World Journey : China (4)


Catatan Perjalanan dari Cina (4):
Muslim Cina Berbahasa ArabBy Shofwan Karim Elha.

Nanjing (Singgalang, 23/10). Kemarin, di Musoleum DR. Sun Yat-sen, di sudut lain Nanjing, setelah mendaki jalan besar yang disetiap level ada gedung dan gerbang pada tingkatan lapangan ketiga, penulis dan isteri bertemu Muslim Cina. Seorang ayah membawa dua orang anaknya. Kami mengenal Shafia yang memakai jilbab. Tak tahan untuk menyapa mula-mula kami berbahasa Inggris. Tetapi Ahmad, putra sang bapak yang sedang mengupas buah apel, langsung menyambut dengan Bahasa Arab. Muhammad, sang Ayah, kemudian meminta kami ikut makan apel yang dikupas anaknya. Semua dalam bahasa Arab.

Tentu saja ini suatu yang menghibur dan bersyukur. Ingatan melayang ke nostalgia kuliah di Jurusan Bahasa Arab IAIN di awal pernikahan kami dulu. Upaya Berbahasa Arab ini di Universitas Muhammadiyah sekarang tengah diprogramkan dengan kerjasama Asian Muslim Charity Foundation. UMSB, di samping memiliki 7 fakultas umum: ekonomi, hukum, pendidikan, teknik, pertanian, kehutanan dan kesehatan, di Padang, Padang Panjang, Bukitting dan Payakumbuh, pada fakultas ilmu agama Islam di Padang, kini sedang bersemangat melaksanakan program Studi Islam dan Bahasa Arab Mahad Zubair Ibn Awwam di tempat terpisah: mahasiswa di Kampus Pasir Kandang dan mahasiswi di Kampus Ulak Karang, Padang.

Soal bahasa memang banyak kendala bagi orang asing di China. Hanya satu-dua orang saja pelayan dan petugas publik yang pandai berbahasa Inggris. Sejak dari Bandara Nanking berjarak 60 km dari kota Nanjing, sopir taksi membisu seribu bahasa. Payahnya lagi, mereka juga tidak pandai membaca aksara latin. Mereka hanya paham aksara kanji. Celakanya nasib yang sama ditemui di hotel. Hanya satu-dua petugas resepsionis dan pelayan resto dan bell-boy hotel yang pandai berkomunikasi dalam internasional ini. Karena itu bahasa isyarat (tarzan) sering dipakai oleh pengunjung Nanjing.

Ini mungkin suatu isyarat bahwa di China, sebagaimana juga di Jepang, Korea dan Perancis, bahasa Inggris tidak terlalu disukai. Bedanya kalau di Perancis, mereka hanya memang tidak suka tetapi mengerti bahasa Inggris. Sementara di Nanjing memang mereka tidak suka dan tidak mengerti sama sekali. Atau mereka sebenarnya tidak memerlukan turis berbahasa Inggeris karena turis domistik dan China perantauan yang jumlahnya mungkin hampir sepertiga penduduk bumi dapat mereka layani dengan bahasa Mandarin internasional itu.

Kembali ke Muslim China tadi, maka ingatan penulis melesat ke hampir seribu tahun lalu ketika Islam mulai merambah keluar jazirah Arabia. Apa lagi di kalangan kaum muslimin popular hadis yang sering dikutip : “tuntutlah ilmu hingga sampai ke negeri China”. Sesaat ingatan ini singgah ke sebuah pusara di sekitar Masjid Niujie ibu kota China Beijing. Di situ, tahun 1995, berkisahlah Imam Masjid Niuije, selesai kami shalat zuhur. Imam tadi membentangkan kisah Masjid ini dan pernik sejarah Islam. Imam tadi menunjukkan kepada kami (di antarnya Buya Bagindo Letter dan Uda Yonda Djabar) bahwa satu pusara di taman Masjid itu adalah pusara sahabat Rasulullah bernama Sa’ad Ibn Waqas.
Sahabat Nabi ini dianggap utusan resmi ke China pada tahun 650 M. Inilah tahun mula sejarah masuknya Islam ke China. Dinasti Tang dengan Maharaja Gaozong yang memerintah kala itu menerima utusan resmi ini. Karena dianggap suatu agama yang sejajar dengan Konfusius, maka didirikanlah Masjid sebagai penghormatan. Mungkin masjid Niujie Bejing tadi salah satu hadiah maharaja di masa lalu. Sayangnya untuk kunjungan kali ini ke China, di wilayah selatan-timur 2 jam terbang dari Beijing, kami tidak sempat berkunjung ke salah satu Masjid yang terletak di Jalan Shengzhou yang berhadapan dengan resto cepat saji KFC di sudut lain Nanjing.

Sampai hari ini, jumlah kaum muslimin di China diperkirakan ada 100-120 juta atau mendekati 9-10 persen dari 1.3 milyar lebih orang penduduk Republik Rakyat China hari ini. Beberapa suku bangsa Muslim di China yang popular adalah Suku Tang, Song, Ming, Yuan, Qing. Menurut sumber lain (http://njowo.multiply.com/journal), Republik Rakyat China memiliki 56 suku, dengan suku bangsa Han yang mayoritas. Hanya bangsa Han kebanyakan tidak beragama dan sebagian kecilnya menganut Budha, Tao dan belakangan ini ada yang Nashrani. Sedangkan suku yang memeluk agama Islam mayoritas tinggal diwilayah bagian Barat Laut, Timur Laut dan bagian Utara Tiongkok, seperti provinsi Gansu, Qinghai, Daerah Otonomi Ningxia dan Daerah Otonomi Xinjiang (4 daerah mayoritas), Propinsi Shaanxi, Yunan, bagian barat daerah otonomi Mongolia, begitu pula di Taiwan dan Ibukota Beijing. Secara kasar oleh orang asing yang tidak belajar kebudayaan Tiongkok menggangap bangsa Tionghoa dalah orang Han saja, tapi suku minoritas lainnya adalah juga bangsa Tionghoa. Artinya kaum muslimin dari berbagai suku tadi juga adalah bangsa Tionghoa. Nanjing (Singgalang, 23/10/2008)***

Komentar

Postingan Populer