Tionghoa yang beragama Islam. Penulis jadi teringat di
tahun 1980-an, Haji Beni rumah makan Pagi Sore di Pondok Padang. Lebih
dua dekade lalu beliau cukup aktif di organisasi tadi. Tentu saja lembaga
persahabatan lain tak kurang pentingnya. Bukan saja oleh kalangan yang menitik
beratkan gagasannya tentang persahabatan lantaran agama, tetapi juga
berdasarkan nilai-budaya dan kemanusiaan. Maka datangnya warga Cina ke
Indonesia atau sebaliknya dengan tujuan dan kepentingan yang beragam,
sebenarnya adalah termasuk dalam rangka menumbuhkan kembangkan
persahabatan antara kedua bangsa sebagai bagian dari warga dunia. ***
Catatan Perjalanan dari Cina (9):
Ekonomi, Teknologi dan Pembangunan Nanjing
Oleh Shofwan Karim Elhussein
Nanjing
adalah pusat komersial, pendidikan dan wisata kota terbesar kedua di regional
timur Cina setelah Shanghai. Dari Shanghai ke Nanjing, dengan kereta api cepat
hanya memakan waktu 1 jam dalam jarak 300 km. Dan dari Beijing ke Nanjing
berjarak 1200 km. Nanjing terletak di dataran rendah Sungai Yangtze. Yang
menakjubkan adalah di tengah kota Nanjing terdapat dua danau. Danau Xuanwu dan
Danau Mochu.
Kemudian di belakangnya agak ke utara ada lagi ada lagi satu danau mini
di kaki pegunungan Purple. Dengan danau dan pegunungan, maka
bisalah dibayangkang keindahannya. Kira-kira seperti Danau Singkarak atau
Danau Maninjau, terletak dalam Kota Padang yang di belakangnya ada Sungai
Batang Harau dan di kejauhan ada danau di atas atau danau di bawah di kaki deretan
bukit barisan. Dengan dikelilingi Sungai Yangtze dan di tengahnya tiga
danau tadi, Nanjing bagaikan sepotong taman firdaus yang terpelanting ke
Cina. Hijau dengan bermacam pepohonan dan tumbuhan. Bunga yang mekar indah di
musim semi dan warna merah dan kuning dedaunan yang berjatuhan di musim gugur
serta ada salju tipis menebar di musim dingin dalam suhu minus 1 derjat
celcius.
Di dalam konsep stategis pengembangan ekonomi Cina, Nanjing menjadi
pusat apa yang disebut Yangtze River Delta Economic Zone (Zona Ekonomi Delta
Sungai Yangtze). Zona ekonomi terluas dalam stategi pengembangan dan
pertumbuhan ekonomi negeri yang disegani Negara industri dunia itu.
Sebagai bagian dari zone delta tadi, Nanjing membagi lagi tiga sub-zona:
Nanjing Economic and Technological Development Zone; Nanjing New and High
Develoment Industry Zone ; Nanjing Jiangning Development Zone.
Di dalam peradaban, budaya, sejarah dan peranan klasik, maka boleh
dikatakan Nanjing punya posisi utama di Cina. Ibu kota provinsi Jiangsu
ini menduduki posisi amat strategis dalam sejarah Cina. Sebelum boyong ke
Beijing tahun 1949, ibukota Republik Rakyat Cina itu adalah Nanjing. Bahkan di
zaman klasik Cina, Nanjing menjadi ibukota sepanjang sejarah beberapa
dinasti. Sejak dari berdirinya kota ini tahun th. 211 M, ia menjadi
pusat Dinasti Jin dengan nama kota Jiankang. Lalu menjadi ibukota Dinasti
Sui. Kemudian ketika menjadi ibukota Dinasti Tang ia bernama Kota
Jinling. Lalu berubah menjadi Xidu, di bawah Dinasti Yuan dan seterusnya
berubah menjadi Nanjing.
Mungkin karena sejarah panjang itu, maka tak heran kalau Nanjing,
belakangan memiliki dwi-fungsi. Sebagai ibukota Provinsi Jiangsu, sekaligus
sebagai kota istimewa bersama 15 kota lain di Cina yang berstatus sub-provinsi.
Dalam soal peradilan dan eknomi Nanjing punya otoritas sendiri.
Nanjing, dengan demikian mempunyai otonomi khusus, hampir sejajar
dengan provinsi.
Sepanjang sejarah klasik dan modern Cina, Nanjing menjadi pusat
jaringan pendidikan, riset, transportasi dan wisata nasional Cina.
Beberapa buah universitas Cina terkemuka ada di Nanjing, Salah satu di
antaranya adalah Universitas Nanjing yang pernah disinggung dalam catatan
edisi sebelum ini. Di luar universitas atau yang menjadi mitra universitas ada
sekitar 300 Lembaga Riset. Lembaga riset di sini lebih kepada korporasi yang
berorientasi aplikasi dan produktifitas. Sekaitan dengan itu, lembaga riset
bekerja sama dengan korporasi merealisasikan apa yang menjadi temuan
riset itu, sehingga menjadi sesuatu yang aplikatif. Oleh karena itu, ajang
ekshibisi atau pameran produksi dan dagang yang hampir tiap bulan bahkan ada
yang tiap pekan diadakan di Nanjing, pasti sekaligus memperkenalkan dan
memamerkan hasil riset dari ratusan lembaga dan universitas tadi. Maka sebagai
ajang promosi, tiap ekshibisi selalu ada hal yang baru, termasuk hasil
riset teknologi dan sains intermidiate
dan advance.
Tentu berbeda dengan keadaan di negeri kita. Di sini, hasil riset dari
univeritas atau badan semacam itu amat sedikit yang dapat memanfaatkan atau
mengoperasionalkannya. Mungkin hanya untuk rujukan dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Yang lain tinggal dalam deretan ratusan lemari di perpustakaan
atau di lemari kantor badan penelitian itu saja. Sedikit sekali yang bisa
memberikan dampak ekonomi, kesejahteraan dan politik. Bahkan ada nuansa yang
kurang enak, bahwa hasil penilitian pusat riset di Indonesia atau universitas
kurang dipedulikan apalagi menggunakannya untuk membuat kebijakan.
Mungkin kita memang harus belajar lebih banyak lagi ke Cina.***
Catatan
Perjalanan dari Cina (8):
Cukup Satu Anak dan Tunda Perkawinan
Oleh Shofwan Karim Elhussein
M Enurut Li Wei-xiong, akibat
kemiskinan, peperangan, kurangnya kesehatan dan bencana alam, penduduk Cina
dalam 200 tahun hanya bertambah dari 250 menjadi 500 juta orang sampai
tahun 1950. Kemudian akibat mulainya perbaikan tingkat kehidupan, kurangnya
bencana alam dan peperangan serta peningkatan ekonomi, kesehatan, makanan
yang bergizi dan pembangunan, dan berkurangnya angka kematian atau
semakin panjangnya usia harapan hidup, maka dalam tempo 30 tahun dari
1950 sampai 1980, penduduk Cina bertambah dua kali lipat dari 500 juta
menjadi 1 milyar.
|
Belakangan, mengingat pertumbuhan penduduk yang
semakin tingggi itu, hampir sama dengan Indonesia, sejak tahun 1973, Cina
melakukan program keluarga berencana (KB). Maka dalam hampir 30 tahun
berikutnya, sejak 1980 sampai sekarang, pertambahan penduduk Cina dalam rentang
yang hampir sama dengan sebelumnya turun ke angka 300 juta orang. Sekarang
penduduk Cina menjadi 1,3 milyar orang. Walaupun begitu dibandingkan dengan
luas wilayahnya dengan Amerika Serikat (AS) yang hampir sama, padahal
penduduknya lebih dari 4 kali, maka himbauan untuk satu anak cukup dalam satu
pasangan suami-isteri, tetap berlaku.
Tentu saja, seperti juga di Indonesia, program KB
sudah menjadi budaya masyarakat terutama di perkotaan. Di pedesaan, yang
mayoritas petani, KB masih tetap digesa oleh pemerintah. Bagaimanapun, Cina di
luar para “overseas”nya (perantau) tetaplah mempunyai penduduk terbesar
pertama dari 6,7 milyar penduduk planet bumi sekarang ini. Setelah itu
baru India (830 juta), AS (305 juta) dan Indonesia (230 juta) orang.
Para ahli kependudukan dunia tetap “concern”
peduli dengan pengendalian jumlah penduduk mengingat sumber daya bumi
yang kian terkuras. Ditambah lagi fenomena lingkungan yang kian kritis akibat
“gobal” warming, pemanasan global dan penipisan ozon serta bumi yang makin
gersang dan polusi yang kian merambat naik.
Kembali ke program KB sebenarnya bukan hanya
pembatasan kelahiran. Secara konseptual program KB meliputi pula mengubah
pandangan warga dan masyarakat tentang perkawinan, lahirnya anak dan adanya
filsafat keluarga. Pandangan tradisional Timur bahkan di Barat sekali pun,
selalu hampir sama. Baik pada orang Cina, Melayu, India atau yang lain. Dulunya
selalu ada pandangan bahwa kawin lebih dini, mempunyai anak lebih cepat dan
memiliki keluarga besar, adalah suatu yang baik bahkan suatu yang membanggakan
dan keharusan. Jadi bukan hanya pada kalangan Muslim tertentu sebenarnya ada
sebutan “banyak anak banyak rezeki” . Di kalangan lain pun ada kredo yang sama.
Lebih dari itu di kalangan kaum tradisional,
dalam keluarga, pandangan terhadap kaum lelaki selalu lebih di atas dari pada
kaum perempuan masih ada yang berlaku . Sesuatu yang rupanya dalam pandangan
klasik juga bersifat umum dan ada di mana-mana. Bahkan sampai sekarang para
penganut Menonite yang seratus tahun lalu datang dari Eropa, kini berdomisili
di beberapa koloni di Amerika Utara, masih ada kelompok komunal yang hidup
antara 100 sampai 200 keluarga yang mempraktikkan kehidupan seperti zaman
klasik itu. Anak-anak mereka yang berusia 17 (wanita) dan berusia 19 (pria)
harus menikah dan segera punya anak. Mereka bangga dengan banyak anak dan
keluarga besar.
Lain dengan di Nanjing, dalam percakapan santai
dengan beberapa penduduk terkesan bahwa pandangan lama itu sudah berubah.
Mereka setuju dengan satu keluarga satu anak. Walaupun ada aturan bahwa kalau
pun akan punya anak lagi harus disesuaikan dengan tingkatan ekonomi mereka dan
itu pun untuk anak yang kedua harus berjarak dengan yang pertama paling kurang
4 tahun. Lebih dari itu di Najing, sebagai mana juga di belahan lain di Cina,
bagi wanita yang hamil karena pernikahan, tetapi merasa terlanjur maka itu dapat
diaborsi. Tetapi harus dilakukan oleh dokter pemerintah bukan sembarangan dan
bukan pula oleh dokter swasta. Sesuatu yang tidak boleh terjadi di negeri kita.
Ini tentu suatu upaya untuk memperkecil angka fertilitas. Kemudian warga kota
ini tidak lagi bangga dengan kawin dini. Mereka mau menikah kalau ekonomi sudah
agak mapan maka dengan demikian usia untuk kawin menjadi meningkat. Anak
amatlah mahal. Apaplagi mayoritas penduduk tinggal di rumah susun. Kalaupun ada
yang tinggal di rumah kavling sendiri, itu tentulah keluarga yang sudah amat
mapan dan klas ekonomi tinggi. Dan kecendrungan seperti ini tentu saja bersaham
sebagai factor peredam angka pertumbuhan penduduk.
Mengikuti arah kebijakan nasional Cina, Nanjing
tampaknya, relatif dapat mengubah pandangan tradisional warganya
untuk beralih dari budaya cepat kawin dan cepat dapat anak serta senang keluaga
besar menjadi sebaliknya tidak terburu kawin, satu anak cukup dan tidak terlalu
mengagungkan keluarga dalam jumalh besar. Artinya orang Nanjing sudah berubah
dari keluarga besar ke keluarga inti. ***
Catatan Perjalanan dari Cina (7):
Resto Cina Berubah Mengikuti Selera Zaman
Oleh Shofwan Karim Elhussein
Menurut etika klasik bersantap cara Cina, agak mirip dengan kaum
Melayu. Semua hidangan diletakkan sekaligus lalu disantap bersama. Akan tetapi
sesuai dengan perkembangan zaman, kini cara itu sudah disesuaikan dengan gaya
moderen. Makanan disajikan beriringan dan mulai dari pembuka (appetizer) sup,
sayuran, baru masuk menu utama, kemudian penutup dan “parabuang” ( desert) cuci
mulut. Tentu saja, di awalnya disajikan menuman teh dalam poci kecil yang
hangat dan menggebu. Tapi jangan Tanya kopi hangat. Sejak dari Beijing
tahun 1995 sampai ke Nanjing 2008 ini, penulis tidak pernah menemukan
orang minum kopi di negeri bekas tirai bambu ini. Itulah yang membuat Ibu Hj.
Norma Abrar, anggota DPRD Sumbar kelabakan ketika candu kopi itu menggelegak
dalam kerongkongan ingin mereguknya. Pada waktu itu semua pelayan hotel tempat
kami menginap bersama anggota DPRD Sumbar Komisi E/Kesra di sebuah hotel
di Beijing, menggelengkan kepalanya mengatakan tidak tersedia.
Berbeda dengan di Beijing, mencari resto Muslim di Nanjing agak sulit.
Mungkin karena kami tidak terlalu banyak waktu berkeliaran mencari tempat “sungkah”
itu. Lebih-lebih lagi jadwal makan sudah diatur oleh escort (sejawat pengantar
atau tour leader) kami termasuk resto mana yang sudah di-booking atau
reserved. Sementara dulu di Beijing, dengan mudahnya kami menemukan resto
Cina Muslim. Hampir di setiap jalan utama kota berpenduduk hampir 20 juta orang
itu terpampang merek resto untuk Muslim. Tentu saja tayangannya mengundang
selera amat menarik dengan masakan dan jenis makanan halal. Di situlah seingat
penulis, di salash satu resto Mjuslim kami pernah memperingati hari ulang tahun
Kak Mimi Djabar, isteri Uda Yonda Djabar. Begitu pula ketika kami
mengunjungi Tembok Besar (Great Wall), benteng pertahanan Cina sejak
ratusan tahun lalu sepanjang hampir 750 kilometer itu. Waktu itu dengan
mudahnya kami mendapatkan resto Cina Muslim di sepanjang jalan di hampir setiap
tempat istirahat, toko souvenir dan klinik Cina tradisional yang terkenal
dengan obat-obat tradisional, herbalis dan alami.
Kembali ke Nanjing, rasa dan aroma serta jenis makanannya lebih lezat
dalam nostalgia masa lalu penulis dibanding resto Cina di Venesia,
Italia, dan Toronto, Canada atau China Town New York City. Hanya
kepada tour leader kami wanti-wanti bahwa rombongan kami ada Muslim dari
Indonesia dan Malaysia sehingga yang halal saja yang harap disajikan.
Tentu saja kami selalu was-was sehingga kecuali untuk ikan dan sayuran,
kami selalu menanyakan jenis daging yang dihamparkan di depan kami. Bila daging
angsa, ayam atau burung, barulah kami sentuh. Untuk daging sapi pun, walupun jelas
disebut “beef” rasanya kami selalu ragu.
Di luar soal selera itu, ada budaya meja makan yang membuat penulis
berfikir jauh. Di Cina, sebenarnya makan itu tidak memakai sendok dan
garpu tetapi sumpit atau chop stick yang dijepitkan antara ibu jari, jari
tengah dan telunjuk. Bentuk sumpit Cina sedikit
berbeda dengan sumpit yang digunakan di Jepang. Sumpit Cina ujungnya agak tebal
dan persegi, tidak seruncing sumpit Jepang. Sumpit harus ditaruh di atas
sandaran sumpit yang diletakkan di samping piring makan, dengan posisi ujung
yang lebih runcing di atas. Setelah digunakan untuk menyantap satu hidangan,
sumpit yang sama dapat digunakan untuk menyantap hidangan yang lain.
Di Cina, konon katanya ada semacam takhayul atau
supertition yang perlu diperhatikan bagi mereka yang suka hal-hal mistik dan
ramal meramal. Di antaranya saat menyantap hidangan dari ikan. Jika ikan sudah
selesai disantap pada salah satu sisinya, jangan pernah membalikkan ikan dengan
sumpit. Menurut kepercayaan, jika ikan tersebut patah, maka hidup Anda akan
mengalami banyak masalah.
Ada hal lain yang tidak kami temui kali ini di Cina
adalah soal undian nasib. Dulu ketika penulis bolak-balik ke Amerika dan Eropa,
termasuk juga Hongkong dan Thailand, bila makan di restoran Cina, selalu selesai
makan dan bersiap-siap meninggalkan resto itu, dibagikan sejenis kue kering
berbentuk lokan yang di dalamnya ada kertas. Masing-masing kertas itu ada
tulisan yang menyatakan tentang nasib orang yang memegangnya. Sesuatu
yang mungkin sekarang sudah berubah. Atau memang, Hal seperti itu tidak lazim
di resto Cina dalam negeri. Kebiasaan itu mungkin hanya asessori atau daya
tarik resto Cina di perantauan. Sesuatu yang merupakan budaya tambahan.
Kembali ke soal sumpit. Tahun 1980-an ketika awal-awal pengalaman makan
di resto Cina di Los Angles, California atau di Calgary, Alberta, penulis minta
sendok dan garpu karena sulitnya menyantap dengan sumpit itu. Tetapi
sejak setelah 1990-an makin pintar dan sekarang di Nanjing sudah lancar.
Kelihatannya amat merepotkan bagi yang baru mengalami. Namun dibalik itu ada
filsafat makan yang dalam. Dengan sumpit, makan yang terbawa ke mulut adalah
sedikit demi sedikit. Jadi tidak bersua istilah “gadang suok” dan sifat “cama”
atau rakus. Tentu saja bagi yang merasa sok “hygienics” (menjaga
kesehatan) lalu “galinggaman” atau rada jijik, ketika sumpit setiap orang masuk
ke setiap wajan makanan dan langsung dilahap ke mulutnya. Karena
masing-masing orang dengan sumpitnya itu bebas menjepit makanan itu dalam
cawan, mangkok dan “cambuang” di atas kayu dengan alas kaca yang berputar di
atas meja bundar yang dikeliling 6 sampai 7 orang itu. Namun kalau
direnungkan lebih dalam, itu artinya ada rasa kekeluargaan dan persabatan tanpa
curiga dan sungkan atau malu-malu. Tak ubahnya seperti kita makan bajamba dalam
talam atau dulang besar 2 sampai 3 orang pada acara adat dan sosial di
nagari-nagari di Ranah kita tercinta ini ***
Catatan Perjalanan ke Daratan Cina 1995, 2008, 2010, 2015 dan Hongkong 1980, 1981, 1982, 1983, 1984, 1985, 1988, 1995, 1998, 2013, 2015 (6):
Nilai Ideologis Kekerabatan dan Etos Kerja yang Mumpuni.
Oleh Shofwan Karim Elhussein
Di jalan raya Nanjing sepeda “kereta angin” lusuh berkejaran bersama
mobil dan kenderaan roda dua lain yang digerakkan batrey tanpa
bahan bakar. Hampir tidak pernah dijumpai sepeda motor “ojek” di negeri kita
yang bunyi mesinnya menderu, kenal pot ompong dan asap mengepul. Oleh
karena itu polusi lebih rendah dan udara lebih bersih
ditambah dengan pohon-pohon rindang dan taman-taman yang cukup asri. Di musim
gugur sekarang ini, mayoritas pohon palm mulai menguning dan dedauan mulai
berjatuhan. Sebagai mana layaknya negeri-negeri yang memiliki empat
musim: gugur, dingin, semi dan panas, penduduk Nanjing dikejar waktu. Tidak ada
yang berjalan santai dan lambat. Untuk yang tidak tejangkau jalan kaki mereka
bersepeda itu tadi. Karena itu kami tidak melihat orang yang bertubuh
gemuk dan tambun.
Tampaknya jumlah sepeda belum kalah dengan kenderaan lain.
Sepengetahuan penulis sepeda agak banyak jumlahnya di Amsterdam atau kota-kota
lain di Belanda digunakan untuk cari keringat dan santai bukan untuk
pergi kerja. Di Nanjing, suasana kota yang di mana-mana banyak sepeda di
sela-sela mobil dan kenderaan lain itu mirip dengan di Padang pada tahun
1970-an. Bersepeda ternyata bukan menunjukkan kemiskinan. Hanya
sesekali kami melihat orang menadahkan tangan untuk meminta dan itupun
tidak dalam semu wajah yang amat memelas. Bersepeda mungkin lebih kepada
filsafat hidup sederhana, hemat dan kerja keras.
Agaknya keadaan ini dipengaruhi nilai-nilai kekerabatan, filsafat
hidup warga dan masyarakat di negeri yang memiliki kebudayaan dan peradaban
yang cukup tua ini. Beberapa sumber menjelaskan sistem kekerabatan Cina
dipengaruhi oleh paham kekeluargaan Konfusius. Menurut Olga Lang, orang tua
dalam sistem keluarga Cina berkewajiban mengajari anggota keluarganya tentang
mekanisme Negara agar mereka bisa menerima ororitas Negara. Bahkan
menurut Lucian Pye kultur politik Cina menekankan interpendensi antara
pemerintah dan keluarga. Dalam masyarakat tradisional Cina, keluarga berperan,
bertindak dan merupakan benteng utama menghindari kekacauan dalam
institusi-institusi publik. Orangtua selalu memelihara orde-sosial untuk
kedamaian dan kesejahteraan setiap anggota keluarga.
Keakraban, kedekatan hubungan serta kekompakan merupakan motor
penggerak dalam nilai-nilai ideologis kekeluargaan Cina. Implikasi ideologis
dari sistem ini adalah bahwa dalam membangun ekonomi Cina, yang ditekankan
adalah jaringan, relasi untuk saling menolong. Kinship networks atau jaringan
kekeluargaan, menjadi pilar paradigma klasik dan tetap baru dalam kerangka
kerja sosial, budaya politik, lebih-lebih ekonomi Cina. Selain itu,
yang mengakibatkan Cina mampu menguasai perekonomian secara global agaknya
lantaran nilai-nilai ideologis kekerabatan dan etos kerja yang mumpuni.
Suatu etos yang menekankan keuletan, kerajinan, hemat, sederhana dan kerja
keras tadi. Dalam kaitan ini, paling sedikit ada tiga kredo
penjelasan etos kerja yang dimaksud.
Pertama, etos kerja
telah ditanamkan kepada anak-anak sejak kecil. Dalam keluarga Cina,
segenap olah tindak dan kerja dihubungkan dengan kumpulan nilai yang kompleks.
Mencakup pengorbanan dan kepentingan diri, rasa percaya, dan hemat yang
dipandang sebagai dasar untuk terakumulasinya kekayaan.
Kedua, etos kerja Cina
berorientasi kelompok. Setiap orang berpartisipasi dalam meningkatkan
kesejahteraan keluarga, kemudian untuk kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, setiap orang
Cina bekerja keras untuk mendapatkan imbalan materi tetapi tidak selalu
materialistik. Sesuatu yang sulit dijelaskan. Kira-kira sama dengan sikap
profesionalisme tetapi ada charitas dan nuansa philanthropic atau kedermawan
yang tinggi. Selain itu di dalam komunitas Cina perantauan yang hidup di
berbagai sudut bumi, kemakmuran, kenyamanan, dalam usia lanjut, menduduki posisi
sentral dalam persepsi Cina tentang kehidupan yang baik.
Akan tetapi tidak semua etika hidup ideal tadi seutuhnya terpelihara
dan bertahan dalam masyarakat Cina moderen. Sebagaimana juga di Tanah Air kita
Indonesia, banyak yang berubah. Urbanisasi, teknologi, persaingan hidup,
pergaulan lintas kontinen, media dan sebagainya sudah pula memasuki
kehidupan pribadi dan keluarga. Meskipun generasi tua tetap mempersuasi
anak-anak muda tetap berpegang kepada nilai-nilai luhur ribuan tahun itu yang
menekankan etika kebaikan, sopan santun, keutamaan, dan menghargai orang
lain.
Namun demikian, dalam pengalaman singkat kami di Nanjing, kelihatan
ancaman modernisasi tadi belum begitu mengesankan. Gaya dan canda hampir-hampir
tidak kelihatan. Jarang sekali anak muda yang mejeng di depan mall
atau tempat-tempat keramaian dan koridor jalan utama. Apalagi yang asyik
chating, sms dan berteleponan berbagai merek serta pameran asessori. Tidak
kelihatan mata-mata liar untuk bikin usil di tengah keramaian. Masing-masing
orang sibuk dengan apa yang sedang dilakukan. Yang berjalan tetap lurus,
bergegas dan cepat dan tidak celangak-celenguk. Sesuatu yang yang agak langka
ditemui di jalan-jalan utama di negeri kita. ***
Catatan perjalan dari Cina (5):
Kepariwisataan Nanjing yang Menjual
Oleh Shofwan Karim Elhussein
Ada
bermacam kategori kunjungan ke suatu Negara. Mulai dari kunjungan sosial
budaya, kunjungan bisnis, kunjungan poliitik, pemerintahan, kenegaraan,
kunjungan keluarga, kunjungan ilmiah, kunjungan jurnalistik, konferensi,
seminar, simpoisum, studi dan kunjungan wisata. Walaupun kunjungan wisata (tourism)
disebutkan satu kategori, namun di dalam praktiknya semua kategori kunjungan
tadi mengandung makna kepariwisataan.
Setiap
pebisnis, setiap pejabat, setiap ilmuwan, setiap budayawan atau siapa pun yang
berkunjung untuk kepentingan apa saja ke suatu negeri selalu ingin menyempatkan
diri melihat keunikan, cagar budaya, tempat bersejarah, atraksi budaya, museum,
perpustakaan, shoping centre, restoran, taman, universitas, tempat
ibadah, dan seterusnya. Semuanya itu pada dasarnya merupakan
wujud nyata kepariwisataan. Pokoknya substansi dasarnya adalah setiap
perjalanan ke suatu tempat dan peristiwa yang memberi kesentosaan, kebahagiaan
dan kenyamanan, bolehlah disebut peristiwa wisata.
Tentu
saja ada kelebihan dan kekurangan setiap negara, provinsi atau kota dalam
mengelola industri wisata yang tidak pernah kehilangan pasarnya. Krisis
ekononomi dan keuangan global yang tengah berjalan ini, tampak belum
banyak pengaruhnya kepada penurunan angka kunjungam wisata ke berbagai tempat
di berbagai belahan dunia. Hal itu bisa saja terjadi karena setiap
wisatawan sudah merencanakan jauh hari dengan bujet yang sudah disiapkan pula.
Bahkan tiket perjalanan dari satu titik ke titik lain, akomodasi hotel,
visa kunjungan dan lainnya, sudah jauh hari dipesan dan dipastikan. Sulitnya
lagi, meski tiba-tiba datang krisis, seperti sekarang ini, maka biaya (seperti
biaya tiket penerbangan) yang sudah dibayar tidak bisa diambil lagi.
Setiap
pengunjung atau wisatawan tentu tidak selalu dapat memenuhi semua hasratnya
karena keterbatasan dana, waktu dan tenaga. Apa yang penulis alami bersama
isteri di Nanjing salah satu di antaranya, adalah mustahil untuk merasa puas
dalam segala hal. Yang penting atas kelebihan dan kekurangan Nanjing,
kami merasa bahagia. Kalau ada kekuarangan, tentu saja tidak mengurangi hasrat
untuk berkunjung ke berbagai negeri di bermacam sudut dunia.
Kelebihan
Nanjing adalah sistem teransportasi kota. Dari satu bagian ke
wilayah lain dapat dicapai dengan taksi, bus kota dan metro atau kereta bawah
tanah. Untuk taksi kecuali yang mangkal di hotel, semuanya adalah taksi resmi
dengan argo meter yang dapat diminta kwitansi pembayarannya termasuk slip
bayaran highway atau tall bebas hambatan yang membentang dari utara ke selatan
dan dari barat ke timur.
Naik
bus cukup nyaman, semua beralat pendingin (AC) dan seperti bus di berbagai kota
Eropa dan Amerika, bagi yang berlangganan tinggal menggesek kartu bermagnit
atau membayar ke kotak pintu masuk sebesar 2 Yuan. Harga 2 Yuan (1 Yuan
kira-kira setara dengan Rp. 1500) berlaku pula untuk ke mana-mana dari satu
stasiun ke stasiun lain kereta bawah tanah atau metro. Untuk kualitas
pisik bus dan shelter (halte) turun naik, kalah bagus dari transportasi
busway di Jakarta.
Metro
atau kereta bawah tanah di Nanjing yang mulai operasi sejak 2005 terutama untuk
menyambut iven Olimpic lalu teridiri atas line 1 dan 2 yang membujur dari utara
ke selatan dan dari barat ke timur. Lumayan memadai. tentu tidak sebersih,
seindah dan sebagus MRT di Singapura dan metro di Hongkong dan Tokyo. Kira-kira
sama dengan kereta bawah tanah yang juga disebut Tube di London, Inggris dan
Subway di Tororonto, Kanada atau New York City, Amerika. Yang agak
mencengangkan
penulis adalah pengaturan dan pemeliharaan toilet atau WC. Memang tidak
semua tempat bersih. Tetapi di tempat-tempat wisata seperti pusat sejarah,
taman dan gedung pelayanan publik cukup baik dan bersih yang selalu dijaga dan
dibersihkan oleh petugas berbaju seragam. Mungkin kunjungan beberapa pejabat
eksekutif dan legislative Indonesia keluar negeri dapat mengambil pelajaran
untuk kebijakan soal sepele tetapi amat penting ini. Di negeri kita, jarang
sekali objek wisata yang memiliki fasilitas WC yang memadai.
Selain
itu, cara pemerintah kota Nanjing, departemen pariwisata memelihara dan memoles
serta memberi makna terhadap pusat wisata atau point of interest-nya
sudah hampir menyamai heritage dan pusat-pusat wisata di Negara maju
lainnya. Pada dasarnya dunia wisata di sini dibagi kepada Cultural tour Line
dan Leisure Paradise, serta Shopping Paradise. Yang pertama tadi dibagi
kepada 10 objek dengan sekitar 200 titik penting “point of interest”, mulai
dari tempat bersejarah masa lalu, pusat-pusat Dinasti Ming, Dinasti Tang,
Bangunan Kuomintang, Klenteng Konghucu, pusat-pusat pendidikan dan ilmu
pengetahuan, taman-taman, danau dan sungai. Untuk yang kedua, bernuansa pusat
keramaian dan hiburan serta aktrasi budaya dan pertunjungan ada 13 objek dengan
sekitar 250 titik kegiatan, suasana dan tontonan. Dan ketiga tentulah hal-hal
yang berbau dunia belanja dan pusat bisnis, perdagangan, pameran, etalese
industri visualiasi produksi. Ini mempunyai 12 objek dengan sekitar 200-an
titik minat pula. Di sini ada pusat belanja terbesar beberapa puluh buah.
Ada museum sutra dan proses pembuatannya yang menjadi kebanggaan China
sejak 3000 (tiga ribu) tahun lalu. Pusat jajan dengan produk makan minuman
seperti ratusan jenis minuman the, makanan dan restoran yang amat kaya dan
bervariasi.
Eksplorasi
sejarah untuk wisata cukup menarik pula. Tokoh-tokoh China masa lalu seperti,
DR. Sun Yat-sen, dibuatkan Musoleumnya. Tempat itu dikemas sedemikian
rupa sehingga mengingatkan pengunjung akan peranan yang amat besar tokoh ini
bagi China Nasionalis. Ini mengingatkan penulis akan Arche de Triump gerbang
kemenangan Charles D’Gaull di persimpangan 12 Champ de Lyse, tengah kota Paris.
Untuk Jenderal Chiang Kai-sek dan tokoh-tokoh lainnya dibuatkan diorama dan
animasi serta imitasinya seperti yang dibuat Inggris di London dengan Madame
Tueso-nya.
Sebenarnya
kita bisa pula membuat hal yang sama tapi tidak serupa dengan Nanjing, Paris
atau London. Misalnya kerajaan Minangkabau di Pagaruyung dengan segala kejayaan
masa lalunya baik heritage artifak benda bersejarah atau sejarah dan kisah masa
lau yang panjang itu untuk repleksikan pula sekarang. Yang lain dan
sederhana misalnya, pantai Air Manis dengan Batu Malinkundang yang sekarang
perlu dirawat dan dibuat diorama serta visualisasinya. Yang agak nyata misalnya
Benteng “lubang” Jepang di Bukittinggi, dipoles lagi dengan kisah dan asesori
yang memberi inspirasi dan ingatan masa lalu. Belum lagi Koto Gadang dengan
kerajinan perak, Pandai Sikek dengan kerajinan songket, Silungkang, Kurai Taji
atau Sulaman Apek Angkek. Baruak Pariaman diatraksikan atau bagaimana membuat
“karupuak sanjai” di visualiasikan dan praktikkan. Memang ada
bagian-bagian yang hanya mitos atau mungkin dunia khayalan Tetapi
para turis atau wisatawa sudah merasa terbang ke masa lalu yang
jauh sehingga memanggil imajinasinya yang bermakna. Pertanyaannya, maukah kita
?***
Pengalaman Shalat di Bandara Internasional Hongkong
by Shofwan Karim.
Hongkong, (Singgalang, 19/10).
Selain di negara negara Islam atau
mayoritas penduduk Muslim, fasilitas untuk menunaikan ibadah shalat tentulah
menjadi perhatian musafir muslim. Setiap waktu shalat datang,
yang dicari adalah tempat sujud ini. Pengalaman ini, penulis ulangi hari
ini, Ahad, 19/10 pukul 16.00 (WK) di Hongkong Terminal 1. Dengan isteri,
kami celangak celenguk mencari kemungkinan tempat yg satu ini. Tiba-tiba
Imnati, ibu 3 putra dan 1 putri saya menunjuk satu tanda orang duduk antara
dua sujud. Benar saja, ketika kami buka pintu kaca di bawah tanda itu, rupanya
seseorang shalat di dalam ruangan kira-kira 6 kali 5 meter itu. Alhamdulillah,
maksud sampai. Kami langsung masuk, berwuduk dan menggelar sajadah yang
tersedia didalam sebuah lemari luks dan rapi di sudutnya. Di sudut lain ada
tempat wuduk yg bersih dan kerannya otomatis mencurat, ketika tangan atau
anggota wuduk yg lain didekatkan ke bawahnya. Kami menjadi makmum untuk shalat
jamak qashar Zuhur n Asar kepada seorang lelaki. Kemudian datang lagi
seorang perempuan menjadi makmum lainnya. Dalam ramah tamah setelah salam,
ternyata imam kami adalah Muhammad, mahasiswa Accounting Adelaide University
Australia. Dia berasal dari Mekkah, Saudi Arabia.
Bandara Internasional Hongkong yg
baru beberapa tahun di bangun cukup moderen ini, rupanya telah didesain
dan dibangun sedemikian rupa untuk mengakomodasi kepentingan ummat Islam yg
keluar masuk Bandara ini. Seingat penulis, selain di Bandara negeri Muslim,
tidak banyak Bandara di dunia yg menyediakan fasiltas seperti ini. Pada tahun
1996, pengalaman penulis di Bandara Frankfurt, Jerman juga ada ruangan untuk
menunaikan ibadah shalat ini. Tetapi di situ dipakai oleh semua agama. Di dalam
ruangan kecil yg lebih sempit dari yg di Hongkong ini, waktu itu (1996) ada
patung Budha, ada Patung Yesus dan Konghucu, serta sajadah shalat dan Alqur'an
serta beberapa perlengkapan ibadah agama lain. Di Bandara Hongkong, ruangan
shalat ini tidak bercampur dg tempat ibadah agama lain yg dan tempatnya yg laim
belum penulis temukan. Mungkin otoritas Bandara Hongkong mengambil pelajaran
kepada negara Muslim yg menyediakan fasiltas seperti ini. Di negeri Muslim pun
fasilitas semacam ini, seperti Indonesia tergolong baru. Seingat penulis, sejak
zaman Pak Azwar Anas menjadi Menhub RI akhir 80-an barulah tempat ibadah
ini disediakan. Inilah agaknya salah satu bentuk respon positif
dunia internasional terutama otoritas Bandara memberikan apresiasi yg memadai
kepada ummat Islam yg dalam bermacam kepentingan terbang dari satu tempat ke
tempat lain baik lokal, nasional, internasional dan
interkontinental. Islam dan umat Muslim rupanya makin menikmati ibadahnya dg
mudah. Hanya saja di Bandingkan dengan di Bandara Internasional Minangkabau, yg
shalat di BI Hongkong memang tidak terlalu banyak, sehingga kebersihan dan
kenyamanan lebih memadai dibandingkan di kampung kita ini. (KJ n HDS, apo
ambo taruihkan ko untuk Singgalang?) Sabanta lai tabang ka Nanjing, Chino.
(Shofwan Karim)
Catatan dari Cina: (2)
Yang Resah dan yang Tak Peduli
Oleh Shofwan Karim Elhussein
Di tengah badai krisis finansial global saat ini, tulisan di media
penuh dengan kabar tak nyaman. Negeri kawasan Timur dan Selatan China,
termasuk Jiangshu dan Hongkong sedang goyang. Sejak sekarang sampai tiga bulan
ke depan, diperkirakan 2,5 juta orang berhenti bekerja di pusat-pusat
wilayah industri yang dulu amat dipuji pendiri Republik China DR. Sun
Yat-sen (1911-1949) sebagai wilayah pegunungan yang indah, tanah yang subur dan
sungai mengalirkan air dalam dan jernih . Di kawasan geografis dan zona
ekonomoni Yangtze River Delta ini beberapa pabrik industri menghadapi gejolak
hebat. Ini dampak krisis golobal yang menimpa hampir semua Negara di Barat dan
di Timur dewasa ini. Keadaan itu membuat generasi muda tak nyaman. Beberapa
calon sarjana yang bakal tamat diterpaksa mengulum perasaan gundah
gulana . Mereka berhati rusuh karena lapangan kerja bukan saja semakin sulit,
bahkan saudara mereka yang sudah bekerja pun banyak yang akan
dan sudah menganggur.
Di ibukota provinsi Jiangshu yang dicapai setelah 2 jam terbang arah
ke utara dari Hongkong ini, siang kemarin, sehari penuh penulis dan
isteri berkeliling kampus Universitas Nanjing. Beberapa mahasiswa asyik
membaca, berdiskusi dan ada yang mengernyitkan dahi. Khusus bagi yang ketiga
tadi adalah mereka yang bakal rampung studi di semester ini. Mereka
sedang berfikir keras untuk masa depan karena lapangan kerja yang bakal sulit.
Di kampus yang menampung sekitar 30 ribu mahasiswa-mahasiswi dari berbagai
wilayah China ini, masih banyak yang punya optimisme. Maka ketika soal krisis
ini saya tanyakan kepada mereka, masih ada yang mampu terrsenyum karena mereka
masih tahun pertama dan kedua. Dapat ditebak mereka merasa bahwa
masa depan masih jauh dan mungkin tidak kelabu. Bagaimana pun seakan ada yang
berkata bahwa suatu waktu, badai pasti akan berlalu. Mudah-mudahan saja
keadaan buruk ini tidak akan begitu lama.
Bagi mereka yang tak peduli dengan krisis ini, konsentrasi belajar
tidaklah buyar. Di bawah rindangnya hutan kampus, duduk di bangku kayu panjang
tertata rapi, mereka membuka buku sambil mengklik computer browsing
internet. Kampus yang penulis jelajahi hampir 3 jam dengan jalan kaki itu,
amatlah sejuk dan teduh. Kampus ini seperti sebuah kota kecil penuh taman dan
beberapa lapangan terbuka. Dari pintu masuk Timur setelah keluar dari metro
kereta bawah tanah stasiun Gulou arah ke Barat ke gerbang utama kampus, tampak
para mahasiswa dan dosen jalan kaki dan bersepeda. Tak lebih dari bilangan lima
jari sebelah tangan jumlah mobil yang parkir terpencar di kampus ini.
Tidak sekalipun tampak lewat sepeda motor. Kampus yang kelihatan dipenuhi oleh
orang yang berjalan dari satu gedung ke gedung lainnya terkesan sunyi dari
suara kenderaan dan asap mesin motor. Di kampus yang ditata sedemikian rupa ini
tidak tampak bangunan gedung baru. Walau tidak setua usia
kota Nanjing yang dibangun mulai tahun 495 Sebelum Masehi ini, gedung-gedung
itu kelihatannya sudah lama sekali. Gedung-gedung diselimuti berbagai
jenis tumbuhan yang melekat di dinding yang menambah hijaunya hutan rawatan
antara satu gedung dengan gedung lain disela-sela taman dan lapangan
lainnya. Kampus yang terletak hampir di tengah-tengah kota Nanjing yang
berpenduduk 7,5 juta orang ini, memisahkan agak jauh gedung akademik, pusat
riset, perkantoran dan ruang kuliah dengan apartemen asrama dan pusat kegiatan
mahasiswa atau Student Centre.
Penulis agak lama berputar-putar di kawasan asrama mahasiswa ini. Di
situ ada sekitar 20 gedung bangunan apartemen mahasiswa, pusat kegiatan dan
kantin atau ruangan makan minum, serta pusat kesehatan mahasiswa. Asrama
mahasiswa dan mahasiswi terpisah berseberangan. Kelihatan pertanda bedanya
asrama mahasiswa dan mahasiswi dari jenis jemuran di depan kabin masing-masing
pada gedung-gedung antara 5 sampai sepuluh tingkat itu. Di kantin berlantai 5,
dalam aula maha luas itulah sekitar 10 ribu mahaiswa atau sepertiga dari
jumlah total para penuntut ilmu itu yang tinggal di asrama kampus ini
memenuhi hajat perut mereka. Tentu saja mimpi penulis sejak 2 tahun lalu
menggarap program Kementerian Perumahan RI untuk rumah susun sewa
mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumbar makin menggebu. Meskipun mimpi itu
masih tetap mimpi. Mimpi di tengah krisis global di antara mereka yang
resah dan yang tidak peduli. Kedua protipe orang ini tenttulah ada di
mana-mana, tentu termasuk di negeri kita. ***(Shofwan Karim)
Catatan dari Cina: (4)
Muslim China Berbahasa Arab
By Shofwan Karim
Elhussein
Nanjing (Singgalang, 23/10)..
Kemarin,
di Mausoleum DR. Sun Yat-sen, di sudut lain Nanjing, setelah mendaki jalan
besar yang disetiap level ada gedung dan gerbang pada tingkatan lapangan
ketiga, penulis dan isteri bertemu Muslim Cina. Seorang ayah membawa dua orang
anaknya. Kami mengenal Shafia yang memakai jilbab. Tak tahan untuk menyapa
mula-mula kami berbahasa Inggris. Tetapi Ahmad, putra sang bapak yang sedang
mengupas buah apel, langsung menyambut dengan Bahasa Arab. Muhammad, sang Ayah,
kemudian meminta kami ikut makan apel yang dikupas anaknya. Semua dalam bahasa
Arab.
Tentu saja ini suatu yang menghibur dan
bersyukur. Ingatan melayang ke nostalgia kuliah di Jurusan Bahasa
Arab IAIN di awal pernikahan kami dulu. Upaya Berbahasa Arab ini di Universitas
Muhammadiyah sekarang tengah diprogramkan dengan kerjasama Asian Muslim Charity
Foundation. UMSB, di samping memiliki 7 fakultas umum: ekonomi, hukum,
pendidikan, teknik, pertanian, kehutanan dan kesehatan, di Padang, Padang
Panjang, Bukitting dan Payakumbuh, pada fakultas ilmu agama Islam di
Padang, kini sedang bersemangat melaksanakan program Studi Islam
dan Bahasa Arab Mahad Zubair Ibn Awwam di tempat terpisah: mahasiswa di Kampus
Pasir Kandang dan mahasiswi di Kampus Ulak Karang, Padang.
Soal bahasa memang banyak kendala bagi orang
asing di China. Hanya satu-dua orang saja pelayan dan petugas publik yang
pandai berbahasa Inggris. Sejak dari Bandara Nanking berjarak 60 km dari kota
Nanjing, sopir taksi membisu seribu bahasa. Payahnya lagi, mereka juga tidak
pandai membaca aksara latin. Mereka hanya paham aksara kanji. Celakanya nasib yang
sama ditemui di hotel. Hanya satu-dua petugas resepsionis dan
pelayan resto dan bell-boy hotel yang pandai berkomunikasi dalam
internasional ini. Karena itu bahasa isyarat (tarzan) sering dipakai oleh
pengunjung Nanjing.
Ini mungkin suatu isyarat bahwa di China,
sebagaimana juga di Jepang, Korea dan Perancis, bahasa Inggris tidak terlalu
disukai. Bedanya kalau di Perancis, mereka hanya memang tidak suka tetapi
mengerti bahasa Inggris. Sementara di Nanjing memang mereka tidak suka dan
tidak mengerti sama sekali. Atau mereka sebenarnya tidak memerlukan turis
berbahasa Inggeris karena turis domistik dan China perantauan yang jumlahnya
mungkin hampir sepertiga penduduk bumi dapat mereka layani dengan bahasa
Mandarin internasional itu.
Kembali ke Muslim China tadi, maka ingatan
penulis melesat ke hampir seribu tahun lalu ketika Islam mulai merambah keluar
jazirah Arabia. Apa lagi di kalangan kaum muslimin popular hadis yang sering
dikutip : “tuntutlah ilmu hingga sampai ke negeri China”. Sesaat ingatan ini
singgah ke sebuah pusara di sekitar Masjid Niujie ibu kota China Beijing. Di
situ, tahun 1995, berkisahlah Imam Masjid Niuije, selesai kami
shalat zuhur. Imam tadi membentangkan kisah Masjid ini dan pernik
sejarah Islam. Imam tadi menunjukkan kepada kami (di antarnya Buya Bagindo
Letter dan Uda Yonda Djabar) bahwa satu pusara di taman Masjid itu adalah
pusara sahabat Rasulullah bernama Sa’ad Ibn Waqas.
Sahabat Nabi ini dianggap utusan resmi ke China
pada tahun 650 M. Inilah tahun mula sejarah masuknya Islam ke China.
Dinasti Tang dengan Maharaja Gaozong yang memerintah kala itu menerima utusan
resmi ini. Karena dianggap suatu agama yang sejajar dengan Konfusius, maka
didirikanlah Masjid sebagai penghormatan. Mungkin masjid Niujie Bejing tadi
salah satu hadiah maharaja di masa lalu. Sayangnya untuk kunjungan kali ini ke
China, di wilayah selatan-timur 2 jam terbang dari Beijing, kami tidak
sempat berkunjung ke salah satu Masjid yang terletak di Jalan Shengzhou yang
berhadapan dengan resto cepat saji KFC di sudut lain Nanjing.
Sampai hari ini, jumlah kaum muslimin di China
diperkirakan ada 100-120 juta atau mendekati 9-10 persen dari 1.3 milyar
lebih orang penduduk Republik Rakyat China. Meskipun catatan resmi hanya sekitar 20-25 Juta orang.
Beberapa suku bangsa
Muslim di China yang popular adalah Suku Tang, Song, Ming, Yuan, Qing.
Menurut sumber lain (http://njowo.multiply.com/journal), Republik
Rakyat China memiliki 56 suku, dengan suku bangsa Han yang mayoritas.
Hanya bangsa Han kebanyakan tidak beragama dan sebagian kecilnya menganut
Budha, Tao dan belakangan ini ada yang Nashrani.
Gerbang Masjid Nunjie, Beijing (Foto: SK) |
Sedangkan suku yang memeluk
agama Islam mayoritas tinggal diwilayah bagian Barat Laut, Timur Laut dan
bagian Utara Tiongkok, seperti provinsi Gansu, Qinghai, Daerah Otonomi Ningxia
dan Daerah Otonomi Xinjiang (4 daerah mayoritas), Propinsi Shaanxi, Yunan,
bagian barat daerah otonomi Mongolia, begitu pula di Taiwan dan Ibukota
Beijing. Secara kasar oleh orang asing yang tidak belajar kebudayaan Tiongkok
menggangap bangsa Tionghoa dalah orang Han saja, tapi suku minoritas lainnya
adalah juga bangsa Tionghoa. Artinya kaum muslimin dari berbagai suku
tadi juga adalah bangsa Tionghoa***
Komentar
Saya mencoba menulis blog tentang hal ini, semoga anda juga suka blog di https://stenote-berkata.blogspot.com/2018/10/beijing-di-great-wall.html