DMDI ke 5 (sambungan)




Konvensi Dunia Melayu Dunia Islam 5 (4):
Ekonomi, Pelancongan dan Pelayanan yang Prima
Oleh Shofwan Karim


Hasil Lokarkarya dilaporkan di dalam rapat pleno terakhir Konvensi DMDI, pada pagi hingga tiba waktu sholat Jum’at (8/10) siang. Setelah menggambarkan secara singkat produk Biro Dakwah, Pendidikan dan Iptek, pada tulisan sebelum ini, penulis selanjutnya ingin melukiskan produk atau dalam konvensi ini disebut resolusi biro ekonomi, pelancongan (pariwisata), wanita, belia (pemuda) dan budaya.
Semua resolusi dibuat berdasarkan masukan sebelumnya dari berbagai secretariat DMDI subregional atau provinsi. Sekretariat Sumbar, misalnya, telah memasukkan 18 usulan untuk semua biro. Resolusi juga merangkumi out-put (hasil) lokakarya sehari penuh sebelumnya (Rabu, 6/10). Lalu ditambah dengan statement atau pidato (Kamis, 7/10) masing-masing Gubernur dari provinsi dan negara DMDI.
Di antara gubernur yang memberikan pidato adalah Tengku Rizal Nurdin Sumut, Gubernur Bangka Belitung, Gubernur Kepulauan Riau dan Gubernur Riau Rusli Zainal, Wakil Gunernur Sumsel serta Gubernur Mindanau Filipina Selatan. Yang terakhir ini adalah gubernur yang tetap bertahan bersama seluruh delegasinya, memberikan masukkan pada pagi sampai Jum’at siang itu. Mereka bicara dalam bahasa Inggris karena tak bisa bahasa Melayu dan tidak dalam bahasa Tagalog karena hadirin tak mengerti Tagalog.
Kembali ke Biro Ekonomi. Pelapor biro ini adalah Puan Suriyati Abdullah peserta dari Kantor (disini disebut jabatan) Pelajaran Melaka. Pada dasarnya resolusi bidang eknomi ini melahirkan beberapa agenda konkrit dalam trading-business. Untuk hal ini, delegasi Sri Langka menginginkan ada pertemuan khusus DMDI .
Akan tetapi dari delegasi Indonesia seperti dikutip oleh Puan Suriyati menginginkan hal itu diserahklan ke masing-masing negara. Namun Indonesia setuju diperlukannya kelembagaan semacam Business-Council. Di Dewan Bisnis itulah dikembangkan jaringan bisnis antar negara DMDI. Lembaga ini diharapkan bertanggungjawab memberikan bimbingan dan info serta perta pembinaan kepada pebisnis DMDI.
Kenyataan yang tak bisa ditampik ialah adanya kasus pada beberapa negara DMDI keadaan birokrasi yang agak berbelit. Dengan tidak menyebut negara mana, resolusi meminta bahwa lembaga itu harus memberikan bimbingan kepada pebisnis DMDI untuk mempelajari secara seksama birokrasi, peraturan dan proses bea-cukai serta pengetahuan lintas-batas antar negara.
Menurut ingatan penulis, ada usulan ideal tahun lalu yang masih muncul di dalam resolusi tahun ini. Menerapkan secara berterusan sistem pembayaran menggunakan dinar emas dalam aktiviti DMDI. Usulan itu malah setelah penulis pelajari, bahkan sudah ada sejak berdirinya DMDI 5 tahun lalu, namun belum pernah terealisasikan. Sayang, konsepsi ideal itu tidak memberikan solusi konkret bagaimana pelaksanaannya.
Berikutnya, ada agenda peningkatan kerjasama Dewan Perniagaan Melayu Melaka dengan Kamar Dagang dan Industri di negara DMDI. Meskipun penulis tidak melihat ada peserta dari Kadin Sumbar, tetapi ada usulan untuk membuka pameran dagang pada Rumah Minang. Usulan ini mungkin datang dari delegasi Sumbar yang hadir pada bilik biro ekonomi dua hari sebelumnya.
Di samping hal-hal yang ideal, dicanangkan pula beberapa bentuk bisnis kecil dalam membantu komunitas negeri DMDI. Kita di Indonesia mungkin menyebutnya Usaha Kecil Menengah (UKM). Misalnya modal bergulir untuk keluarga DMDI miskin seperti peternak dan penggemukan lembu (sapi).


Seperti banyak biro lain yang memberikan perhatian kepada kaum Melayu Muslim di Kamboja, pada biro ekonomi hal itu juga nampak menjadi focus. Misalnya, diharapkan DMDI membuat proyek pelatihan bisnis kecil bagi keluarga miskin di negeri ini. Memberikan bantuan alat-alat produk kerajinan rumah tangga.
Peranan pebisnis kalangan wanita juga diminta untuk ditingkatkan di samping penggalakan pameran pada tahun depan. Tahun ini pameran itu cukup besar. Digelar sejak berlangsungnya DMDI dengan berbagai acara pendahuluan sejak 1 Oktober lalu.
Di lantai dasar MITC terdapat sekitar 500 Stand berbagai produk negeri-negeri DMDI. Dari Sumbar ada 3 daerah yang ikut pameran. Ketiganya Kabupaten Agam, Kota Bukittingi, dan Kabupaten Solok Stand Agam yang sempat penulis tinjau berisi contoh-contoh sulaman, produk tani dan tanaman tradisional termasuk kasia vera dan lain-lain.
Akan halnya dunia pelancongan (Pariwisata), Sawahlunto mengambil manfaat cukup besar dalam hal ini. Pada dinding ruangan lokakarya bidang ini, terpajang secara lengkap diorama dan skema kegiatan proses apa yang sekarang sedang dikembangkan oleh Sawahlunto dengan Sekretariat Pusat DMDI di Melaka.
Prof Madya Dr Amran bin Hamzah, Pensyarah (Dosen) Fakulti (Fakultas) Alam Bina, UTM, Skudai sebagai Pimpro proyek ini membentangkan kertas kerjanya. Konsep ini dikaitkan dengan Kota Wisata Tambang Sawahlunto yang sudah digerakkan oleh pemerintah kota ini sejak beberapa tahun lalu.
Belajar dari Melaka, tampaknya negara- DMDI lain, tidak perlu konsep-konsep muluk dalam pembangunan dunia wisata sebagai salah satu andalan pertumbuhan eknomi. Melaka menjual wisata budaya seperti mitos Hang Tuah . Wisata sejarah seperti benteng Portugis. Taman burung, dan kebun buah, beberapa univeristas dan Kolej Teknologi Islam. Dan beberapa lainnya lagi.
Semua itu dibungkus menjadi objek wisata. Sarana dan prasarana amat menunjang. Kotanya bersih. Jalan-jalannya lebar. Keamanan terjamin. Tranportasi cukup. Terminal Bus, baik. Pelabuhan laut dan udaranya cukup memadai. Harga-harga barang bersaing dan dapat ditawar dengan kualitas yang cukup baik. Hotel-hotel tersedia. dan lebih dari itu Melaka menjadi tujuan wisata kesehatan pada beberapa tahun belakangan ini. Tata ruang antar dan k objek-objek sepertinya tidak berjauhan.
Antara pelabuhan laut dengan Stasiun Bus berdekatan dan pusat belanja segala ada atau supermarket dan mall terasa seperti ditata demikian rupa. Yang satu arah ke kiri dan satu arah ke kanan. Bahkan kepada pusat belanja mall raksasa bisa dicapai dengan jalan kaki dari pelabuhan. Begitu pula ke Terminal Bus yang sedikit agak jauh dari mall tadi, tetapi masih bisa dicapai jalan kaki
Akan halnya wisata kesehatan, terutama dari Indonesia, orang berbondong-bondong berobat, melakukan general check-up dan treatment kesehatan di sini. Hospital (Rumah Sakit) di mana-mana mempunyai fasilitas yang cukup bahkan memiliki hotel sendiri. Layanannya terasa baik.. Hari Kamis (7/10) penulis agak demam dan menceret. Setelah acara sore hari, dekat Hotel Orkid ada Southtern Hospital. Karena panitia tidak menyediakan klinik di MITC, penulis dirujuk kesana.
Apa yang digambarkan orang pelayanan oleh tenaga medis dan non-medis, administrasi, apotik dan dokternya terasa betul bedanya dengan di negeri kita. Bahkan dokter menerangkan secara teliti tingkat demam yang penulis alami dan mengapa obat yang diberikannya hanya obat demam dan vitamin dan tidak perlu pakai antibiotic.
Katanya, demam seperti ini belum perlu anti biotic. Ada juga dokter kita yang ramah seperti ini. Tetapi jumlahnya boleh dihitung jari. Cara pembayaran dan pengambilan obat juga sangat menyenangkan. Dan harga? Penulis membayar 27 setengah ringgit setara dengan Rp 63250. (enam puluh tiga ribu dua ratus lima puluh rupiah) seluruhnya. *** (Bersambung)

Komentar

Postingan Populer