Catatan Perjalanan dari Cina (10-habis)



Persahabatan Indonesia-China sebagai warga dunia

Oleh Shofwan Karim Elha


Menurut beberapa sumber, persahabatan Nusantara dengan Tiongkok sudah hampir 2000 tahun lalu. Tentu saja yang dimaksud di sini adalah persahabatan antara Dinasti-dinasti di China dan kerajaan-keraajan di Nusantara sebelum maupun selama dan sepanjang serta sesudah Sriwijaya dan Majapahit sampai kepada kerajaan pasca Majapahit yang antara lain adalah kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Misalnya hubungan yang terjalin kuat sejak Laksamana Cheng Ho mengunjungi Sumatera sekitar 700 tahun lalu.

Akan tetapi di dalam era moderen, tentu saja persahabatan antara Nusantara dan Tiongkok itu diganti dengan persahabatan antara Indonesia dan China setelah Indonesia merdeka 1945 dan berdirinya RRC pada 1949. Pada tanggal 13 April 1950 kedua negara menjalin hubungan diplomatik secara resmi. Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 dan Lima Prinsip Hidup Berdampingan dengan Damai dan Dasasila Bandung yang ternama merupakan sumbangan terpenting dari negara-negara baru Asia Afrika, termasuk RI dan RRC dalam rangka membangun kembali kesamaan derajat hubungan negara dan keadilan tata tertib internasional.

Pada tahun 1955 bahkan sudah ada Perhimpunan Persahabatan Indonesia-China yang pertama. Tentu saja ini suatu lembaga yang sudah menjadi jamak semasa itu seperti Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Amerika, Indonesia-Belanda, Indonesia-Jepang, Indonesia Inggris dan seterusnya. Akan tetapi khusus untuk Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Cina ditutup oleh Orde Baru dengan Surat Edaran Kabinet Ampera pada tahun 1966. Baru pada tahun 1998 upaya menghidupkan kembali lembaga ini dimulai pasca kejatuhan Soeharto. Di era Abdurrahman Wahid menjabat presiden pada 1999, barulah lembaga yang semula bernama Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok ini lahir kembali. Hanya saja kali ini namanya berubah menjadi Perhimpunan Persahabatan Indonesia-China (PPICh).

Pada masa itu, kata “China” dianggap penting ditegaskan karena berbeda dengan “Cina”. Pemerintah RRC sendiri memakai pelafalan ini, sementara “Cina” adalah kata yang dibuat Orde Baru dengan stigma tertentu. Tetapi sekarang, stigma itu sudah tidak ada lagi. Oleh karena itu kata “Cina” yang sudah sesuai dengan kaidah Bahasa Indionesia, tidak mengandung makna pejoratif (merendahkan) lagi. Namun, perhimpunan tadi tetap memakai kata China sehingga akronim sebagai Perhimpunan Persahabatan Indonesia-China (PPICh), belum berubah. Organisasi ini adalah satu-satunya organisasi persahabatan kedua negara yang bersifat G to G atau dari pemerintah ke pemerintah kedua negara. Didirikannya pun dengan SK Menteri Luar Negeri yang ketika itu dijabat Prof. Dr. Alwi Shihab.

Seperti diketahui, menurut data yang dikemukakan oleh Kedubes RRC beberapa waktu lalu, Indonesia adalah negara dengan volume perdagangan nomor 17 bagi RRC. Sementara RRC malah nomor empat terbesar bagi R.I. Hal ini menunjukkan betapa penting dan strategisnya RRC bagi RI tentu juga sebaliknya. Tampaknya persahabatan dengan Cina amatlah strategisnya dan ternyata sekarang sudah tidak ada masalah psikologis lagi. Hal yang telah dirintis oleh Presiden Gus Dur dan Megawati beberapa tahun lalu itu, kini diikuti boleh pemerintah SBY-JK. Beberapa waktu lalu Presiden Cina Hu Jintao berkunjung ke Indoneisa, dan SBY dua pekan lalu hadir di KTT Masyarakat Asia Eropa di Cina dan sebelumnya dulu JK sudah berkunjung ke Cina. Isyu terakhir adalah soal penjualan Gas Papua Tangguh Indonesia ke Fujian, Cina yang kontraknya 25 tahun ke depan harus dinegosiasi ulang karena terasa merugikan Indonesia.

Sebenarnya, disamping upaya pemerintah dan semi pemerintah dalam menjalin persahabatan antara Indonesia Cina, tak kurang pula peranan rakyat kedua Negara. Diantaranya yang amat menonjol adalah organisasi yang didirikan oleh keturunan Cina yang beragama Islam. Yang amat tersohor di antaranya adalah Pembina Iman Tauhid Islam yang dulunya disebut Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) yang didirikan di Jakarta, pada tanggal 14 April 1961. Pendirinya antara lain almarhum H. Abdul karim Oei Tjeng Hien, almarhum H. Abdusomad Yap A Siong dan almarhum Kho Goan Tjin bertujuan untuk mempersatukan muslim-muslim Tionghoa di Indonesia dalam satu wadah yang dapat lebih berperan dalam proses persatuan bangsa Indonesia.

PITI didirikan pada waktu itu sebagai tanggapan realistis atas saran Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah almarhum KH Ibrahim kepada almarhum H. Abdul Karim Oei bahwa untuk menyampaikan agama Islam kepada etnis Tionghoa harus dilakukan oleh etnis Tionghoa yang beragama Islam. Penulis jadi teringat di tahun 1980-an, Haji Beni rumah makan Pagi Sore di Pondok Padang. Lebih dua dekade lalu beliau cukup aktif di organisasi tadi. Tentu saja lembaga persahabatan lain tak kurang pentingnya. Bukan saja oleh kalangan yang menitik beratkan gagasannya tentang persahabatan lantaran agama, tetapi juga berdasarkan nilai-budaya dan kemanusiaan. Maka datangnya warga Cina ke Indonesia atau sebaliknya dengan tujuan dan kepentingan yang beragam, sebenarnya adalah termasuk dalam rangka menumbuhkan kembangkan persahabatan antara kedua bangsa sebagai bagian dari warga dunia. (Nanjing, Musim Gugur, 2008). ***

Komentar

Postingan Populer