London (3 & 4): Biaya Hidup Termahal dan Persahabatan yang Tulus

 







Surat Shofwan Karim dari London (3):

Biaya Hidup Termahal di Dunia


Sahabatku H. Darlis, Zaili, Hasril dan Eko yang baik. Tidak fair rasanya. Sudah masuk hari keempat kami di London, masih bernostalgia Mesir. Lebih baik saya tunda laporan saya tentang Mesir yang belakangan itu. Padahal tak  kalah pentingnya kunjungan kami ke Museum Tahrir. 


Disitu sejarah Fir’aun dan Peradaban Mesir sejak zaman kuno, klasik, tengah dan sebagian modern ditayang dan dipajang ulang. Begitu pula perpustakaan manual dan elektronik super canggih untuk dewasa dan anak di Iskandariyah atau Alexandria. Pustaka sarana mencari dan mendalami  ilmu sekaligus objek wisata ini.  


Seterusnya objek lain di  pantai Mesir indah menghadap laut Mediterania. Di situ jutaan orang tumpah. Lokal dan mancanegara. Bagaimana orang Mesir menikmati dan polah tingkah mereka musim panas. Serta soal-soal lainnya.


Munurut putaran musim, di Eropa umumnya dan  Inggris khususnya, sekarang juga tengah musim panas. Akan tetapi musim panas yang gagal, kata Pak Eddy. Karena tidak begitu panas dan tetap sejuk. Udara cerah dan orang pada keluar. Siang sudah mulai di Inggris sejak pk. 05.00. Tulisan ini  saya tulis pukul 05.10 pagi, Kamis 29/7/2004 waktu London. Hari  yang sama di Padang, pukul 11.06 pagi. 


Beda waktu 6 jam. Subuh di sini   pukul 04.30. Yang penting lagi waktu maghrib alias terbenam matahari pukul 20.00 atau kadang-kadang 20.30. Malam terasa pendek, siangnya panjang. 


Pukul 07.00 pagi ini kami bertolak ke Desa Machen, Dekat New Fort sebelum Cardiff, di South Wales. 


Kami besama staff KBRI di London, Heru dan Gede dengan mobil KBRI. Tujuan kami pagi ini bertemu dengan orang tua Tara. Seorang instruktur Bahasa Inggris dan mualaf di Padang. 


Sore nanti akan melakukan kunjungan dan dialog di Oxford Centre for Islamic Studies (Oxcis).Di situ akan bertemu dengan Direkturnya. Sementara pertemuan dengan Interfaith Centre, juga di Oxford, telah diatur pula oleh KBRI hari Senin (2/8) ini.


Sahabatku. Kembali ke belakang. Hari pertama (26/7/2004), dari Bandara London-Heathrow kami langsung  ke Wisma 17 Agustus. 


Inilah rumah kediaman resmi Wakil Duta Besar atau DCM Pak Eddy Pratomo. Rumah ini adalah salah satu dari 4 gedung  milik Indonesia yang dibeli pemerintah RI tahun 1970-an. 


Tepatnya untuk yang satu ini Th 1975.  Yang lain adalah Wisma Nusantara dan Wisma Siswa Merdeka serta Wisma Caraka. 


Wisma Nusantara adalah tempat kediaman resmi Duta Besar RI yang sekarang adalah Prof. Dr. Juwono Soedarsono.  Pada dua wisma yang lain difungsikan untuk transit atau tinggal sementara mahasiswa dan warga Indonesia yang datang ke London. Kira-kira berfungsi seperti Mess Pemda Sumbar di Matraman Raya 19 Jakarta. 

Yang sedikit merisaukan adalah Kantor Kedutaan Besar kita. Gedung ini Kalau akan pindah ke gedung milik sendiri, khawatir menyulitkan dan kurang gengsi. Karena gedung-gedung yang ada itu ternyata terletak agak di pinggir kota. Sementara Kantor yang sekarang itu amat strategis. Terletak di sebelah Kedutaan Amerika di samping taman   Hydpark. Gedung ini  akan habis kontraknya beberapa tahun lagi. 


Bagi warga Indonesia yang pas-pasan, yang datang berkunjung Inggris, soal biaya hidup amat massalah. Penginapan, makan, transportasi dan keperluan lainnya, mahal sekali. Bisa berlipat-lipat dibandingkan dengan di Tanah Air. 


Sewa penginapan atau hotel, misalnya. Menurut internet yang saya lacak, hotel yang amat sederhana, tarifnya  antara #25 sampai #50 . Itu artinya bila dikonversi rupiah kalikan dengan 17 ribu. Maka  menjadi Rp 425 ribu sampai Rp 850 ribu (kurs th 2004 Juli-Agustus). 


Mata uang poundsterling Inggris sekarang nilainya lebih dua kali lipat dollar AS. Tertinggi di atas Euro, Franc Swiss dan lain-lain. 


Dengan begitu harga-harga kebutuhan harian dan apa lagi yang lain, tidak pantas dibandingkan dengan Indonesia. Apa lagi ada kecendrungan pada hampir semua negara di dunia, kecuali Indonesia memakai angka harga yang standart. 


Misalnya Burger Mc. Donald atau Kentucky Fried Chicken. Satu porsi biasanya tertera angka 3.95 . Angka itu juga hampir sama dengan di Singapura atau di Kairo, New York dan termasuk juga di London. Padahal dibandingkan dengan rupiah itu sudah lain sekali. Karena mata uangnya bila dikonversi ke mata uang asing akan amat berbeda nilainya. 


Artinya, ketika kita mau makan Burger King yang harganya 3.95 poundsterling Inggris, jangan berfikir untuk mengalikannya dengan rupiah lalu membandingkan harga itu ketika kita membeli Burger King di Jakarta. 


Bisa-bisa kita tidak mau makan, karena amat terasa mahalnya. Termasuk kereta bawah tanah yang disebut underground atau tube. Transportasi umum kota London ini berlaku untuk 24 jam. Harga tiket keluarga, kami beli untuk 2 dewasa dan dua anak seharga  #7. 


Itu  setara dengan Rp 119 ribu. Tetapi itu berlaku dari pukul  9 pagi sampai pukul 4.30 pagi besoknya. Itu pun sudah dianggap yang termurah oleh orang di sini, karena tiket keluarga dengan anak.***




Surat Shofwan Karim dari London (4):

 Kali ke-3 dan Persahabatan yang Tulus


Sahabatku H. Darlis, Zaili, Hasril dan Eko yang baik. Tidak fair rasanya. Sudah masuk hari keempat kami di London, belum cerita soal kebaikan sahabat. Ini kali ke-3 saya dan keluarga ke London.


Ceritanuya beginiu. Di luar soal makan, tempat tinggallah yang paling pokok bagi kita yang suka dan hobi berlang-lang buana ke sudut-sudut bumi dan ke kaki-kaki horison langit. 


Pengalaman saya dan keluarga, wisma Indonesia adalah pilihan paling tepat. Dan ini hampir ada pada setiap KBRI di berbagai negara di dunia.


Hanya kita harus pesan  jauh-jauh hari. Karena pada waktu tertentu bisa ada yang lebih duluan dari kita. Di London (2004) hanya  Wisma Siswa Merdeka atau Caraka  saja yang bisa dipesan seperti itu. Wisma Nusantara untuk kediaman Dubes dan Wisma 17 rumah Wakil Dubes, hanya untuk keluarga dan  tamu Dubes dan Wakil Dubes. 


Untuk warga Indonesia yang bukan tamu resmi atau keluarga boleh  menginap  di Wisma Siswa Merdeka. Untuk itu ada  iyuran kebersihan sekaligus sarapan pagi.  


Pada Oktober tahun 1994 dan September  1996 saya dan keluarga menginap di Wisma Siswa Merdeka. Tahun 1994 saya dan isteri berkunjung ke Inggris setelah mengikuti Konferensi  Dunia tentang Agama dan Perdamaian di Roma dan Riva del Garda, Italy. 


Yang menjadi host atau tuan rumah adalah keluarga Mas Purwo Santoso (Prof. Dr. H. Purwosantoso belakangan adalah  Guru Besar UGM) dan Mbak Titiek, isterinhya . Mas Purwo  adalah  mahasiswa doktoral di satu universitas di London. Dan Mbak Titiek, sambil temani suami bekerja di BBC London. 


Mas Purwo dan Mbak Titiek gembira terima kami karena kami sama-sama pernah lama di Kanada. Beliau kuliah Master di sebuah Universtas di Halifax, Nova Scotia sebelum di London dan saya pernah 1980-1985 tiap tahun dalam  rentang waktu 4,5 bulan di Alberta, Saskatchewan dan Ontario serta Quebec.


Pada tahun 1996, sebelum konferensi Asosiasi Konstitusi dan Parlemen Sedunia di Andorra kemudian pindah ke Barcelona, Spanyol, saya dan melambung dulu ke  negeri Ratu Elizabeth ini (kini King Charles). Waktu itu bersama Putri Bulqish, anak saya yang  santri putri  Diniyah Putri Padangpanjang.


Waktu itu yang menjadi tuan rumah Wisma Siswa Merdeka ini adalah seorang mahasiswa dan doktoral dari ITB yang kuliah di London bersama keluarga. 


Tahun 1994 dan 1996, iyuran kebersihan seperti Mess Pemda Sumbar Matraman Raya Jakarta itu adalah  #11 dan # 15. Tahun ini  (2004 kami tinggal di Kediaman Wakil Dubes) kabarnya di Siswa Merdeka #15 dan Caraka # 17.  


Tentu hitungannya per-hari. Namun kalau dihitung-hitung, ya, untuk tahun ini dengan rupiah antara 250 samapai 290 ribu. Jadi tetap saja berbeda dengan Mess Pemda Sumbar yang hanya 20 sampai 30 ribu rupiah, seingat saya (Tahun 2004).


Di luar itu semua, alhamdulillah kami menjadi tamu dan diundang khusus oleh sahabat lama Pak Eddy Pratomo. Kebetulan beliau sekarang baru 3 bulan menjabat DCM atau Wakil Duta Besar RI di Inggris. Tentu saja kami tinggal di kediaman resmi beliau sekeluarga, dari 26 Juli sampai 3 Agustus ini. 

Sahabat Lama

Persahabatan  dengan Pak Eddy, sebenarnya dimulai bersama Uda Yonda Djabar, Pemimpin Umum Harian Singgalang. Tatkala keluar dari ruang kedatangan  di Heathrow Airport, London, pertanyaan pertama Pak Eddy adalah tentang Uda Yonda. 


Saya katakan calon anggota DPRD Provinsi Sumbar 2004-2009  itu amat sibuk. Jadi belum ada waktu ke London. Padahal, 1997 Pak Eddy dan keluarga ke Padang, beliau  menginap di rumah saya dan Uda. 


Pada 1994 dan 1996, ketika Pak Eddy menjadi Diplomat di PTRI Geneva Swiss keluarga kami dalam berbagai kunjungan ke berbagai negara di Eropa 2/3 hari mampir dan tinggal di kelurga Pak Eddy. Dari situ kami eksplorasi berbagai destinasi ke batas negeri Italy, Perancis dan Jerman, terutama kami senang ke puncak-puncak salju abadi tanpa mengenal musim. 


Sianghari  pergi, malam hari  pulang ke rumahnya. Waktu itu sebenarnya Da Yon serta Kak Mimi dengan beberapa teman lain sudah di perbatasan Swiss dan Perancis. Tetapi jadwalnya tidak ada ke Jenewa dan jarak ke situ  sekitar 500 kilometer. 


Pak Eddy tidak bisa menjemput Da Yon dan Kak Mimi ke sana. Karena harus selalu di tempat. Sebab pada 1996 itu, Ibu Atik, isteri Pak Eddy sedang hamil tua. Bahkan, tanggal 21 September musim gugur tahun itu, Pak Eddy tak bisa mengantar kami ke stasiun kereta keberangkatan ke Brussels. Karena menemani isterinya yang melahirkan pagi Sabtu itu. 


Anak itulah sekarang yang bernama Dior Anugrah Prakasa yang selama sembilan hari ini menjadi teman Adam Putra di Inggris ini bersama kami. Dior artinya di Eropa, tempat kelahirannya.    Jadi secara fisik, saya lebih banyak memanfaatkan persahabatan ini. 

Kenal Awal


Saya dan Da Yonda mengenal dan berteman dengan Pak Eddy September-Oktober 1988. Waktu itu kami menjadi utusan KNPI ke Sidang Umum PBB yang setiap tahun digelar dari  September sampai November. Dari sekian banyak agenda, salah satu adalah mengenai pemuda dunia. Kami waktu itu menjadi pengurus KNPI Sumbar di bawah Ketuanya Uda Sutan Muhammad Taufiq Thaib, SH , Pewaris Kerajaan Pagaruyung. 


Waktu itu setiap tahun KNPI mengirim utusan ke PBB dari pusat dan daerah-daerah  yang dipergilirkan. Untuk Sumbar seingat saya hanya almarhum H. Marizal Umar (Da Cai) dan kami yang mengisi jatah itu. 


Da Cai tahun 1984. Waktu itu saya tahu karena setelah Da Cai pulang ke Indonesia sayalah yang menggantikannya. Waktu itu saya menjadi koordinator negara Pertukaran Pemuda Dunia. Setelah sidang saya kembali ke pos saya di Toronto, Kanada. Tahun 1984 saya diurus oleh Theo Waimury, aktivis KNPI yang waktu itu menjadi diplomat di PTRI New York.


Pada Eddy yang mengatur program kami di New York pada tahun 1988 tadi. Sejak tahun 1988 itu sampai sekarang persahabatan selalu terpelihara dengan baik . Pak Edy dan  keluarag sudah dua kali ke Padang, 1997 dan 2004, beberapa bulan lalu sebelum bertugas di London. 


Ketika saya menghadiri beberapa sesi di PBB Agustus 1998  dan berkunjung ke Kantor Pusat WCRP (World Conference on Religion and Peace) di depan Plaza UN (PBB) New York, Pak Eddy sudah pindah dari New York. 


Pada 1998 itu saya tinggal selama 15 hari bolak-balik New York-Jersey-Boston dari kediaman kelurga Ir. H. Adiwarsita Dt. Rajo Mansyur di New Jersey seberang Manhattan New York City. Dengan Datuk Rajo Mansyur saya mnejadi besahabat dekat juga lantaran kedekatan Uda Yonda Djabar sejak Tahun 1987. 

Kembali ke Tahun 2004, Pak Eddy Pratomo adalah salah satu di antara petinggi selevel Dubes di antara  sekitar 120 perwakilan Indonesia di dunia. Bapak kelahiran 5 Oktober 1953 itu adalah suami dari Ibu Atiek. 


Keduanya  berasal dari Kendal Jawa Tengah.  Mereka adalah Alumni S1 di Fakultas Hukum dan Pertanian Universitas 17 Agustus Jakarta  dan Undip Semarang itu, kini  mempunyai  2 putri dan satu putra. Ketiga putri-putra mereka akan kuliah dan sekolah di London, mulai September ini. Dewi dan Dona akan masuk S2 dan S1 di sini.  Dior  pindah sekolah kelas 3 SD-nya di sini.

Pak Eddy, sebelum masuk di Deplu adalah tamatan PGA Negeri  4 tahun di Kampungnya dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) Yogyakarta. Waktu di PHIN itu, pernah menjadi adik  seasrama dengan Amien Rais (Prof. Dr.) di Madrasah Menengah Tinggi (MMT) di kota Gudeg itu. 


Setelah masuk di Deplu dengan ijazah sarjana hukumnya tadi, sambil berkarir menjalankan tugas diplomatnya, menyelesaikan S2 di salah satu universitas di New York. Kemudian tahun 1998 summer course tentang HAM di Oxford University bersama  utusan berbagai negara di dunia. 

Seingat Pak Eddy masih ada Dubes yang berasal dari Minang sekarang ini (2004). Di antaranya Rislan Jeni, Dubes Kepala Perwakilan Tetap RI di PBB, New York (May 2013 saya dan isteri diterima Dubes Rislan Jeni yang menjadi Dubes RI di Paris). 


Lalu Alwis Awizar Murad, Dubes RI untuk Ethiopia dan Abdul Nasir di Afrika Selatan. (Sekarang diisi Dubes Al Busyra Basnur, S.H., L.L.M). Dua yang terakhir tadi akan habis masa jabtannya tahun depan (2005). 


Ini sekaligus meralat  tulisan saya sebelumnya yang tidak tahu apakah ada Dubes dari Minang sekarang ini. Tentang Dubes Alwis Awizar Murad, kembali saya ingat sudah pernah ditulis oleh sahabat H. Darlis ketika kunjungannya ke negeri Kaisar Haile Salasih itu beberapa bulan lalu.

Mereka semuanya adalah para diplomat yang  memiliki persahabatan yang tulus. Di antaranya kami merasakan betul bagaimana ketulusan persahabatan Pak Eddy, isteri dan anak-anaknya Tahun 1988 di New York City. Tahun 1994 dan 1996 di Geneva, Swiss dan Tahun 20045 di Lodon (Belakangan Tahun 2013 ketika Pak Eddy Dubes RI Berlin Jerman.  Kecuali di NYC, semua di kota-kota tadi kami tinggal di kediaman Pak Eddy. Sejujurnya, persahabatan melebihi segalanya. Dan tentu saja dengan itu kami tidak terlalu berat secara finansial berkunjung ke berbaghai negara. (Banyak lagi sahabat lain yang nanti insya Allah satu-persatu akan saya tulis). Surat berikut, menyusul ***

  




 






Komentar

Postingan Populer