Catatan Perjalanan dari Cina (9):



Zona ekonomi, Teknologi dan Pembangunan Nanjing

Oleh Shofwan Karim Elha

Nanjing adalah pusat komersial, pendidikan dan wisata kota terbesar kedua di regional timur Cina setelah Shanghai. Dari Shanghai ke Nanjing, dengan kereta api cepat hanya memakan waktu 2 jam dalam jarak 300 km. Dan dari Beijing ke Nanjing berjarak 1200 km. Nanjing terletak di dataran rendah Sungai Yangtze. Yang menakjubkan adalah di tengah kota Nanjing terdapat dua danau. Danau Xuanwu dan Danau Mochu.

Kemudian di belakangnya agak ke utara ada lagi ada lagi satu danau mini di kaki pegunungan Purple. Dengan danau dan pegunungan, maka bisalah dibayangkang keindahannya. Kira-kira seperti Danau Singkarak atau Danau Maninjau, terletak dalam Kota Padang yang di belakangnya ada Sungai Batang Harau dan di kejauhan ada danau di atas atau danau di bawah di kaki deretan bukit barisan. Dengan dikelilingi Sungai Yangtze dan di tengahnya tiga danau tadi, Nanjing bagaikan sepotong taman firdaus yang terpelanting ke Cina. Hijau dengan bermacam pepohonan dan tumbuhan. Bunga yang mekar indah di musim semi dan warna merah dan kuning dedaunan yang berjatuhan di musim gugur serta ada salju tipis menebar di musim dingin dalam suhu minus 1 derjat celcius.

Di dalam konsep stategis pengembangan ekonomi Cina, Nanjing menjadi pusat apa yang disebut Yangtze River Delta Economic Zone (Zona Ekonomi Delta Sungai Yangtze). Zona ekonomi terluas dalam stategi pengembangan dan pertumbuhan ekonomi negeri yang disegani Negara industri dunia itu. Sebagai bagian dari zone delta tadi, Nanjing membagi lagi tiga sub-zona: Nanjing Economic and Technological Development Zone; Nanjing New and High Develoment Industry Zone ; Nanjing Jiangning Development Zone.

Di dalam peradaban, budaya, sejarah dan peranan klasik, maka boleh dikatakan Nanjing punya posisi utama di Cina. Ibu kota provinsi Jiangsu ini menduduki posisi amat strategis dalam sejarah Cina. Sebelum boyong ke Beijing tahun 1949, ibukota Republik Rakyat Cina itu adalah Nanjing. Bahkan di zaman klasik Cina, Nanjing menjadi ibukota sepanjang sejarah beberapa dinasti. Sejak dari berdirinya kota ini tahun th. 211 M, ia menjadi pusat Dinasti Jin dengan nama kota Jiankang. Lalu menjadi ibukota Dinasti Sui. Kemudian ketika menjadi ibukota Dinasti Tang ia bernama Kota Jinling. Lalu berubah menjadi Xidu, di bawah Dinasti Yuan dan seterusnya berubah menjadi Nanjing.

Mungkin karena sejarah panjang itu, maka tak heran kalau Nanjing, belakangan memiliki dwi-fungsi. Sebagai ibukota Provinsi Jiangsu, sekaligus sebagai kota istimewa bersama 15 kota lain di Cina yang berstatus sub-provinsi. Dalam soal peradilan dan eknomi Nanjing punya otoritas sendiri. Nanjing, dengan demikian mempunyai otonomi khusus, hampir sejajar dengan provinsi.

Sepanjang sejarah klasik dan modern Cina, Nanjing menjadi pusat jaringan pendidikan, riset, transportasi dan wisata nasional Cina. Beberapa buah universitas Cina terkemuka ada di Nanjing, Salah satu di antaranya adalah Universitas Nanjing yang pernah disinggung dalam catatan edisi sebelum ini. Di luar universitas atau yang menjadi mitra universitas ada sekitar 300 Lembaga Riset. Lembaga riset di sini lebih kepada korporasi yang berorientasi aplikasi dan produktifitas. Sekaitan dengan itu, lembaga riset bekerja sama dengan korporasi merealisasikan apa yang menjadi temuan riset itu, sehingga menjadi sesuatu yang aplikatif. Oleh karena itu, ajang ekshibisi atau pameran produksi dan dagang yang hampir tiap bulan bahkan ada yang tiap pekan diadakan di Nanjing, pasti sekaligus memperkenalkan dan memamerkan hasil riset dari ratusan lembaga dan universitas tadi. Maka sebagai ajang promosi, tiap ekshibisi selalu ada hal yang baru, termasuk hasil riset teknologi dan sains intermidiate dan advance.

Tentu berbeda dengan keadaan di negeri kita. Di sini, hasil riset dari univeritas atau badan semacam itu amat sedikit yang dapat memanfaatkan atau mengoperasionalkannya. Mungkin hanya untuk rujukan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Yang lain tinggal dalam deretan ratusan lemari di perpustakaan atau di lemari kantor badan penelitian itu saja. Sedikit sekali yang bisa memberikan dampak ekonomi, kesejahteraan dan politik. Bahkan ada nuansa yang kurang enak, bahwa hasil penilitian pusat riset di Indonesia atau universitas kurang dipedulikan apalagi menggunakannya untuk membuat kebijakan. Mungkin kita memang harus belajar lebih banyak lagi ke Cina. (Nanjing, Musim Gugur, 2008). ***

Komentar

Postingan Populer