Wacana Pluralisme
Wacana Pluralisme antara
Pemahaman Publik dan Pemikiran Akademik[1]
Oleh Shofwan Karim[2]
I.Pendahuluan
Wacana (diskursus) pluralisme di Indonesia cukup marak sejak beberapa dekade belakangan sampai saat ini . Beberapa kelompok dan perorangan pakar Islam tentang pemikiran moderen Islam cukup gencar membicarakannya. Wacana itu berkembang dalam karya tulis, ceramah, diskusi dan seminar baik langsung maupun melalui media massa. Para akademisi memperdebatkannya secara intensif dengan cara ilmiah dan dapat menambah wawasan ilmu dan akademik. Sejalan dengan itu, dalam sosialisasi pemikiran itu terpapar dan tertayangkan dalam media massa grafika, audio-visual dan elektronika yang diakses langsung oleh publik atau kalangan umum.
Konsekuensinya, wacana pluralisme ditanggapi dengan beragam. Respon kalangan akademik yang kontra pemikiran pluralisme dapat dimengerti karena mereka dapat memilah-milah secara rasional sesuai latar belakang akademik mereka. Akan tetapi di kalangan masyarakat umum, penolakan pemikiran telah berimplikasi disharmoni sosial yang bersifat fluktuatif. Terutama munculnya prasangka dan gunjingan tidak sehat. Pada gilirannya menbuat tuduhan merendahkan bahkan membuat stigma amat negatif terhadap lembaga dan perorangan yang dilekatkan sebagai subyek yang dianggap mengembangkan pemikiran pluralisme tadi. Beberapa lembaga dan tokoh telah dianggap terpojokkan oleh keadaan itu
Hal itu boleh jadi membawa resiko kepada perkembangan pemikiran Islam ke depan karena setiap pemikiran yang tidak sesuai dengan pemikiran yang telah mapan dianggap sesat dan menyesatkan. Dalam kerangka itulah, maka perlu dikaji secara proporsional wacana pluralisme antara pemahaman publik dan pemikiran teoritis ilmiah bersifat akademik. Selanjutnya, di mana letak perbedaan pemahaman dan pemikiran itu serta bagaimana cara menghampiri keduanya sehingga menjadi produktif untuk perkembangan pemikiran Islam. Tentu saja dengan tetap menjaga kepedulian dan tidak mengabaikan sentimen publik yang yang mungkin akan terus beragam.
II. Pemahaman Publik tentang Pluralisme.
Pada beberapa waktu lalu, di depan Masjid Raya Nurul Iman Padang, oleh sekelompok masyarakat telah dibakar gambar beberapa intelektual Islam Indonesia seperti Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Ulil Abshar Abdalla, Nurcholish Madjid dan lainnya yang dikatakan sebagai pemikir-pemikir Islam Tong Sampah. Kelompok yang paling dianggap bertanggungjawab adalah Jaringan Islam Liberal dari Kelompok Utan Kayu Jakarta yang dideklarasikan pada tahun 2000 lalu. Belakangan juga dianggap lembaga pendidikan tinggi seperti Universitas Paramadina, UIN Jakarta, bahkan IAIN Imam Bonjol pada suatu saat awal tahun ini dikatakan oleh sebagian publik sebagai sarang pluralisme, liberalisme dan sekularisasi agama itu. Mereka dianggap sumber, pendistribusi dan melakukan sosialisasi pemikiran tersebut. Jauh sebelum itu, banyak hujatan-hujatan oleh kelompok tertentu lainnya kepada beberapa tokoh dan kelompok lainnya lagi.
Di antara hujatan-hujatan itu berpangkal dari lontaran-lontaran pemikiran yang berdampak kepada pemahaman yang beragam dari publik. Di antara pemahaman publik itu yang dimaksud dengan pluralisme adalah semua agama adalah sama. Berasal dari Tuhan yang sama. Islam tidak lagi kebenaran mutlak. Selain Islam, bisa diterima sebagai agama dan seterusnya Kawin lintas agama dibolehkan tanpa dikaitkan dengan agama apa pun yang dipeluk calon pengantin. Sebagai jawaban dari kegelisahan pemahaman publik yang demikian, maka Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2005 dmenetapkan keputusan fatwanya No. 7/Munas VII/MUI/11/2005 tentang pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama. Publik, telah dilukiskan sedang mengalami kegelisahan yang amat mendalam akibat perkembangan pemikiran terakhir itu. Di dalam konsideran menimbang dalam fatwa di atas tadi dikatakan “ bahwa berkembangnya paham pluralisme agama, liberalisme dan sekularisme serta di kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang masalah tersebut.” (DDII, 2005:227).
Sebenarnya, fatwa MUI tentang pluralisme merupakan satu paket dalam 11 fatwa lainnya produk Munas tadi. Di antaranya yang terkait langsung dengan pluralisme ini adalah (1) do’a bersama, (2)perkawinan beda agama, (3) kewarisan beda agama, (4)pluralisme, liberalisme, dan sekelarisme agama, (5) wanita menjadi Imam Shalat (6)aliran Ahmadiyah. Sementara 5 fatwa lainnya tidak terkait langsung dengan wacana pluralisme yang dibahas tulisan ini . [3]
Tabel: Fatwa MUI tentang Pluralisme
No
Keputusan
Isu
Keputusan
1
No. 3
Do’a bersama
Mengamini orang yang berdo’a, termasuk do’a; do’a bersama antara Muslim dan Muslim adalah bid’ah; orang Islam haram mengikuti dan mengamini do’a yang dipimpin non-muslim; do’a bersama dengan non muslim yang dipimpin tokoh Islam adalah mubah.
2
No. 4
Perkawinan beda agama
Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah; perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlu kitab menurut qaulul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.
3
No. 5
Kewarisan beda agama
Islam tidak memberikan hak mewarisi antara orang-orang yang berbeda agama; pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.
4
No. 7
Pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama
Pertama: ketentuan umum. Yang dimaksud pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain adalah salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di syurga.
Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup berdampingan.
Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (al-Qur’an dan sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikian semata.
Sekularisme adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.
Kedua, ketentuan umum. Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran Islam .
Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama.
Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap ekslusif, dalam arti haram mencampurkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
Bagi masyakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.
5
No. 9
Wanita menjadi imam shalat
Wanita menjadi imam shalat berjama’ah yang di antara makmumnya terdapat laki-laki hukumnya haram dan tidak sah
Wanita menjadi imam shalat berjama’ah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah.
6
No. 11
Aliran Ahmadiyah
Menegaskan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II tahun 1980 yang menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam)
Bagi mereka yang terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ilal haq), yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadis.
Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.
Keenam fatwa MUI di atas, dapat dikaitkan secara implisit sebagai wacana pluralisme.
III. Tinjauan akademik dan Analisis Rekonstruktif
Kata pluralisme dan pluralitas telah dicampur adukkan oleh sebagian kalangan. Yang dimaksud dalam tulisan ini, pluralisme adalah paham atau filsafat pemikiran yang mengkaitkan kesamaan tertentu dalam agama dalam lapangan aqidah dan ibadah. Sementara pluralitas adalah kenyataan sosiologis manusia yang hidup dalam kelompok-kelompok yang plural atau majemuk secara lahiriah.. Pluralisme, terkait filsafat pemikiran sementara pluralitas adalah kenyataan sosial.
Masyarakat majemuk atau masyarakat plural dapat dipahami sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok dan strata sosial, ekonomi, suku, bahasa, budaya dan agama. Di dalam masyarakat plural, setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada, tanpa adanya rintangan-rintangan yang sistemik yang mengakibatkan terhalangnya hak untuk berkelompok atau bergabung dengan kelompok tertentu (Asykuri, dkk., 2002:107)
Pluralitas baru bermakna positif bila ada interaksi dan relasi saling percaya antara sesama (social-trust) . Hal itu merupakan prasyarat untuk terciptanya masyarakat yang beradab dan bermartabat . Yaitu masyarakat yang memiliki moral, akhlak, etika, budi luhur, santun, sabar dan arif, menghormati hak asasi, menghormati diri sendiri dan orang lain, bangsa sendiri dan bangsa lain, suku dan kelompok sendiri dan suku serta kelompok lain. Dengan begitu upaya untuk mencapai kualitas hidup yang optimal untuk menjadi lebih sejahtera, berkeadilan dan berkemakmuran, niscaya akan membawa masyarakat itu dapat duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Untuk maksud tersebut diperlukan infra struktur harmonisasi sosial dalam kehidupan bersama. Menghormati pluralitas harus sejalan dengan menghormati peradaban dan martabat. Tidak ada artinya pluralitas kalau yang dipertahankan adalah budaya primitif, keterbelakangan dan hanya asal berbeda dengan alasan kemurnian penghormatan budaya lokal atau hak asasi manusia tanpa mempertimbangkan hak manusia lainnya dalam sistem kehidupan bersama. [4]
Secara umum pandangan dunia atau world-view bangsa Indonesia terhadap dirinya tentang kemajemukan (pluralitas) dapat didiskripsikan dalam stream-line (arus utama) menurut awal kelahiran bangsa, masa pertumbuhan dan masa perkembangan ke depan . Pengalaman itu tertata secara sosio-kultural, sosio-politik dan sosio-religius. Secara ringkas, dapat ditelusuri menurut periodikal sejarah yang dikategorikan sebabagai watak kultural, aslinya pada masa awal kelahiran bangsa, zaman revolusi dan awal kemerdekaan (1928-1959); watak politik dan kekuasaan (1959-1990); serta watak reformasi, priode sekarang dan ke depan .
Karakter Pertama, watak majemuk secara sosio-kultural aslinya. Masyarakat Indonesia adalah terdiri atas bangsa yang bersuku-suku dengan cara hidup bermasyarakat dan berbudaya, adat istiadat serta 300 lebih dialek lokal, hidup di atas lebih kurang 17 ribu pulau-pulau yang membentang dari Sabang ke Merauke, dari Zulu ke Pulau Rote yang pernah dijarah Portugis, Spanyol, Inggris dan dijajah Belanda, dan terakhir Jepang sejak abad ke 16 sampai pertengahan abad ke-20. Jauh sebelumnya telah berdiri kerajaan Sriwijaya, Mojopahit dan kerajaan Mataram serta kesultanan-kesultanan di berbagai wilayah nusantara. Secara historikal oleh Koentjaraningrat (1979 : 21-34) kemajemukan Indonesia menerima pengaruh dari kebudayaan Hindu, Islam dan Eropa di masa lalu. Akan tetapi di abad ke-20, dalam kemajemukan dan perbedaan-perbedaan itu masyarakat yang belum menjadi satu bangsa itu mempunyai tekad untuk bersatu dengan dikumandangkannya tekad Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Tekad itu pula yang mengantarkan bangsa ini menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Pada masa awal, istilah kemajemukan merupakan kosa kata murni dalam mengatakan kebermacaman atau keberagaman bangsa Indonesia. Lalu dicanangkan motto bhinneka tungal ika: masyarakat majemuk tetapi tetap bersatu atau unity in diversity. Motivasi apolikasi kosa kata itu datang dari dalam diri masyarakat dan bangsa Indonesia sendiri. Katrakanlah, bahwa pluralisme berakar dari ideologi dan sosio-kulktralnya sendiri.
Karakter kedua, watak sosio-politik dan kekuasaan. Setelah era proklamasi bangsa ini mencitrakan diri sebagai bangsa majemuk untuk mengisi kemerdekaan dengan mengikuti cara-cara demokrasi politik liberalisme Barat. Di sini dimulai pengaruh kultur politik kosmo-globalisme dimulai. Dengan dikeluarkannya Maklumat Presiden No X, 16 Oktober 1945 yang intinya mengubah sistem pemerintahan Presidentil ke Parlementer dan Maklumat Presiden 3 November 1945 tentang kesempatan rakyat mendirikan partai-partai, merupakan awal pluralitas-politik yang syah. Dengan begitu maka niat monolitik Soekarno yang hanya akan menggiring PNI sebagai satu-satunya partai politik, berubah kepada dibolehkannya hidup banyak partai.
Kehidupan multi partaipun dimulai. Dengan demikian pluralitas politik dihalalkan, hanya dengan satu restriksi, bahwa partai jangan hanya asal berdiri saja melainkan turut memperjuangkan keikaan yaitu turut memperjuangkan kepentingan rakyat banyak: “mempertahankan kemerdekaan “ dan “memperjuangkan keamanan rakyat” (Deliar Noer, 1990 : 284-289). Mungkin kebebasan itu secara teoritikal adalah baik. Akan tetapi karena para pemimpin dan masyarakat politik pada masa itu ditambah rakyat yang belum terdidik secara memadai maka kebebasan multi partai itu tidak membawa keuntungan amat berarti dalam perkembangan bangsa. Keadaan itu telah membawa ketidak stabilan pemerintah dengan berganti-gantinya kabinet. Lebih dari itu Soekarno yang merasa jabatan Presiden hanya sebagai simbol negara, ingin mendominasi kekuasaan. Puncaknya adalah mundurnya Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden th 1956 (Ibid, 482). Kemudian berturut-turut dibubarkannya Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan membubarkan dirinya Partai Masyumi pada 1959 dan pembubaran resminya oleh Presiden th. 1960. Selanjutnya kehidupan nasional didominasi oleh jargon Nasakom (Nasional, Agama dan Komunis). Nasakom waktu itu merupakan soko guru Soekarno sebagai tri-tunggal politik nasionalis yang citrakan sebagai PNI, Islamis yang dicitrakan NU dan Komunis dan sosialis yang dicitrakan sebagai PKI . Dengan segala resikonya, moto bhinneka tunggal ika sudah dikerdilkan dari plate-form politik.
Keadaan serupa dengan substansi yang berbeda terjadi pada masa Orde Baru. Ketika Masyumi ingin dihidupkan kembali oleh para pemimpinnya yang baru keluar dari penjara Orla seperti M. Natsir, M. Rum, Kasman Singodimejo dan lain-lain, partai itu tidak dibenarkan menamakan diri Masyumi dan harus yang memegang pucuk pimpinan partai yang menampung eks Masyumi itu bukan tokoh lama. Maka lahirlah Parmusi yang dipimpin Djarnawi Hadikusuma yang belakangan terlalu dekat dengan kelompok mantan tokoh masyumi lalu digantikan oleh tokoh yang dianggap lebih dekat dengan Orba seperti Mintareja dan kemudian J. Naro. Episoda berikutnya pada pentas politik nasional awal Orba itu terdapat 9 partai, termasuk Parmusi dan 1 Golkar. Belakangan kecuali Golkar, 9 partai tadi dilikwidasi (istilah waktu itu fusi) menjadi 2 Partai Politik: PPP dan PDI, pada th 1973 (Sahar L. Hasan, Ed. 1998: 15). Sejak itu di Indonesia hanya terdapat 2 Parpol dan 1 Golkar yang menjalankan fungsi kekuatan resmi sebagai infra struktur politik. Dengan 3 kekuatan politik itu, pluralitas politik pada dekade awal Orde Baru itu secara relatif masih ada termasuk masih dibolehkannya 2 parpol tadi berasaskan idelogi Islam dan Nasionalisme, sementara Golkar tetap dengan ideologi Pancasilanya. Belakangan terjadi perubahan total. Dengan alasan politik sebagai panglima dan keragaman idelogi telah merusak tatanan bangsa pada masa Orla, maka keragaman atau pluralitas ideologi harus dilenyapkan. Kemauan itu terealisasikan dengan disyahkannya UU No. 3 tentang Parpol, th 1975 dan UU No. 5 tentang Ormas th. 1985, diwajibkannya asas tunggal sebagai ideologi dasar dan asas Parpol dan Ormas. Upaya pengasastunggalkan itu juga didasari dengan alasan-alasan kepentingan integrasi nasional, perlunya cara pandang kesatuan udara, laut dan darat sebagai satu kesatuan dan perlunya cara pandang berwawasan nusantara (Sutopo Yuwono, Alfian, Ed, 1985 : 83-95). Dengan begitu maka pluralitas ideologi sudah terkubur.
Selain itu, pluralitas sosial budaya yang pada masa pra dan awal kemerdekaan hingga masa akhir masa Orla masih berkembang simultan dan agak proporsional, berubah secara signifikan. Bahasa Indonesia yang terdiri dari Bahasa Melayu ditambah bahasa daerah lainnya dan Bahasa Asing, terkooptasi dengan kosa kata dan istilah-istilah Jawa dan Sanskerta. Sekedar menyebut contoh, muncullah istilah Parasamya Purnakarya Nugraha untuk anugrah pembangunan. Binagraha untuk kantor Presiden dan sebagainya. Watak pluralitas tidak lagi teraplikasikan dalam kehidupan bangsa secara berimbang tetapi telah terkooptasi oleh satu budaya suku bangsa mayoritas yang memegang tampuk kekuasaan.
Karakter ketiga, pluralitas agama secara sosiologis . Dalam rentangan waktu, diskursus pluralitas agama secara sosiologis, tidaklah terkait secara padu dengan kenyataan reformasi politik di Indonesia dengan jatuhnya Soeharto 21 Mei 1998. Karena, pada dasarnya diskursus pluralitas agama sudah jauh ada sejak masa awal Orde Baru terutama dalam hubungan Islam dan Kristen. Tetapi karena watak Orde Baru kala itu yang selalu merujuk kepada kestabilan pembangunan sehingga melahirkan trilogi pembangunan yang disebut: stabilitas keamanan; pertumbuhan ekonomi dan; pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, maka setiap gejala yang mengedepankan diskursus tentang pluralitas agama selalu dikaitkan dengan kewaspadaan yang akan mengganggu kepentingan nasional. Maka setiap yang berbau intrik suku, agama dan hubungan antara golongan (SARA) yang bersifat primordialistik, selalu ditekan.
Khusus hubungan antar agama , pemerintah mempunyai kredo yang disebut tri-krukunan hidup antar pemeluk agama. Ketiganya adalah kerukunan hidup internal umat beragama; kerukunan hidup antara umat berlainan (eksternal) agama; dan kerukunan hidup pemeluk dan organisasi agama dengan pemerintah. Hasilnya, pada masa itu, meskipun ada gangguan misalnya pelecehan tempat ibadah agama tertentu oleh pihak lain sehingga menimbulkan kerusuhan, tidaklah akan berlangsung lama dan traumatis. Pihak keamanan dan berwajib cepat memadamkannya.
Pada dekade akhir Orde Baru, formula dan keran kebebasan semakin terbuka. Setelah masa reformasi keran yang semakin terbuka tadi itu bahkan memberikan kebebasan yang amat sangat. Sebagian ada yang mengatakan kebebasan yang kebablasan. Maka wilayah yang selama ini amat sensitif seperti SARA di masa orde baru, sudah tidak lagi tabu untuk publikasi dan diwancanakan di mana-mana. Maka wacana hubungan antar umat beragama amat intensif dikaji dalam berbagai istilah pluralitas agama. Pada dasarnya, agama secara sosiologis dipandang sebagai sesuatu yang given dan sunnatullah memang beragam-ragam dan berbeda-beda (Tobroni-Syamsul Arifin, 1994: 33-34). Akan tetapi, sebagai mana disinggung berikiut ini, pluralitas agama akan mengalami multi-tafsir dan pada gilirannya ada yang menganggap sebagai sumber gesekan dan sengketa dalam masyarakat.
Multi Tafsir Pluralitas Agama
Di Indonesia sejak awal kemerdekaan, agama yang dinyatakan resmi adalah Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha, dan sejak pemerintahan Gus Dur ditambah dengan Kong Hu Cu (Konfusionisme). Di kalangan pemeluk agama, secara umum pandangan dan pemahaman eksistensi masing-masing agama dalam kaitan kehidupan bersama dalam bermasyarakat dapat diterima. Tentu saja dengan segala resiko kepelbagaian dan keberagaman atau kemajemukan Inilah yang di dalam tulisan ini disebut sebagai pluralitas sosiolo-kultural agama. Yang dimaksud adalah perbedaan kelompok, suku, bahasa, budaya dan adat-istiadat, serta agama yang dianut.
Pengakuan formal oleh negara telah diakomodasikan di dalam struktur Departemen Agama dengan diformasikannya dalam struktur organik Direktorat Jenderal masing-masing agama tadi. Dengan demikian, baik secara formal maupun informal, kenyataan bahwa kehadiran agama-agama secara sosiologis dan supra struktur pemerintahan dapat diterima sebagai sebagai hal yang syah. Kalangan Islam merujuk pluralitas sosiologis itu dari pedoman pokoknya al-Qur’an. Oleh mayoritas kalangan Islam pluralitas sosiologi itu diterima sebagai sesuatu yang murni. Inilah yang dirujuk kepada QS.49:13[5]. Perbedaaan antara manusia dalam bahasa dan warna kulit harus diterima sebagai kenyataan positif dan itu merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah(QS, 30:22).[6] Kemajemukan dan perbedaan cara pandang di antara manusia tidak perlu menimbulkan kegusaran tetapi hendaklah dipahami sebagai pangkal tolak dorongan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan . Tuhanlah yang akan menerangkan mengapa manusia berbeda, nanti ketika kita kembali kepada-Nya (QS, 5:48). [7]
Di dalam kenyataan kehidupan pluralitas sosio-kultural itu ternyata telah menimbulkan berbagai pengalaman empirik yang berbeda-beda pula pada setiap bangsa, kawasan, ethnik dan kelompok. Agama yang pada mulanya diterima dalam batas sosio-kultural tadi ternyata dalam implikasi pengalaman-pengalaman itu, kadang kala berubah menjadi faktor yang berkelindan dengan fanatisme sosio kultural lainnya seperti sosio-politik, sosio-ekonomi. Rumitnya pada waktu wilayah kepentingan pribadi dan kelompok dimasuki oleh provokator untuk kepentingan sesaat seperti politik-kekuasaan dan kemauan untuk menghegemoni kelompok lain, resiko konflik menjadi lebih besar. Maka agama menjadi rawan bukan saja menjadi potensi integrasi tetapi dapat menjadi potensi konflik terbuka. Disinilah agama sebagai unsur pluralitas masyarakat dianggap dapat menjadi faktor ancaman bagi kehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat.
Akan tetapi apakah kondisi itu murni hanya karena kecemburuan sosiologis? Pertanyaan ini hendak dijawab oleh para peneliti dengan mengkaji kemungkinan adanya pontensi konflik lain yang lebih signifikan. Misalnya adakah potensi konflik itu berdasarkan konsep teologis atau cara masyarakat beragama dalam menerapkan akidah- tauhidnya? Pertanyaan ini menjadi relevan dikaitkan dengan tiga sikap dalam teologi agama-agama sebagai watak pluralitas yang disebut dengan ekslusifisme, inklusfisme dan paralelisme (Budhy Munawar-Rachman, 2001: 44-52).
Pertama, sikap ekslusif. Sikap yang menganggap tidak ada kebenaran dan jalan keselamatan selain agamanya sendiri. Atau dengan ungkapan lain tidak ada agama yang benar selain agamanya sendiri. Sikap seperti ini ternyata ada di dalam pemeluk berbagai agama. Di kalangan penganut Nashrani, Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan . “ Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes, 14:6). Ayat ini dalam persepktif orang yang bersikap ekslusif sering dibaca secara literal. Ungkapan lain, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain Dia”, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain. Maka terkenallah istilah No other name yang menyelamatkan manusia (Kisah Para Rasul 4, 12). Dengan istilah itu disimbolkan tidak adanya keselamtan di luar Yesus Kristus. Sejalan dengan itu ada pula pandangan ekslusif lain sejak abad pertama oleh Gereja yang dirumuskan sebagai extra ecclesiam nullau salus (tidak ada keselamatan di luar Gereja) dan extra ecclesiam nullus propheta (tidak ada nabi di luar Gereja). Pandangan ini pernah dikukuhkan dalam Konsili Florence 1442. Paradigma ekslusif itu, sampai sekarang selalu menjadi pegangan oleh para penganut garis keras para penginjil . Di antara penginjil Protestan yang menganut paradigma ini adalah Karl Bath dan Hendrick Kraemer. Nama yang kedua ini bahkan menulis buku The Christian Message in Non-Christian World mengatakan “Tuhan telah mewahyukan jalan, kehidupan dan kebenaran dalam Yesus Kristus dan menghendaki ini diketahui di seluruh dunia” (Ibid, 45).
Sikap ekslusifisme dianggap para pengkaji pluralisme agama juga ada dari kalangan Islam. Beberapa ayat al-Qur’an oleh para pengkaji itu dapat pula dianggap sebagai rujukan kaum muslimin yang membawa kepada sikap eksklusif . Di antaranya adalah QS.5/Al-Maidah:3; 3/Ali-Imran: 85 ; dan 3/Ali Imran :19. “Hari ini orang kafir sudah putus asa untuk mengalahkan agamamu. Janganlah kamu takut kepada mereka; takutlah kepada-Ku. Hari ini Ku-sempurnakan agamamu bagimu dan Ku-cukupkan karunia-Ku untukmu dan Ku-pilihkan Islam menjadi agamamu”; … Barang siapa menerima agama selain Islam maka tidaklah akan diterima dan pada hari akhirat ia termasuk golongan yang rugi”. …” Sungguh, agama pada sisi Allah adalah Islam”.
Kedua, sikap Inklusif. Sikap ini bersumber kepada dokumen Konsili Vatikan II 1965 yang mempengaruhi komunitas Katolik. Produk Konsili itu yang berkaitan dengan agama lain ada pada “Deklarasi Hubungan Gereja dan Agama-agama Non Kristiani (Nostra Aetate) . Teolog penganut pandangan ini adalah Karl Rahner ( Ibid, 46). Ia mengatakan bahwa orang-orang Non-Kristiani juga akan selamat sejauh mereka didup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan, karena kaarya Tuhan pun ada pada mereka, walaupun mereka belum pernah mendengar Kabar Baik (Kristen). Rahner menyebutkan sebagai sikap inklusif berdasarkan the Anonymous Christian (Kristen anonim). Sikap ini disebutkan oleh para kritikus pluralis sebagai membaca agama lain dengan kacamata agama sendiri.
Dalam hal seperti ini, sikap inklusif dalam Islam tampaknya dapat merujuk kepada Filisof Muslim abad XIV Ibn Taymiah yang membedakan antara orang-orang dan agama Islam umum (yang Non-Muslim par excellance) , dan orang-orang dan agama Islam khusus (Muslim par excellance). (Ibid) . Kata Islam sendiri di sini diartikan seabagai “sikap pasrah kepada Tuhan”. Sebagaimana dikutip Budhy menawar Rachman yang mengutip Nurcholish Madjid:
“Pangkal al-Islam ialah persaksian bahwa “ Tidak ada suatu Tuhan apapun selain Allah, Tuhan yang sebenarnya, “ dan persaksian itu mengandung makna penyembahan hanya kepada Allah semata meninggalkan penyembahan kepada selain Dia. Inilah al-Islam al-‘am (Islam umum, universal) yang Allah tidak menerima ajaran ketundukan selain daripadanya”.
“ Maka semua Nabi itu dan para pengikut mereka, seluruhnya disebut oleh Allah Ta’ala bahwa mereka adalah orang-orang muslim. Hal ini menjelaskan bahwa firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa menganut suatu din selain al-Islam maka tidak akan diterima daripadanya al-din dan di akhirat dia termasuk yang merugi (QS, 3:85) dan firman Allah, “ Sesungguhnya al-din di sisi Allah ialah al-Islam (QS, 3:19”, yang menurut pemahaman Nurchalish berdasarkan Ibn Taymiyah itu –tidak khusus tentang orang-orang (masyarakat) yang kepada mereka Nabi Muhammad s.a.w. diutus, melainkan hal itu merupakan suatu hukum umum (hukm ‘amm ketentuan universal) tentang manusia masa lalu dan manusia kemudian hari (Ibid, 46-47).
Dalam tafsiran mereka seperti diteruskan Budhy Munawar-Rachman, yang menganut paham yang disebut “Islam Inklusif” ini, mereka menegaskan sekalipun para nabi mengajarkan pandangan hidup yang disebut al-Islam dengan pemahaman ketundukan dan sikap pasrah, itu tidaklah berarti bahwa mereka dan kaumnya menyebut secara harfiah agama mereka al-Islam dan mereka sendiri sebagai orang-orang muslim. Itu semua hanyalah peristilahan Arab. Para Nabi dan Rasul, dalam da’wah mereka pada dasarnya menggunakan bahasa kaumnya masing-masing. Seperti QS, Ibrahim/14:4 “ Kami tidak mengutus seorang Rasul dengan kecuali dengan bahasa kaumnya”. Selanjutnya Nurcholish Madjid mengatakan lagi :
Manusia berselisih tentang orang terdahulu dari kalangan umat Nabi Musa dan Nabi Isa, apakah mereka itu orang-orang muslim? Ini adalah perselisihan kebahasaan. Sebab “Islam khusus” (al-Islam khashsh) yang dengan ajaran itu Allah mengutus Nabi Muhammad saw. Yang mencakup syari’at al-Qur’an tidak ada yang termasuk ke dalamnya selain umat Muhammad saw. Dan al-Islam sekarang secara keseluruhan bersangkutan dengan hal ini. Adapun “ Islam umum” (al-islam al’amm) yang bersangkutan dengan syari’at itu Allah membangkitkan seorang nabi maka bersangkutan dengan islam-nya setiap umat yang mengikuti seorang Nabi dari para nabi itu.
Menurut Budhy Munawar-Rachman, dari wacana di atas tadi dapat disimpulkannya bahwa kalangan Islam inklusif menganut suatu pandangan bahwa agama semua nabi adalah satu. “Para nabi adalah saudara satu ayah; ibu mereka banyak, namun agama mereka satu”. Rasulullah bersabda, “Aku adalah orang yang paling berhak atas Isa putera Maryam di dunia dan akhirat. Para Nabi adalah saudara satu bapak, ibu mereka berbeda-beda namun agama mereka satu (HR. Bukhari). Mereka yang bersikap inklusif ini selanjutnya mengutip QS, 3: 64, sebagai rujukan bahwa ada titik temu agama-agama, di mana masing-masing umat telah ditetapkan sebuah syir’ah (jalan menuju kebenaran) dan minhaj (cara atau metode perjalanan menuju kebenaran). Menurut kalangan Islam inklusif ini, Allah memang tidak menghendaki adanya kesamaan manusia dalam segala hal (monolitisme) . Adanya perbedaan menjadi motivasi berlomba menuju berbagai kebaikan; dan Allah akan menilai dan menjelaskan berbagai perbedaan yang ada itu. (QS, al-Maidah/5:48). Menurut Budhy Munawar-Rachman, di Indonesia pandangan ini secara kuat dianut oleh Nurcholish Madjid (Ibid, 48).
Ketiga, sikap Paralelisme . Gugusan pemikiran (paradigma) ini berpandangan bahwa setiap agama (agama-agama lain di luar Kristen) mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan karena itu klaim bahwa Kristianitas adalah satu-satunya jalan (sikap ekslusif), atau melengkapi atau mengisi jalan yang lain (sikap inklusif), haruslah ditolak, demi alasan teologis dan fenomenologis. Sikap pluralis teologis dan fenomenalogis ini dengan sangat kuat dianut oleh para penganut pluralis yang asli, di antaranya adalah John Harwood Hicks dalam God and the Universe of Faith (1973). Pendapatnya dianggap suatu revolusi dalam pemikiran teologi agama-agama. Menurut Budhy Munawar-Rachman, Hicks menggunakan analogi astronomi sebagai berikut :
“ Menurut Ptolemeus, bumi adalah pusat dari seluruh alam semesta. Pergerakan planet-planet lain oleh postulating epicycle. Pertumbuhan jumlah epicycle menjadikan gambaran Ptolemeus makin tidak masuk akal. Karena itulah akhirnya muncul gambaran Kopernikus, yang menggantikan gambaran Petolemeus, dengan menganggap mataharilah yang sebenarnya merupakan pusat alam semesta, bukan bumi. Dengan analogi ini Hicks hendak mengatakan bahwa teologi Ptolemeus kuno (maksudnya tentu saja orang seperti Barth, Kraemer dan lainnya) dan pertumbuhan epicycle-nya (pada Rahner, dan lainnya) yang menanggap bahwa Yesus Kristus adalah pusatnya, makin tidak mungkin menerangkan perkembangan agama-agama lain. Karena itu ia melakukan revolusi Kopernikan dalam bidang pemikiran teologi diperlukan, dengan mengganti Kekristenan (Yesus Kristus) kepada Tuhan sebagai pusat dari alam semesta iman manusia. Semua agama termasuk Kristen, melayani dan mengelili-Nya.” (Ibid).
Di kalangan pemikir Islam pluralis, tafsir pluralis merupakan pengembangan secara lebih liberal dari Islam inklusif. Contohnya perbedaan antara Islam dan Kristen (dan antara agama secara umum) diterima sebagai perbedaan dalam meletakkan prioritas antara “perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Penganut Islam pluralis seperti Frithjof Schuon dan Seyyed Hossein Nasr, seperti dikutip Budhy Munawar-Rachman mengatakan bahwa setiap agama dasarnya distruktur oleh dua hal tersebut: perumusan iman dan pengalaman iman. Hanya saja setiap agama selalu menanggap yang satu mendahului yang kedua . Katanya, Islam mendahulukan “perumusan iman” dalam hal ini Tawhid. Dan pengalaman iman mengikuti perumusan iman tersebut. Sebaliknya agama Kristen mendahulukan pengalaman iman (dalam hal ini pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan dalam sakramen misa dan ekaristi, dan perumusan iman ini mengikuti pengalaman ini, sehingga terciptalah rumusan dogmatis mengenai trinitas. Menurut mereka yang pluralis ini, perbedaan struktur perumusan dan pengalaman iman ini hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami Tuhan yang sama. (Ibid, 49). Tentu saja paradigma pluralis demikian ditolak oleh para pemeluk agama yang bersikap ekslusif dan inklusif.
V. Resolusi Kepincangan Pemahaman Publik dan Pemikiran Akademik
Untuk mengeliminir disharmoni intelektual, paling tidak harus dicarikan tawaran beberapa alternatif yang perlu dipertimbangkan dalam menjembatani kepincangan pemahaman publik dan pemikiran akademik tentang pluralisme. Pertama, bahwa harus dilihat pemahaman awal tentang makna semantik antara pluralisme dan pluralitas. Pluralisme dipahami sebagai paham menghormati kemajemukan filsafat kehidupan bersama adalah sesuatu yang afirmatif. Tetapi untuk pluralisme demikian tidak perlu dikaitkan dengan aqidah agama dan ibadah dalam beragama. Di luar itu, kata pluralitas lebih memadai untuk menggambarkan watak atau karakter sosiologis menjaga harmoni dan semangat kebersamaan sosial dalam kehidupan bersama yang memang terlahir dalam majemuk.
Kedua, wacana tentang pluralisme dan pluralitas sebaiknya tidak terlalu menonjol dalam menggesa fanatisme golongan tetapi untuk diarahkan untuk memotivasi kohesif dan interaksi sosial yang beragregasi dengan kepentingan bangsa ke depan dalam menghadapi tantangan budaya kosmopolitan dan globalisme.
VI. Penutup
Kenyataan pluralitas sosiosilogis tidak selalu secara otomatis membawa kepada keberkahan dan makna yang positif kalau tidak disejalankan dengan upaya yang terus menerus untuk diarahkan kepada kehidupan bermasyarakat yang berkeadaban dan bermartabat. Upaya itu menjadi amat strategis dengan mengoptimalkan peranan perguruan tinggi sebagai realisasi tanggungjawab sosialnya terhadap masyarakat dan bangsa. Harmonisasi sosial merupakan infra struktur masyarakat untuk menjadikan pluralitas itu lebih bermakna untuk kepentingan masa kini dan masa depan. Ada hal-hal yang rawan dalam relasi pluralitas masyarakat selain masalah sosio-kultural, ekonomi dan politik. Di antaranya adalah relasi masyarakat dan agama-agama dalam konteks berteologi .
Pluralisme agama dalam wacana teologis yang dapat membawa kepada pengertian agama itu sama saja, akan membahayakan akidah suatu agama. Maka dapat dipahami, kalau MUI melarang paham pluralisme-teologis itu di Indonesia karena akan meringankan makna eksistensi akidah suatu agama bagi para pemeluknya. Akan tetapi wacana pluralis-teologis cukup signifikan untuk perkembangan ilmu pengetahuan seperti kajian terhadap berbagai filsafat temasuk dari yang paling masuk akal sampai kepada yang utopis. Bahkan mempelajari komunisme dan atheisme untuk ilmu pengetahuan adalah diperlukan untuk mengetahui jalan pemikiran dan alasan-alasan mereka.
Dengan begitu akan ada kesabaran intelektual dan hati untuk meletakkan mereka yang berbeda pendapat sebagai manusia yang bebas berfikir dan tidak membawa kepada kepanikan apalagi gesekan fisik. Oleh karena itu sebaiknya wacana pluralis untuk kalangan awam tidak dikaitkan dengan cara bertawhid atau pemikiran iman atau filosofis-teologis. Wacana peluralis lebih relevan untuk mengatur kemajemukan masyarakat atau tataran sosiologis, kultural, ekonomi dan politik. Sehingga tercipta kehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat. Allah a’lam bi al-shawab. E-mail : shofwan2004@yahoo.com.com.
Daftar Kepustaakaan
Asykuri Ibnu Chamim, dkk . 2002. Pendidikan Kewarganegaraan: Menuju Kehidupan yang Demokratis dan Berkeadaban. Yogyakarta: Diktilitbang PP Muhammadiyah-The Asia Foundation.
Mohammad Hatta. 1976. Tanggungjawab Kaum Intelegensia. Jakarta: Bulan Bintang.
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
T. Jacob dalam Mandiri Sianipar. 1984. “Perguruan Tinggi sebagai sumber Kader Bangsa”. Pendidikan Pilitik Bangsa. Jakarta: Sinar Harapan.
M. Habid Mustopo, Ed. 1983. Ilmu Budaya Dasar: Kumpulan Essay Manusia dan Budaya. Surabaya: Usaha Nasional.
Koentjaraningrat. 1979. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan.
Parsudi Suparlan,Ed. 1984. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya: Bacaan untuk MKDU, Khususnya ISD. Jakarta: Konsorsium Antar Bidang Depdikbud dan Rajawali.
Deliar Noer. 1990. Mohammad Hatta; Biografi Politik. Jakarta: LP3ES
Sahar L. Hasan, Ed. 1998. Memilih Partai Islam: Visi, Misi dan Persepsi. Jakarta: Gema Insani Press.
Sutopo Yuwono dalam Alfian, Ed. 1985. “Persepsi Ketahanan Nasional terhadap Kebudayaan”. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta : Gramedia.
Tobroni-Syamsul Arifin. 1994. Islam, Pluralisme Budaya dan Politik. Yogyakarta: SI Press.
Budhy Munawar-Rachman.2001. Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina.
[1] Diskusi Dosen Pemikiran Islam pada jurusan Aqidah-Filsafat Fak. Ushuludin IAIN Imam Bonjol, Rabu, 27 Desember 2006.
[2] Drs. H. Shofwan Karim, MA adalah Lektor pada jurusan Aqidah-Filsafat Fak. Ushuluddin IAIN Imam Bonjol Padang .
[3] Ke-5 fatwa lainnya itu adalah perlindungan hak kekayaan intelektual; perdukunan (kahana) dan peramalan (‘irafah); kriteria maslahat; pencabutan hak milik pribadi untuk kepentingan umum; hukuman mati dalam tindak pidana tertentu.
[4] Shofwan Karim, makalah, “Pluralitas dalam Kehidupan Bermasyarakat yang Beradab dan Bermartabat” disampaikan dalam acara penataran dan lokakarya nasional, mata kuliah ISBD, Auditorium UNP, Padang, Rabu 7 Juni 2006.
[5]
13- Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
[6]
22- Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.
[7]
48- Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,
Pemahaman Publik dan Pemikiran Akademik[1]
Oleh Shofwan Karim[2]
I.Pendahuluan
Wacana (diskursus) pluralisme di Indonesia cukup marak sejak beberapa dekade belakangan sampai saat ini . Beberapa kelompok dan perorangan pakar Islam tentang pemikiran moderen Islam cukup gencar membicarakannya. Wacana itu berkembang dalam karya tulis, ceramah, diskusi dan seminar baik langsung maupun melalui media massa. Para akademisi memperdebatkannya secara intensif dengan cara ilmiah dan dapat menambah wawasan ilmu dan akademik. Sejalan dengan itu, dalam sosialisasi pemikiran itu terpapar dan tertayangkan dalam media massa grafika, audio-visual dan elektronika yang diakses langsung oleh publik atau kalangan umum.
Konsekuensinya, wacana pluralisme ditanggapi dengan beragam. Respon kalangan akademik yang kontra pemikiran pluralisme dapat dimengerti karena mereka dapat memilah-milah secara rasional sesuai latar belakang akademik mereka. Akan tetapi di kalangan masyarakat umum, penolakan pemikiran telah berimplikasi disharmoni sosial yang bersifat fluktuatif. Terutama munculnya prasangka dan gunjingan tidak sehat. Pada gilirannya menbuat tuduhan merendahkan bahkan membuat stigma amat negatif terhadap lembaga dan perorangan yang dilekatkan sebagai subyek yang dianggap mengembangkan pemikiran pluralisme tadi. Beberapa lembaga dan tokoh telah dianggap terpojokkan oleh keadaan itu
Hal itu boleh jadi membawa resiko kepada perkembangan pemikiran Islam ke depan karena setiap pemikiran yang tidak sesuai dengan pemikiran yang telah mapan dianggap sesat dan menyesatkan. Dalam kerangka itulah, maka perlu dikaji secara proporsional wacana pluralisme antara pemahaman publik dan pemikiran teoritis ilmiah bersifat akademik. Selanjutnya, di mana letak perbedaan pemahaman dan pemikiran itu serta bagaimana cara menghampiri keduanya sehingga menjadi produktif untuk perkembangan pemikiran Islam. Tentu saja dengan tetap menjaga kepedulian dan tidak mengabaikan sentimen publik yang yang mungkin akan terus beragam.
II. Pemahaman Publik tentang Pluralisme.
Pada beberapa waktu lalu, di depan Masjid Raya Nurul Iman Padang, oleh sekelompok masyarakat telah dibakar gambar beberapa intelektual Islam Indonesia seperti Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Ulil Abshar Abdalla, Nurcholish Madjid dan lainnya yang dikatakan sebagai pemikir-pemikir Islam Tong Sampah. Kelompok yang paling dianggap bertanggungjawab adalah Jaringan Islam Liberal dari Kelompok Utan Kayu Jakarta yang dideklarasikan pada tahun 2000 lalu. Belakangan juga dianggap lembaga pendidikan tinggi seperti Universitas Paramadina, UIN Jakarta, bahkan IAIN Imam Bonjol pada suatu saat awal tahun ini dikatakan oleh sebagian publik sebagai sarang pluralisme, liberalisme dan sekularisasi agama itu. Mereka dianggap sumber, pendistribusi dan melakukan sosialisasi pemikiran tersebut. Jauh sebelum itu, banyak hujatan-hujatan oleh kelompok tertentu lainnya kepada beberapa tokoh dan kelompok lainnya lagi.
Di antara hujatan-hujatan itu berpangkal dari lontaran-lontaran pemikiran yang berdampak kepada pemahaman yang beragam dari publik. Di antara pemahaman publik itu yang dimaksud dengan pluralisme adalah semua agama adalah sama. Berasal dari Tuhan yang sama. Islam tidak lagi kebenaran mutlak. Selain Islam, bisa diterima sebagai agama dan seterusnya Kawin lintas agama dibolehkan tanpa dikaitkan dengan agama apa pun yang dipeluk calon pengantin. Sebagai jawaban dari kegelisahan pemahaman publik yang demikian, maka Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2005 dmenetapkan keputusan fatwanya No. 7/Munas VII/MUI/11/2005 tentang pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama. Publik, telah dilukiskan sedang mengalami kegelisahan yang amat mendalam akibat perkembangan pemikiran terakhir itu. Di dalam konsideran menimbang dalam fatwa di atas tadi dikatakan “ bahwa berkembangnya paham pluralisme agama, liberalisme dan sekularisme serta di kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang masalah tersebut.” (DDII, 2005:227).
Sebenarnya, fatwa MUI tentang pluralisme merupakan satu paket dalam 11 fatwa lainnya produk Munas tadi. Di antaranya yang terkait langsung dengan pluralisme ini adalah (1) do’a bersama, (2)perkawinan beda agama, (3) kewarisan beda agama, (4)pluralisme, liberalisme, dan sekelarisme agama, (5) wanita menjadi Imam Shalat (6)aliran Ahmadiyah. Sementara 5 fatwa lainnya tidak terkait langsung dengan wacana pluralisme yang dibahas tulisan ini . [3]
Tabel: Fatwa MUI tentang Pluralisme
No
Keputusan
Isu
Keputusan
1
No. 3
Do’a bersama
Mengamini orang yang berdo’a, termasuk do’a; do’a bersama antara Muslim dan Muslim adalah bid’ah; orang Islam haram mengikuti dan mengamini do’a yang dipimpin non-muslim; do’a bersama dengan non muslim yang dipimpin tokoh Islam adalah mubah.
2
No. 4
Perkawinan beda agama
Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah; perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlu kitab menurut qaulul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.
3
No. 5
Kewarisan beda agama
Islam tidak memberikan hak mewarisi antara orang-orang yang berbeda agama; pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.
4
No. 7
Pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama
Pertama: ketentuan umum. Yang dimaksud pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain adalah salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di syurga.
Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup berdampingan.
Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (al-Qur’an dan sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikian semata.
Sekularisme adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.
Kedua, ketentuan umum. Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran Islam .
Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama.
Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap ekslusif, dalam arti haram mencampurkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
Bagi masyakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.
5
No. 9
Wanita menjadi imam shalat
Wanita menjadi imam shalat berjama’ah yang di antara makmumnya terdapat laki-laki hukumnya haram dan tidak sah
Wanita menjadi imam shalat berjama’ah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah.
6
No. 11
Aliran Ahmadiyah
Menegaskan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II tahun 1980 yang menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam)
Bagi mereka yang terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ilal haq), yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadis.
Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.
Keenam fatwa MUI di atas, dapat dikaitkan secara implisit sebagai wacana pluralisme.
III. Tinjauan akademik dan Analisis Rekonstruktif
Kata pluralisme dan pluralitas telah dicampur adukkan oleh sebagian kalangan. Yang dimaksud dalam tulisan ini, pluralisme adalah paham atau filsafat pemikiran yang mengkaitkan kesamaan tertentu dalam agama dalam lapangan aqidah dan ibadah. Sementara pluralitas adalah kenyataan sosiologis manusia yang hidup dalam kelompok-kelompok yang plural atau majemuk secara lahiriah.. Pluralisme, terkait filsafat pemikiran sementara pluralitas adalah kenyataan sosial.
Masyarakat majemuk atau masyarakat plural dapat dipahami sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok dan strata sosial, ekonomi, suku, bahasa, budaya dan agama. Di dalam masyarakat plural, setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada, tanpa adanya rintangan-rintangan yang sistemik yang mengakibatkan terhalangnya hak untuk berkelompok atau bergabung dengan kelompok tertentu (Asykuri, dkk., 2002:107)
Pluralitas baru bermakna positif bila ada interaksi dan relasi saling percaya antara sesama (social-trust) . Hal itu merupakan prasyarat untuk terciptanya masyarakat yang beradab dan bermartabat . Yaitu masyarakat yang memiliki moral, akhlak, etika, budi luhur, santun, sabar dan arif, menghormati hak asasi, menghormati diri sendiri dan orang lain, bangsa sendiri dan bangsa lain, suku dan kelompok sendiri dan suku serta kelompok lain. Dengan begitu upaya untuk mencapai kualitas hidup yang optimal untuk menjadi lebih sejahtera, berkeadilan dan berkemakmuran, niscaya akan membawa masyarakat itu dapat duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Untuk maksud tersebut diperlukan infra struktur harmonisasi sosial dalam kehidupan bersama. Menghormati pluralitas harus sejalan dengan menghormati peradaban dan martabat. Tidak ada artinya pluralitas kalau yang dipertahankan adalah budaya primitif, keterbelakangan dan hanya asal berbeda dengan alasan kemurnian penghormatan budaya lokal atau hak asasi manusia tanpa mempertimbangkan hak manusia lainnya dalam sistem kehidupan bersama. [4]
Secara umum pandangan dunia atau world-view bangsa Indonesia terhadap dirinya tentang kemajemukan (pluralitas) dapat didiskripsikan dalam stream-line (arus utama) menurut awal kelahiran bangsa, masa pertumbuhan dan masa perkembangan ke depan . Pengalaman itu tertata secara sosio-kultural, sosio-politik dan sosio-religius. Secara ringkas, dapat ditelusuri menurut periodikal sejarah yang dikategorikan sebabagai watak kultural, aslinya pada masa awal kelahiran bangsa, zaman revolusi dan awal kemerdekaan (1928-1959); watak politik dan kekuasaan (1959-1990); serta watak reformasi, priode sekarang dan ke depan .
Karakter Pertama, watak majemuk secara sosio-kultural aslinya. Masyarakat Indonesia adalah terdiri atas bangsa yang bersuku-suku dengan cara hidup bermasyarakat dan berbudaya, adat istiadat serta 300 lebih dialek lokal, hidup di atas lebih kurang 17 ribu pulau-pulau yang membentang dari Sabang ke Merauke, dari Zulu ke Pulau Rote yang pernah dijarah Portugis, Spanyol, Inggris dan dijajah Belanda, dan terakhir Jepang sejak abad ke 16 sampai pertengahan abad ke-20. Jauh sebelumnya telah berdiri kerajaan Sriwijaya, Mojopahit dan kerajaan Mataram serta kesultanan-kesultanan di berbagai wilayah nusantara. Secara historikal oleh Koentjaraningrat (1979 : 21-34) kemajemukan Indonesia menerima pengaruh dari kebudayaan Hindu, Islam dan Eropa di masa lalu. Akan tetapi di abad ke-20, dalam kemajemukan dan perbedaan-perbedaan itu masyarakat yang belum menjadi satu bangsa itu mempunyai tekad untuk bersatu dengan dikumandangkannya tekad Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Tekad itu pula yang mengantarkan bangsa ini menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Pada masa awal, istilah kemajemukan merupakan kosa kata murni dalam mengatakan kebermacaman atau keberagaman bangsa Indonesia. Lalu dicanangkan motto bhinneka tungal ika: masyarakat majemuk tetapi tetap bersatu atau unity in diversity. Motivasi apolikasi kosa kata itu datang dari dalam diri masyarakat dan bangsa Indonesia sendiri. Katrakanlah, bahwa pluralisme berakar dari ideologi dan sosio-kulktralnya sendiri.
Karakter kedua, watak sosio-politik dan kekuasaan. Setelah era proklamasi bangsa ini mencitrakan diri sebagai bangsa majemuk untuk mengisi kemerdekaan dengan mengikuti cara-cara demokrasi politik liberalisme Barat. Di sini dimulai pengaruh kultur politik kosmo-globalisme dimulai. Dengan dikeluarkannya Maklumat Presiden No X, 16 Oktober 1945 yang intinya mengubah sistem pemerintahan Presidentil ke Parlementer dan Maklumat Presiden 3 November 1945 tentang kesempatan rakyat mendirikan partai-partai, merupakan awal pluralitas-politik yang syah. Dengan begitu maka niat monolitik Soekarno yang hanya akan menggiring PNI sebagai satu-satunya partai politik, berubah kepada dibolehkannya hidup banyak partai.
Kehidupan multi partaipun dimulai. Dengan demikian pluralitas politik dihalalkan, hanya dengan satu restriksi, bahwa partai jangan hanya asal berdiri saja melainkan turut memperjuangkan keikaan yaitu turut memperjuangkan kepentingan rakyat banyak: “mempertahankan kemerdekaan “ dan “memperjuangkan keamanan rakyat” (Deliar Noer, 1990 : 284-289). Mungkin kebebasan itu secara teoritikal adalah baik. Akan tetapi karena para pemimpin dan masyarakat politik pada masa itu ditambah rakyat yang belum terdidik secara memadai maka kebebasan multi partai itu tidak membawa keuntungan amat berarti dalam perkembangan bangsa. Keadaan itu telah membawa ketidak stabilan pemerintah dengan berganti-gantinya kabinet. Lebih dari itu Soekarno yang merasa jabatan Presiden hanya sebagai simbol negara, ingin mendominasi kekuasaan. Puncaknya adalah mundurnya Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden th 1956 (Ibid, 482). Kemudian berturut-turut dibubarkannya Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan membubarkan dirinya Partai Masyumi pada 1959 dan pembubaran resminya oleh Presiden th. 1960. Selanjutnya kehidupan nasional didominasi oleh jargon Nasakom (Nasional, Agama dan Komunis). Nasakom waktu itu merupakan soko guru Soekarno sebagai tri-tunggal politik nasionalis yang citrakan sebagai PNI, Islamis yang dicitrakan NU dan Komunis dan sosialis yang dicitrakan sebagai PKI . Dengan segala resikonya, moto bhinneka tunggal ika sudah dikerdilkan dari plate-form politik.
Keadaan serupa dengan substansi yang berbeda terjadi pada masa Orde Baru. Ketika Masyumi ingin dihidupkan kembali oleh para pemimpinnya yang baru keluar dari penjara Orla seperti M. Natsir, M. Rum, Kasman Singodimejo dan lain-lain, partai itu tidak dibenarkan menamakan diri Masyumi dan harus yang memegang pucuk pimpinan partai yang menampung eks Masyumi itu bukan tokoh lama. Maka lahirlah Parmusi yang dipimpin Djarnawi Hadikusuma yang belakangan terlalu dekat dengan kelompok mantan tokoh masyumi lalu digantikan oleh tokoh yang dianggap lebih dekat dengan Orba seperti Mintareja dan kemudian J. Naro. Episoda berikutnya pada pentas politik nasional awal Orba itu terdapat 9 partai, termasuk Parmusi dan 1 Golkar. Belakangan kecuali Golkar, 9 partai tadi dilikwidasi (istilah waktu itu fusi) menjadi 2 Partai Politik: PPP dan PDI, pada th 1973 (Sahar L. Hasan, Ed. 1998: 15). Sejak itu di Indonesia hanya terdapat 2 Parpol dan 1 Golkar yang menjalankan fungsi kekuatan resmi sebagai infra struktur politik. Dengan 3 kekuatan politik itu, pluralitas politik pada dekade awal Orde Baru itu secara relatif masih ada termasuk masih dibolehkannya 2 parpol tadi berasaskan idelogi Islam dan Nasionalisme, sementara Golkar tetap dengan ideologi Pancasilanya. Belakangan terjadi perubahan total. Dengan alasan politik sebagai panglima dan keragaman idelogi telah merusak tatanan bangsa pada masa Orla, maka keragaman atau pluralitas ideologi harus dilenyapkan. Kemauan itu terealisasikan dengan disyahkannya UU No. 3 tentang Parpol, th 1975 dan UU No. 5 tentang Ormas th. 1985, diwajibkannya asas tunggal sebagai ideologi dasar dan asas Parpol dan Ormas. Upaya pengasastunggalkan itu juga didasari dengan alasan-alasan kepentingan integrasi nasional, perlunya cara pandang kesatuan udara, laut dan darat sebagai satu kesatuan dan perlunya cara pandang berwawasan nusantara (Sutopo Yuwono, Alfian, Ed, 1985 : 83-95). Dengan begitu maka pluralitas ideologi sudah terkubur.
Selain itu, pluralitas sosial budaya yang pada masa pra dan awal kemerdekaan hingga masa akhir masa Orla masih berkembang simultan dan agak proporsional, berubah secara signifikan. Bahasa Indonesia yang terdiri dari Bahasa Melayu ditambah bahasa daerah lainnya dan Bahasa Asing, terkooptasi dengan kosa kata dan istilah-istilah Jawa dan Sanskerta. Sekedar menyebut contoh, muncullah istilah Parasamya Purnakarya Nugraha untuk anugrah pembangunan. Binagraha untuk kantor Presiden dan sebagainya. Watak pluralitas tidak lagi teraplikasikan dalam kehidupan bangsa secara berimbang tetapi telah terkooptasi oleh satu budaya suku bangsa mayoritas yang memegang tampuk kekuasaan.
Karakter ketiga, pluralitas agama secara sosiologis . Dalam rentangan waktu, diskursus pluralitas agama secara sosiologis, tidaklah terkait secara padu dengan kenyataan reformasi politik di Indonesia dengan jatuhnya Soeharto 21 Mei 1998. Karena, pada dasarnya diskursus pluralitas agama sudah jauh ada sejak masa awal Orde Baru terutama dalam hubungan Islam dan Kristen. Tetapi karena watak Orde Baru kala itu yang selalu merujuk kepada kestabilan pembangunan sehingga melahirkan trilogi pembangunan yang disebut: stabilitas keamanan; pertumbuhan ekonomi dan; pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, maka setiap gejala yang mengedepankan diskursus tentang pluralitas agama selalu dikaitkan dengan kewaspadaan yang akan mengganggu kepentingan nasional. Maka setiap yang berbau intrik suku, agama dan hubungan antara golongan (SARA) yang bersifat primordialistik, selalu ditekan.
Khusus hubungan antar agama , pemerintah mempunyai kredo yang disebut tri-krukunan hidup antar pemeluk agama. Ketiganya adalah kerukunan hidup internal umat beragama; kerukunan hidup antara umat berlainan (eksternal) agama; dan kerukunan hidup pemeluk dan organisasi agama dengan pemerintah. Hasilnya, pada masa itu, meskipun ada gangguan misalnya pelecehan tempat ibadah agama tertentu oleh pihak lain sehingga menimbulkan kerusuhan, tidaklah akan berlangsung lama dan traumatis. Pihak keamanan dan berwajib cepat memadamkannya.
Pada dekade akhir Orde Baru, formula dan keran kebebasan semakin terbuka. Setelah masa reformasi keran yang semakin terbuka tadi itu bahkan memberikan kebebasan yang amat sangat. Sebagian ada yang mengatakan kebebasan yang kebablasan. Maka wilayah yang selama ini amat sensitif seperti SARA di masa orde baru, sudah tidak lagi tabu untuk publikasi dan diwancanakan di mana-mana. Maka wacana hubungan antar umat beragama amat intensif dikaji dalam berbagai istilah pluralitas agama. Pada dasarnya, agama secara sosiologis dipandang sebagai sesuatu yang given dan sunnatullah memang beragam-ragam dan berbeda-beda (Tobroni-Syamsul Arifin, 1994: 33-34). Akan tetapi, sebagai mana disinggung berikiut ini, pluralitas agama akan mengalami multi-tafsir dan pada gilirannya ada yang menganggap sebagai sumber gesekan dan sengketa dalam masyarakat.
Multi Tafsir Pluralitas Agama
Di Indonesia sejak awal kemerdekaan, agama yang dinyatakan resmi adalah Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha, dan sejak pemerintahan Gus Dur ditambah dengan Kong Hu Cu (Konfusionisme). Di kalangan pemeluk agama, secara umum pandangan dan pemahaman eksistensi masing-masing agama dalam kaitan kehidupan bersama dalam bermasyarakat dapat diterima. Tentu saja dengan segala resiko kepelbagaian dan keberagaman atau kemajemukan Inilah yang di dalam tulisan ini disebut sebagai pluralitas sosiolo-kultural agama. Yang dimaksud adalah perbedaan kelompok, suku, bahasa, budaya dan adat-istiadat, serta agama yang dianut.
Pengakuan formal oleh negara telah diakomodasikan di dalam struktur Departemen Agama dengan diformasikannya dalam struktur organik Direktorat Jenderal masing-masing agama tadi. Dengan demikian, baik secara formal maupun informal, kenyataan bahwa kehadiran agama-agama secara sosiologis dan supra struktur pemerintahan dapat diterima sebagai sebagai hal yang syah. Kalangan Islam merujuk pluralitas sosiologis itu dari pedoman pokoknya al-Qur’an. Oleh mayoritas kalangan Islam pluralitas sosiologi itu diterima sebagai sesuatu yang murni. Inilah yang dirujuk kepada QS.49:13[5]. Perbedaaan antara manusia dalam bahasa dan warna kulit harus diterima sebagai kenyataan positif dan itu merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah(QS, 30:22).[6] Kemajemukan dan perbedaan cara pandang di antara manusia tidak perlu menimbulkan kegusaran tetapi hendaklah dipahami sebagai pangkal tolak dorongan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan . Tuhanlah yang akan menerangkan mengapa manusia berbeda, nanti ketika kita kembali kepada-Nya (QS, 5:48). [7]
Di dalam kenyataan kehidupan pluralitas sosio-kultural itu ternyata telah menimbulkan berbagai pengalaman empirik yang berbeda-beda pula pada setiap bangsa, kawasan, ethnik dan kelompok. Agama yang pada mulanya diterima dalam batas sosio-kultural tadi ternyata dalam implikasi pengalaman-pengalaman itu, kadang kala berubah menjadi faktor yang berkelindan dengan fanatisme sosio kultural lainnya seperti sosio-politik, sosio-ekonomi. Rumitnya pada waktu wilayah kepentingan pribadi dan kelompok dimasuki oleh provokator untuk kepentingan sesaat seperti politik-kekuasaan dan kemauan untuk menghegemoni kelompok lain, resiko konflik menjadi lebih besar. Maka agama menjadi rawan bukan saja menjadi potensi integrasi tetapi dapat menjadi potensi konflik terbuka. Disinilah agama sebagai unsur pluralitas masyarakat dianggap dapat menjadi faktor ancaman bagi kehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat.
Akan tetapi apakah kondisi itu murni hanya karena kecemburuan sosiologis? Pertanyaan ini hendak dijawab oleh para peneliti dengan mengkaji kemungkinan adanya pontensi konflik lain yang lebih signifikan. Misalnya adakah potensi konflik itu berdasarkan konsep teologis atau cara masyarakat beragama dalam menerapkan akidah- tauhidnya? Pertanyaan ini menjadi relevan dikaitkan dengan tiga sikap dalam teologi agama-agama sebagai watak pluralitas yang disebut dengan ekslusifisme, inklusfisme dan paralelisme (Budhy Munawar-Rachman, 2001: 44-52).
Pertama, sikap ekslusif. Sikap yang menganggap tidak ada kebenaran dan jalan keselamatan selain agamanya sendiri. Atau dengan ungkapan lain tidak ada agama yang benar selain agamanya sendiri. Sikap seperti ini ternyata ada di dalam pemeluk berbagai agama. Di kalangan penganut Nashrani, Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan . “ Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes, 14:6). Ayat ini dalam persepktif orang yang bersikap ekslusif sering dibaca secara literal. Ungkapan lain, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain Dia”, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain. Maka terkenallah istilah No other name yang menyelamatkan manusia (Kisah Para Rasul 4, 12). Dengan istilah itu disimbolkan tidak adanya keselamtan di luar Yesus Kristus. Sejalan dengan itu ada pula pandangan ekslusif lain sejak abad pertama oleh Gereja yang dirumuskan sebagai extra ecclesiam nullau salus (tidak ada keselamatan di luar Gereja) dan extra ecclesiam nullus propheta (tidak ada nabi di luar Gereja). Pandangan ini pernah dikukuhkan dalam Konsili Florence 1442. Paradigma ekslusif itu, sampai sekarang selalu menjadi pegangan oleh para penganut garis keras para penginjil . Di antara penginjil Protestan yang menganut paradigma ini adalah Karl Bath dan Hendrick Kraemer. Nama yang kedua ini bahkan menulis buku The Christian Message in Non-Christian World mengatakan “Tuhan telah mewahyukan jalan, kehidupan dan kebenaran dalam Yesus Kristus dan menghendaki ini diketahui di seluruh dunia” (Ibid, 45).
Sikap ekslusifisme dianggap para pengkaji pluralisme agama juga ada dari kalangan Islam. Beberapa ayat al-Qur’an oleh para pengkaji itu dapat pula dianggap sebagai rujukan kaum muslimin yang membawa kepada sikap eksklusif . Di antaranya adalah QS.5/Al-Maidah:3; 3/Ali-Imran: 85 ; dan 3/Ali Imran :19. “Hari ini orang kafir sudah putus asa untuk mengalahkan agamamu. Janganlah kamu takut kepada mereka; takutlah kepada-Ku. Hari ini Ku-sempurnakan agamamu bagimu dan Ku-cukupkan karunia-Ku untukmu dan Ku-pilihkan Islam menjadi agamamu”; … Barang siapa menerima agama selain Islam maka tidaklah akan diterima dan pada hari akhirat ia termasuk golongan yang rugi”. …” Sungguh, agama pada sisi Allah adalah Islam”.
Kedua, sikap Inklusif. Sikap ini bersumber kepada dokumen Konsili Vatikan II 1965 yang mempengaruhi komunitas Katolik. Produk Konsili itu yang berkaitan dengan agama lain ada pada “Deklarasi Hubungan Gereja dan Agama-agama Non Kristiani (Nostra Aetate) . Teolog penganut pandangan ini adalah Karl Rahner ( Ibid, 46). Ia mengatakan bahwa orang-orang Non-Kristiani juga akan selamat sejauh mereka didup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan, karena kaarya Tuhan pun ada pada mereka, walaupun mereka belum pernah mendengar Kabar Baik (Kristen). Rahner menyebutkan sebagai sikap inklusif berdasarkan the Anonymous Christian (Kristen anonim). Sikap ini disebutkan oleh para kritikus pluralis sebagai membaca agama lain dengan kacamata agama sendiri.
Dalam hal seperti ini, sikap inklusif dalam Islam tampaknya dapat merujuk kepada Filisof Muslim abad XIV Ibn Taymiah yang membedakan antara orang-orang dan agama Islam umum (yang Non-Muslim par excellance) , dan orang-orang dan agama Islam khusus (Muslim par excellance). (Ibid) . Kata Islam sendiri di sini diartikan seabagai “sikap pasrah kepada Tuhan”. Sebagaimana dikutip Budhy menawar Rachman yang mengutip Nurcholish Madjid:
“Pangkal al-Islam ialah persaksian bahwa “ Tidak ada suatu Tuhan apapun selain Allah, Tuhan yang sebenarnya, “ dan persaksian itu mengandung makna penyembahan hanya kepada Allah semata meninggalkan penyembahan kepada selain Dia. Inilah al-Islam al-‘am (Islam umum, universal) yang Allah tidak menerima ajaran ketundukan selain daripadanya”.
“ Maka semua Nabi itu dan para pengikut mereka, seluruhnya disebut oleh Allah Ta’ala bahwa mereka adalah orang-orang muslim. Hal ini menjelaskan bahwa firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa menganut suatu din selain al-Islam maka tidak akan diterima daripadanya al-din dan di akhirat dia termasuk yang merugi (QS, 3:85) dan firman Allah, “ Sesungguhnya al-din di sisi Allah ialah al-Islam (QS, 3:19”, yang menurut pemahaman Nurchalish berdasarkan Ibn Taymiyah itu –tidak khusus tentang orang-orang (masyarakat) yang kepada mereka Nabi Muhammad s.a.w. diutus, melainkan hal itu merupakan suatu hukum umum (hukm ‘amm ketentuan universal) tentang manusia masa lalu dan manusia kemudian hari (Ibid, 46-47).
Dalam tafsiran mereka seperti diteruskan Budhy Munawar-Rachman, yang menganut paham yang disebut “Islam Inklusif” ini, mereka menegaskan sekalipun para nabi mengajarkan pandangan hidup yang disebut al-Islam dengan pemahaman ketundukan dan sikap pasrah, itu tidaklah berarti bahwa mereka dan kaumnya menyebut secara harfiah agama mereka al-Islam dan mereka sendiri sebagai orang-orang muslim. Itu semua hanyalah peristilahan Arab. Para Nabi dan Rasul, dalam da’wah mereka pada dasarnya menggunakan bahasa kaumnya masing-masing. Seperti QS, Ibrahim/14:4 “ Kami tidak mengutus seorang Rasul dengan kecuali dengan bahasa kaumnya”. Selanjutnya Nurcholish Madjid mengatakan lagi :
Manusia berselisih tentang orang terdahulu dari kalangan umat Nabi Musa dan Nabi Isa, apakah mereka itu orang-orang muslim? Ini adalah perselisihan kebahasaan. Sebab “Islam khusus” (al-Islam khashsh) yang dengan ajaran itu Allah mengutus Nabi Muhammad saw. Yang mencakup syari’at al-Qur’an tidak ada yang termasuk ke dalamnya selain umat Muhammad saw. Dan al-Islam sekarang secara keseluruhan bersangkutan dengan hal ini. Adapun “ Islam umum” (al-islam al’amm) yang bersangkutan dengan syari’at itu Allah membangkitkan seorang nabi maka bersangkutan dengan islam-nya setiap umat yang mengikuti seorang Nabi dari para nabi itu.
Menurut Budhy Munawar-Rachman, dari wacana di atas tadi dapat disimpulkannya bahwa kalangan Islam inklusif menganut suatu pandangan bahwa agama semua nabi adalah satu. “Para nabi adalah saudara satu ayah; ibu mereka banyak, namun agama mereka satu”. Rasulullah bersabda, “Aku adalah orang yang paling berhak atas Isa putera Maryam di dunia dan akhirat. Para Nabi adalah saudara satu bapak, ibu mereka berbeda-beda namun agama mereka satu (HR. Bukhari). Mereka yang bersikap inklusif ini selanjutnya mengutip QS, 3: 64, sebagai rujukan bahwa ada titik temu agama-agama, di mana masing-masing umat telah ditetapkan sebuah syir’ah (jalan menuju kebenaran) dan minhaj (cara atau metode perjalanan menuju kebenaran). Menurut kalangan Islam inklusif ini, Allah memang tidak menghendaki adanya kesamaan manusia dalam segala hal (monolitisme) . Adanya perbedaan menjadi motivasi berlomba menuju berbagai kebaikan; dan Allah akan menilai dan menjelaskan berbagai perbedaan yang ada itu. (QS, al-Maidah/5:48). Menurut Budhy Munawar-Rachman, di Indonesia pandangan ini secara kuat dianut oleh Nurcholish Madjid (Ibid, 48).
Ketiga, sikap Paralelisme . Gugusan pemikiran (paradigma) ini berpandangan bahwa setiap agama (agama-agama lain di luar Kristen) mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan karena itu klaim bahwa Kristianitas adalah satu-satunya jalan (sikap ekslusif), atau melengkapi atau mengisi jalan yang lain (sikap inklusif), haruslah ditolak, demi alasan teologis dan fenomenologis. Sikap pluralis teologis dan fenomenalogis ini dengan sangat kuat dianut oleh para penganut pluralis yang asli, di antaranya adalah John Harwood Hicks dalam God and the Universe of Faith (1973). Pendapatnya dianggap suatu revolusi dalam pemikiran teologi agama-agama. Menurut Budhy Munawar-Rachman, Hicks menggunakan analogi astronomi sebagai berikut :
“ Menurut Ptolemeus, bumi adalah pusat dari seluruh alam semesta. Pergerakan planet-planet lain oleh postulating epicycle. Pertumbuhan jumlah epicycle menjadikan gambaran Ptolemeus makin tidak masuk akal. Karena itulah akhirnya muncul gambaran Kopernikus, yang menggantikan gambaran Petolemeus, dengan menganggap mataharilah yang sebenarnya merupakan pusat alam semesta, bukan bumi. Dengan analogi ini Hicks hendak mengatakan bahwa teologi Ptolemeus kuno (maksudnya tentu saja orang seperti Barth, Kraemer dan lainnya) dan pertumbuhan epicycle-nya (pada Rahner, dan lainnya) yang menanggap bahwa Yesus Kristus adalah pusatnya, makin tidak mungkin menerangkan perkembangan agama-agama lain. Karena itu ia melakukan revolusi Kopernikan dalam bidang pemikiran teologi diperlukan, dengan mengganti Kekristenan (Yesus Kristus) kepada Tuhan sebagai pusat dari alam semesta iman manusia. Semua agama termasuk Kristen, melayani dan mengelili-Nya.” (Ibid).
Di kalangan pemikir Islam pluralis, tafsir pluralis merupakan pengembangan secara lebih liberal dari Islam inklusif. Contohnya perbedaan antara Islam dan Kristen (dan antara agama secara umum) diterima sebagai perbedaan dalam meletakkan prioritas antara “perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Penganut Islam pluralis seperti Frithjof Schuon dan Seyyed Hossein Nasr, seperti dikutip Budhy Munawar-Rachman mengatakan bahwa setiap agama dasarnya distruktur oleh dua hal tersebut: perumusan iman dan pengalaman iman. Hanya saja setiap agama selalu menanggap yang satu mendahului yang kedua . Katanya, Islam mendahulukan “perumusan iman” dalam hal ini Tawhid. Dan pengalaman iman mengikuti perumusan iman tersebut. Sebaliknya agama Kristen mendahulukan pengalaman iman (dalam hal ini pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan dalam sakramen misa dan ekaristi, dan perumusan iman ini mengikuti pengalaman ini, sehingga terciptalah rumusan dogmatis mengenai trinitas. Menurut mereka yang pluralis ini, perbedaan struktur perumusan dan pengalaman iman ini hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami Tuhan yang sama. (Ibid, 49). Tentu saja paradigma pluralis demikian ditolak oleh para pemeluk agama yang bersikap ekslusif dan inklusif.
V. Resolusi Kepincangan Pemahaman Publik dan Pemikiran Akademik
Untuk mengeliminir disharmoni intelektual, paling tidak harus dicarikan tawaran beberapa alternatif yang perlu dipertimbangkan dalam menjembatani kepincangan pemahaman publik dan pemikiran akademik tentang pluralisme. Pertama, bahwa harus dilihat pemahaman awal tentang makna semantik antara pluralisme dan pluralitas. Pluralisme dipahami sebagai paham menghormati kemajemukan filsafat kehidupan bersama adalah sesuatu yang afirmatif. Tetapi untuk pluralisme demikian tidak perlu dikaitkan dengan aqidah agama dan ibadah dalam beragama. Di luar itu, kata pluralitas lebih memadai untuk menggambarkan watak atau karakter sosiologis menjaga harmoni dan semangat kebersamaan sosial dalam kehidupan bersama yang memang terlahir dalam majemuk.
Kedua, wacana tentang pluralisme dan pluralitas sebaiknya tidak terlalu menonjol dalam menggesa fanatisme golongan tetapi untuk diarahkan untuk memotivasi kohesif dan interaksi sosial yang beragregasi dengan kepentingan bangsa ke depan dalam menghadapi tantangan budaya kosmopolitan dan globalisme.
VI. Penutup
Kenyataan pluralitas sosiosilogis tidak selalu secara otomatis membawa kepada keberkahan dan makna yang positif kalau tidak disejalankan dengan upaya yang terus menerus untuk diarahkan kepada kehidupan bermasyarakat yang berkeadaban dan bermartabat. Upaya itu menjadi amat strategis dengan mengoptimalkan peranan perguruan tinggi sebagai realisasi tanggungjawab sosialnya terhadap masyarakat dan bangsa. Harmonisasi sosial merupakan infra struktur masyarakat untuk menjadikan pluralitas itu lebih bermakna untuk kepentingan masa kini dan masa depan. Ada hal-hal yang rawan dalam relasi pluralitas masyarakat selain masalah sosio-kultural, ekonomi dan politik. Di antaranya adalah relasi masyarakat dan agama-agama dalam konteks berteologi .
Pluralisme agama dalam wacana teologis yang dapat membawa kepada pengertian agama itu sama saja, akan membahayakan akidah suatu agama. Maka dapat dipahami, kalau MUI melarang paham pluralisme-teologis itu di Indonesia karena akan meringankan makna eksistensi akidah suatu agama bagi para pemeluknya. Akan tetapi wacana pluralis-teologis cukup signifikan untuk perkembangan ilmu pengetahuan seperti kajian terhadap berbagai filsafat temasuk dari yang paling masuk akal sampai kepada yang utopis. Bahkan mempelajari komunisme dan atheisme untuk ilmu pengetahuan adalah diperlukan untuk mengetahui jalan pemikiran dan alasan-alasan mereka.
Dengan begitu akan ada kesabaran intelektual dan hati untuk meletakkan mereka yang berbeda pendapat sebagai manusia yang bebas berfikir dan tidak membawa kepada kepanikan apalagi gesekan fisik. Oleh karena itu sebaiknya wacana pluralis untuk kalangan awam tidak dikaitkan dengan cara bertawhid atau pemikiran iman atau filosofis-teologis. Wacana peluralis lebih relevan untuk mengatur kemajemukan masyarakat atau tataran sosiologis, kultural, ekonomi dan politik. Sehingga tercipta kehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat. Allah a’lam bi al-shawab. E-mail : shofwan2004@yahoo.com.com.
Daftar Kepustaakaan
Asykuri Ibnu Chamim, dkk . 2002. Pendidikan Kewarganegaraan: Menuju Kehidupan yang Demokratis dan Berkeadaban. Yogyakarta: Diktilitbang PP Muhammadiyah-The Asia Foundation.
Mohammad Hatta. 1976. Tanggungjawab Kaum Intelegensia. Jakarta: Bulan Bintang.
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
T. Jacob dalam Mandiri Sianipar. 1984. “Perguruan Tinggi sebagai sumber Kader Bangsa”. Pendidikan Pilitik Bangsa. Jakarta: Sinar Harapan.
M. Habid Mustopo, Ed. 1983. Ilmu Budaya Dasar: Kumpulan Essay Manusia dan Budaya. Surabaya: Usaha Nasional.
Koentjaraningrat. 1979. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan.
Parsudi Suparlan,Ed. 1984. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya: Bacaan untuk MKDU, Khususnya ISD. Jakarta: Konsorsium Antar Bidang Depdikbud dan Rajawali.
Deliar Noer. 1990. Mohammad Hatta; Biografi Politik. Jakarta: LP3ES
Sahar L. Hasan, Ed. 1998. Memilih Partai Islam: Visi, Misi dan Persepsi. Jakarta: Gema Insani Press.
Sutopo Yuwono dalam Alfian, Ed. 1985. “Persepsi Ketahanan Nasional terhadap Kebudayaan”. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta : Gramedia.
Tobroni-Syamsul Arifin. 1994. Islam, Pluralisme Budaya dan Politik. Yogyakarta: SI Press.
Budhy Munawar-Rachman.2001. Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina.
[1] Diskusi Dosen Pemikiran Islam pada jurusan Aqidah-Filsafat Fak. Ushuludin IAIN Imam Bonjol, Rabu, 27 Desember 2006.
[2] Drs. H. Shofwan Karim, MA adalah Lektor pada jurusan Aqidah-Filsafat Fak. Ushuluddin IAIN Imam Bonjol Padang .
[3] Ke-5 fatwa lainnya itu adalah perlindungan hak kekayaan intelektual; perdukunan (kahana) dan peramalan (‘irafah); kriteria maslahat; pencabutan hak milik pribadi untuk kepentingan umum; hukuman mati dalam tindak pidana tertentu.
[4] Shofwan Karim, makalah, “Pluralitas dalam Kehidupan Bermasyarakat yang Beradab dan Bermartabat” disampaikan dalam acara penataran dan lokakarya nasional, mata kuliah ISBD, Auditorium UNP, Padang, Rabu 7 Juni 2006.
[5]
13- Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
[6]
22- Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.
[7]
48- Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,
Komentar