PPMII Abad XX


Tinjauan Umum
Perkembangan Pemikiran Modern Islam Indonesia Abad XX

Oleh. Shofwan Karim
Dosen Pemikiran Islam IAIN Imam Bonjol
lntroduksi

Reformisme Islam yang timbul di Timur Tengah pada abad ke-19 secara umum merupakan reaksi terhadap tantangan Barat sebagai rangsangan ekternal dan kebutuhan objektif internal ummat Islam untuk mengubah kualitas diri untuk kemajuan yang sesuai dengan nilai Islami yang kokoh.
Cirinya adalah pencarian nilai-nilai yang dianggap lebih sesuai dengan zaman modern. Reformasi yang bersifat rasionalistis. Percaya pada kemajuan dan pengetahuan. Hidup dengan bekerja rajin dinilai positif. Fatalisme serta pertapaan ditolak. Kaum reformis berusaha membersihkan agama dari segala macam ajaran bid’ah yang dimasukkan selama berabad-abad dan telah menjadi ketentuan agama yang tetap.
Mereka menuntut bagi perorangan hak untuk meneliti tradisi secara kritis menurut wahyu asalnya. Kembali kepada Quran adalah semboyan yang banyak didengungkan. Juga diusahakan dalam kalangan reformis penghayatan agama yang lebih pribadi daripada upacara agama formal yang telah menjadi kebiasaan.
Antara lain diusahakan hal ini tercapai dengan menggantikan penggunaan bahasa Arab dengan bahasa setempat (nasional atau daerah) sebagai bahasa peribadatan di luar bacaaan sholat seperti khutbah dan lain-lain. Sang reformis dalam menghadapi kalangan mereka yang berkeyakinan lain senantiasa memperlihatkan toleransi. Reformisme Islam dapatlah dianggap sebagai gerakan emansipasi keagamaan. Sang reformis menginginkan agar agamanya dihargai sepenuhnya oleh Barat (Korver, 1985-2-3), dan tentu saja dapat mengangkat harkat dan martabat umat Islam serta menegakkan Islam yang sesuai dengan setiap wilayah dan zaman.
Cita-cita reformasi Islam tadi masuk ke Indonesia akhir abad 19 dan awal abad ke-20, secara umum paling tidak melalui tiga cara . Pertama, melalui masyarakat Arab; kedua, melalui Minangkabau, dan ketiga melalui organisasi modern Islam periode awal: Muhammadiyah dan Syarikat Islam (Ibid).
Komunitas Keturunan Arab
Secara historis dan faktual, sentuhan awal intelektual dan sosio-kultural reformasi Islam di Indonesia adalah melalui masyarakat Arab yaang bermukim di Indonesia. Sekitar tahun 1900, mereka baru sekitar 18 ribu orang. Mereka kebanyakan berasal dari Hadramaut. Sebagian mereka yang datang dari India disebut juga “orang Arab”. Umumnya mereka adalah kaum pedagang.
Melalui perkawinan dengan warga Indonesia, mereka menjadi akrab dengan bangsa ini terutama karena kaitan agama. Meskipun begitu dekat dengan masyarakat Indonesia, tetapi mereka tetap mempunyai ikatan kerohanian yang kental dengan negeri asalnya, Arab. Surat-surat kabar dan majalah dari negeri-negeri Timur Tengah banyak dibaca. Demikian pulalah pemikiran-pemikiran reformis Timur Tengah memasuki masyarakat Arab di sini. Di dalam kelompok ini timbul aliran reformis yang berpendapat bahwa kedudukan kaum muslimin harus diperbaiki dan hal ini dapat terjadi dengan baik melalui perbaikan pendidikan.
Kecenderungan internal memperbaiki kualitas diri melalui pendidikan diiringi pula sentimen kebencian orang Arab itu terhadap sekolah-sekolah rendah Belanda di Indonesia. Emosi instinktif dan faktor eksternal itu semakin mengkristal, maka pada tahun 1905 di Jakarta terbentuk perkumpulan Jamiat Khair (JK) yang mendirikan sebuah sekolah dasar untuk masyarakat Arab. Perkumpulan ini juga mengirimkan anak-anaknya ke negeri-negeri di Timur Tengah untuk melanjutkan pendidikan.
JK adalah organisasi moderen untuk kala itu dengan mempunyai anggaran dasar, anggota yang terdaftar, pengurus yang dipilih dan melakukan pertemuan berkala dengan program kerja yang jelas. Keanggotaan JK terbuka untuk semua muslim , tetapi tentu saja seperti telah disebutkan, sebagian besar anggotanya adalah orang Arab. Sekolah yang didirikan JK tadi bersifat modern, mempunyai daftar pelajaran tetap dan bersistem kelas-kelas dan jenjang tahunan. Di samping agama, diajarkan pelajaran-pelajaran “modern” seperti berhitung, sejarah dan ilmu bumi. Guru-gurunya sebagian besar berasal dari Timur Tengah . Akan hal-halnya anak-anak Indonesia, juga dibolehkan bersekolah di sini . Belakangan, JK juga didirikan juga di luar Jakarta. (Noer, 1980:68-73).

Minangkabau

Pada sisi lain, akibat persentuhan dengan dunia Islam Timur tengah beberapa dekade pasca gerakan dan perang Paderi melawan Belanda banyak putra Minagkabau yang bermukim dan belajar di Mekah setalah menunaikan ibadah haji. Salah satu di antaranya adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy. Tokoh yang satu ini setleah mengawini wanita Arab mengemngkan karir prtofesional dan intelektualnya sebagai salah seorang Imam dan pengajar agama di masjid Baitul Haram Mekkah. Kepadanya banyak orang-orang dari berbagai pulau dan daerah di Hindia Timur (Indonesia) belajar. Salah seorang yang paling menonjol adalah Syekh Taher Jalaluddin yang juga merupakan kerabat Ahmad Khatib sendiri. Taher Jalaludidin, di samping belajar di Mekkah pada halaqah imam bermazhab Syafii tadi juga kemudian belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Ilmu agamanya berbasis aqidah dan syarak yang luas ditambah pula secara sepesifik amat menguasai ilmu falak atau astronomi. Karena selain di Mekkah ia juga belajar di Al-Azhar dan amat profesional dan ahli ilmu falak, maka kadang-kadang oleh pengagumnya sering dibelakang namanya diberi tambahan sehingga menjadi Syekh Taher Jalaluddin Azhari al-Falaki.
Taher Jalaluddin dianggap perintis dan tokoh awal pembawa reformisme Islam ke Indonesia yang masuk melalui Minangkabau. Meskipun sebagian besar usianya di habiskan di luar Minangkabau secara geografis-pisik tetapi secara intelektual dan sosio-kultural tetap intensif menghidupkan dan mengipas api reformisme Islam di Minangkabau khususnya dan Indonesia umumnya. Sebagian besar usianya dihabiskannya di Timur Tengah dan Semenanjung Malaya (Malaysia dan Singapura hari ini )Akan tetapi pengaruh intelektual dan sosio-kultural-pendidikan atas inisiatifnya mendirikan madrasah Al-Iqbal Islamiyah dan majalah bulanannya al-Imam, yang terbit di Singapura antara 1905-1910, besar pengaruhnya kepada kalangan reformis Minangkabau. Al- Imam memuat karangan-karangan tentang soal-soal keagamaan, masalah-masalah ilmiah populer, dan peristiwa-peristiwa penting dunia. Majalah itu mempropagandakan perlunya kemajuan masyarakat muslim. Kaum muslim didesak untuk tidak ketinggalan dalam bersaing dengan Barat. Al-Imam dibaca pula di bagian-bagian lain Indonesia. Di Jawa, agen-agen majalah ini terdapat di Jakarta, Semarang dan Surabaya.
Salah seorang tokoh reformis Minangkabau selanjutnya yang banyak terpengaruh oleh Jalaluddin adalah H. Abdullah Ahmad. Tokoh ini aktif dalam bidang pendidikan dan persuratkabaran, media komunikasi-pers. Di samping memberikan pelajaran-pelajaran agama, pada tahun 1909 ia mendirikan sekolah dasar di Padang, yaitu sekolah Adabiyah. Konon inspirasi sekolah Adabiyah itu berasal dari madrasah al-Iqbal al-Islamiyah oleh Taher Jalaluddin di Singapura di atas tadi. Sekolah ini menggabungkan kurikulum pendidikan umum dan agama secara simultan. Sampai sekarang lembaga pendidikan di bawah Adabiyah, alhamdulillah tetap eksis. Pada periode awalnya, sekolah Adabiyah ini terutama mayoritas dimasuki oleh anak-anak kaum pedagang Sumatera yang tidak mendapat tempat di sekolah pemerintah Kolonial Belanda. Seperti juga sekolah Jamiat Khair di Jakarta, sekolah Adabiyah bersifat moderen.
Selain aktif di bidang pendidikan, Abdullah Ahmad juga giat sebagai penulis. Ia menerbitkan majalah Al-Munir (yang diterangi) yang terbit antara 1910-1916 di Padang . Al-Munir bertujuan menyebarkan agama yang “sesungguhnya”, menambah pengetahuan para pembacanya, dan mempertahankan Islam terhadap serangan-serangan luar. Majalah ini memuat karangan-karangan tentang keagamaan. Dikemukakannya pentingnya pengetahuan, manfaat surat kabar dan pentingnya arti perkumpulan serta organisasi. Ia menaruh perhatian kepada peristiwa-peristiwa penting di dunia. Kemudian Abdullah Ahmad pun menjadi redaktur sebuah majalah keagamaan yang dikeluarkan oleh SI (Noer, 1980:4-47, 51-52) .
Oleh karena Jalaluddin secara fisik tidak lama meneruskan masa perjuangannya di Minangkabau dan meneruskan kehidupannya di Semenanjung Malaya dan Singapura sampai akhir hayatnya, maka Abdullah Ahmad yang sejak kelahiran sampai wafatnya di ranah ini, membuat aliansi permanen dengan dua tokoh lain yang amat menonjol di awal abad ke-20 di dalam menggerakkan reformisme Islam di sini.
Keduanya adalah Abdul Karim Amarullah (ayah Buya HAMKA atau inyiek Rasul) dan Jamil Jambek (Inyiek Jambek). Bahkan Abdullah Ahmad dan Amarullah pada tahun 1925 setelah menghadiri konferensi Internasional Islam di Mesir, keduanya dianugrahkan gelar Doktor Honoris Causa di Al-Azhar. Inyiek Rasul digambarkan oleh HAMKA di dalam bukunya AYAHKU sebagai sosok yang amat keras dengan prinsip keyakinan dan ilmu yang dimilikinya. Ia sangat menguasai teologi atau ilmu ketuhanan (ilmu tauhid), fikih dan ushul fikih. Basis jama’ahnya dalah Surau Jembatan Besi di Padang Panjang kemudian menjelma menjadi madrasah Thawalib.

Inyiek Jambek berbasis di Suraunya di Tangah Sawah Bukittinggi adalah seorang muballigh ulung yang amat tajam rethorika dan amat berisi di dalam orasinya adalah ahli dan profesional di dalam Ilmu falak. Konon ilmu falak ini di samping di terimanya dari guru-guru di Timur Tengah juga dari Taher Jalaluddin di atas tadi.
Walaupun secara kolektif, Taher Jalaludin, Abdullah Ahmad, Karim Amarullah dan Jamil Jambek yang tersebut tadi masih harus dilengkapi dengan tokoh lain seperti Inyek Musa Parabek dan lain-lain, tetapi keempat tokoh terdahulu tadi nampaknya berada di garda depan. Di samping itu perlu dicatat pula walaupun Sulaiman al-Rasuli tidak seketat para reformer yang empat tadi di dalam pemikiran teologis dan amalan fikih, namun di dalam aktivisme sosial, gerakan pendidikan dengan mendirikan sistem sekolah klasikal dan ko-edukasi antara pria dan wanita di sekolah, madrasah serta pengajain dan tabligh di surau-surau yang mereka hidup suburkan, semua mereka sama seiring dan sejalan.

Dengan demikian, bila kata modern dinisbahkan kepada aktivisme sosial, maka seyogyanya Inyiak Candung atau Syekh Sulaiman al-Rasuli adalah juga kaum modern. Karena di dalam hal yang satu ini, beliau cukup rasional dan mengikuti aliran yang sesuai dengan tuntutan tempat dan waktu. Bahkan di dalam hal politik, mereka semua sama-sama anti Belanda. Pada sisi tertentu, karena usia Inyiak Candung (wafat 1970) lebih panjang dari pada ketiga tokoh tiga terdahulu, mempunyai konteks yang amat relevan pada parohan kedua abad ke-20 memperjuangkan Islam dalam kancah politik sebagai salah seorang anggota Konstituante. Dalam kaitan ini, maka tokoh Minangkabau seperti Agus Salim, Mohammad Natsir, AR Sutan Mansyur dan Buya HAMKA, merupakan penerus reformisme Islam Indonesia yang amat signifikan pula dikaji pada kesempatan lain.

Organisasi Modern Islam

Selain melalui elit komunitas Arab dan elit komunitas agama Mingkabau tadi Ketiga, cita-cita reformasi Islam masuk ke Indonesia dan selanjutnya dikembangkan organisasi Islam yang lahir karena tuntutan situasi dan kondisi. Di antara organisasi itu yang paling menonjol adalah Muhammadiyah dan Sarekat Islam (SI). Muhammadiyah didirikan pada 18 November 1912 , 8 Zulhijah 1330 di Yogyakarta oleh H. A Dahlan. Sementara SI didirikan 11 November 1912 di Solo oleh Cokroaminoto.
Ahmad Dahlan beberapa lama belajar di Mekah dan di sana ia berkenalan dengan pemikiran reformis Islam yang berkembang di Timur Tengah terutama Mesir, Saudi Arabia dan Turki. Muhammmadiyah bergerak di bidang pendidikan, sosial dan keagamaan. SI bergerak di bidang, agama, ekonomi, sosial dan politik. Meskipun Muhammadiyah pada masa awal tidak mencampuri urusan politik, tetapi Ahmad Dahlan sendiri di samping pendiri dan penggerak Muhammadiyah juga menjadi anggota Pengurus Besar SI serta berhubungan erat dengan Boedi Oetomo (BO). BO adalah organisasi kebangsaan netral agama yang berdiri pada 20 Mei 1908 oleh para siswa STOVIA yang didorong dan diilhami oleh gagasan dokter Wahidin Sudirohosodo.
Keterlibatan Ahmad Dahlan di dalam SI dan BO lebih kepada upaya untuk melanggengkan dakwah Islam yang menjadi dasar gerakan Muhammadiyah. Salah satu kegiatan awal Muhammadiyah adalah mendirikan sekolah dasar modern dalam gaya sekolah JK dan sekolah Adabiyah di Padang . Sesudah tahun 1917 Muhammadiyah meluas ke luar Jawa dan berangsur-angsur tumbuh menjadi satu organisasi yang terbesar di Indonesia (Korver, 1985:5) .

Dari ketiga poros reformisme tadi, maka perkembangan pemikiran moderen Islam di Indonesia tumbuh dan berkembang ke berbagai wilayah dan aspek. Sebagai basis kawasan tetap saja di Minangkabau dan Jawa . Sementara aspek substantif gerakan seakan terjadi keterpaduan antara gerakan keagamaan, sosial, pendidikan, politik dan ekonomi. Bersamaan dengan itu respon dari golongan yang merasa tidak nyaman dengan reformisme tadi, terutama reformisme bidang keagamaan mengakibatkan muncul pula golongan yang mapan yang menyatu ke dalam pelapisan sosial keagamaan yang disebut oleh Deliar Noer sebagai golongan tradisional. Yaitu mereka yang memegang teguh tradisi keagamaan sebagaimana yang telah turun temurun dari para ulama klasik serta para imam mazhab secara umum baik dari segi teologis, tasawuf, tarekat, syariat dan fikih.
Maka di ladang panorama perkembangan pemikiran Islam di Indonesia bagai air bah menjalar ke mana-mana dalam dua poros yaitu poros modernisme dan poros tradisionalisme. Pada poros tradisionalisme lahir Nhadatul Ulama (NU) di Surabaya tahun 1926. Di Sumatera lahir Persatuan Tarbiyah Islamiah 30 Mei 1928 di Bukittinggi. Kemudian Jamaah Alwashliyah di Medan. Tentu saja tak bisa dilupakan, kaum penganut Tarekat berbagai aliran terutama Syatariyah dan Naqsyabandiyah serta bebeberapa aliran lain tetap eksis di berbagai wilayah.
Perubahan Paradigma
Respon terhadap modernisme tadi bukan saja datang dari kalangan tradisionalis, tetapi juga dari kalangan lain yang melihat bahwa SI, Muhamadiyah dan JK tidak cukup sebagai kancah gerakan. Boleh jadi karena ketiga komponen tadi kurang reformis dan kurang murni kembali kepada al-Quran dan sunnah, atau karena menganggap bahwa memunculkan yang baru lebih afdhal dari pada menggunakan kapal lama untuk gerakannya.
Gejala itu sebenarnya bukan baru. Di Minangkabau, misalnya, sebelum Muhammadiyah masuk ke sini tahun 1925, sudah ada gerakan pemurnian Islam yang reformistis yang membelah wacana intelektual dan sosio-religius dalam dikhotomis gerakan Kaum Muda dan Kaum Tua . Di Jawa setelah JK yang dianggap lebih dominan dikemudikan oleh kalangan Sayid, mengakibatkan kalangan lain yang bukan Sayid mendirikan Jami’at al-Islam wa Al-Irsyad al-Arabiya disingkat Al-Irsyad pada tahun 1913 di Jakarta oleh Ahmad Syurkati (lh. 1872) (Noer, Ibid: 73-74). Kemudian berdiri pula Persyarikatan Ulama di Majalengka, Jawa Barat th 1911 atas inisiatif Haji Abdul Halim (lh. 1887) (Noer, Ibid: 80). Sebuah organisasi yang lebih ketat di dalam soal kembali kepada Qur’an dan Sunnah shahihah berdiri pula di Bandung tahun 1923 dengan nama Persatuan Islam (Persis) oleh dua orang pedagang yang mempunyai pengetahuan agama luas Haji Zamzami dan Haji Muhammad Yunus. (Noer, Ibid: 96). Belakangan tokoh, Persis didorong secara skriptualistik dan substantif oleh A. Hasan Bandung. Toloh Minangkabau yang menjadi salah seorang tulang punggung Persis dalam rentang waktu 1930-1950, mendampingi A. Hasan adalah Mohammad Natsir. Belakangan tokoh ini meski tetap di dalam Persis sampai wafatnya (9193), tetapi lebih menonjol sebagai tokoh Masyumi (1945-1960) dan belakangan DDII (berdiri 1967).
Apa bila yang terakhir tadi dapat dikategorikan sebagai gerakan Islam lebih murni dan lebih ketat, sebagian menyebutnya sebagai aliran salafi dengan menekankan praktek ritual dan sosio-kultural secara dominan kepada masa awal kehidupan Rasulullah dan para sahabat, maka gerakan Islam tidak lagi berkutat pada modernisme dan, tradisonalisme. Akan tetapi telah terjadi perubahan paradigma gugusan pikir, kiprah dan orientasi. Paradigma lama yang seakan terbelah kepada modernisme dan tradisionalisme, atau kaum muda dan kaum tua dan istilah lain kalangan tajdid (pembaharu) dan Jumud (beku dan mapan) seakan menjelma ke paradigma baru yang terpilah kepada pola anutan ketat, moderat dan bebas.
Kaum Salafi dikategorikan sebagai mereka yang ketat berpegang kepada kaidah-kaidah Islami awal dalam pergaulan hidup, rumah tangga, berpakaian, bahkan aliran dan idiom politik serta kelembagaan. Kaum modernisme dalam istilah lama, sekarang mungkin dapat disebut kelompok moderat, inklusif dan toleran. Mereka yang tadinya disebut tradisional, sekarang berkembang menjadi kalangan beraliran “bebas”. Bebas di dalam arti mereka dapat menjelajah simbol-simbol keagamaan atau peusedo agama dengan upacara-upacara seperti zikir menjemput maghfirah Allah. Memppopulerkan do’a bersama dengan istilah istighasah dan cara lain meraup massa. Membuat istilah-istilah baru yang dianggap oleh kalangan awam sebagai agama seperti memakai istilah mabit di luar tanah haram sebagai akronim baru sehingga mabit berarti malam pembinaan iman dan tauhid. Mereka mementingkan kesalehan simbolik dan tidak terlalu mempedulikan hal-hal yang bersifat apa yang dicap kaum tajdid masa lalu dengan istilah khurafat, takhayul dan bid’ah.

Kalangan ini lebih bebas menggunakan simbol-simbol yang kelihatan oleh mereka yang ketat dan moderat tadi sebagai tidak mempunyai dasar ountentik apalagi merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah shahihah. Mereka lebih bebas mengakomodasi akulturasi budaya agamis lokal yang pernah disebut sebagai pribumisasi Islam. Untuk kalangan lain ini upaya itu mungkin disebut sebagai bentuk sinkretik baru. Walaupun semuanya itu kelihatannya tidak begitu dipersoalkan lagi karena dianggap persoalan khilafiah (perbedaan pendapat) pada tataran furuiah (cabang-marginal) oleh kalangan yang berseberangan, namun pihak yang berseberangan ini tetap tidak menyetujuinya, tidak ikut mengamalkannya dan tidak berkomentar alias diam saja. Tentu saja hal yang sudah jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada awal hingga pertengahan abad lalu yang sengit adu argumentasi. Kala itu membelah komunitas muslim menjadi kaum tua dan kaum muda atau kaum maju (progresif), tajdid dan kaum tak mau berubah alias jumud Istilah lain disebut pula kaum modernis dan kaum tradisionlis. Teori lama itu kini nampaknya harus ditinjau kembali secara seksama. ***

KEPUSTAKAAN

Korver, APE. 1985. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil. Jakarta: Grafiti pers.
Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918.
Jakarta: Grafitipers.
Noer, Deliar. 1980. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.

------------------

Komentar

Postingan Populer