Efektif Baca Otak, Kertas atau Layar?
Mana yang Lebih Efektif bagi Otak, Membaca dari Kertas atau Layar?
Bebas Akses Media Massa
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberi catatan dampak "screen time" bagi kemampuan kognitif, ketrampilan berbahasa, terlatihnya kreativitas, hingga terganggunya proses pembelajaran pemecahan masalah.
Oleh Yohanes Advent Krisdamarjati
Walau aktivitas memandang layar terus meningkat, tetapi membaca teks pada medium kertas masih lebih efektif dalam membangun pemahaman seseorang terhadap sebuah bacaan. Temuan riset di AS ini menjadi indikasi tetap pentingnya peran media cetak di tengah era teknologi digital.
Peningkatan aktivitas publik di Amerika Serikat dalam membaca teks menggunakan layar tercermin dari publikasi “Screen Time 2020 Report” yang disusun Eyesafe bersama United Healthcare. Laporan tersebut menunjukkan peningkatan screen time yang signifikan antara sebelum dengan ketika terjadi pandemi Covid-19.
Istilah screen time merujuk pada waktu yang dihabiskan untuk menonton televisi, bermain gim video, atau menggunakan perangkat elektronik dengan layar seperti telepon pintar atau tablet. Salah satu rujukan yang diangkat dalam publikasi tersebut adalah hasil survei Nielsen yang menyebutkan pada 2018 rerata penduduk di AS menghabiskan waktu memandang layar selama delapan jam per hari. Setahun kemudian aktivitas ini meningkat jadi 10 jam, dan pada 2020 mencapai 13 jam.
Hal ini terjadi karena selama pandemi Covid-19, aktivitas bekerja, bersekolah, dan kegiatan tatap muka lainnya beralih pada medium daring melalui konferensi video. Fenomena ini menempatkan peran layar perangkat elektronik sebagai pusat aktivitas sehari-hari manusia.
Di Indonesia, kebiasaan ini juga mengalami peningkatan. Data Digital 2021 yang disusun We Are Social dan Hootsuite menunjukkan waktu yang dihabiskan masyarakat Indonesia untuk mengakses internet dari beragam perangkat adalah 8 jam 52 menit. Akses itu meningkat 16 menit dibanding pada 2019. Beberapa aplikasi yang paling sering digunakan masyarakat Indonesia adalah YouTube, WhatsApp, Instagram, Facebook, serta Twitter.
Para peneliti media sejak era 1980-an menekuni subjek studi tentang pengaruh bentuk media terhadap pemahaman audiens pada suatu teks atau pesan. Minat pada subjek ini terus tumbuh seiring pesatnya pemutakhiran perangkat komputasi yang ringkas dan multifungsi seperti ponsel pintar, tablet, dan laptop. Dengan demikian layar telah menjadi pintu akses mayoritas masyarakat digital untuk mendapatkan informasi sehari-hari.
Akademisi dari bidang pendidikan, industri, komputer, dan psikologi berupaya mengungkap pengaruh bentuk media cetak dan digital terhadap daya tangkap seseorang pada sebuah teks. Virginia Clinton, asisten profesor di bidang psikologi pendidikan dari University of North Dakota, AS melakukan riset terhadap 29 publikasi sepanjang periode 2008 hingga 2018. Ia merangkum 33 eksperimen terkait efektivitas medium kertas dan layar dalam menyampaikan informasi kepada pembaca.
Hasil risetnya dituangkan dalam jurnal yang berjudul Reading from paper compared to screens: A systematic review and metaanalysis (2019). Ia menyimpulkan bahwa membaca pada kertas lebih efektif dibandingkan melalui layar. Kesimpulan ini diambil setelah Clinton menganalisis 33 eksperimen dan melibatkan 2.797 peserta dari usia anak hingga dewasa di AS untuk diteliti.
Efektivitas membaca diukur dengan memberikan materi berupa buku atau surat kabar dalam format cetak dan elektronik kepada peserta eksperimen. Selanjutnya peserta diminta mengerjakan kuis terkait materi yang telah dibaca.
Keunggulan media cetak
Dari 33 eksperimen yang dianalisis, terdapat 24 di antaranya atau 72 persen eksperimen yang menunjukkan bahwa membaca dari kertas lebih optimal dibanding dengan layar. Keunggulan kertas terletak pada format media yang memiliki dimensi tata letak.
Dimensi tata letak ini mudah dicerna oleh otak manusia. Ketika orang membaca buku atau koran, secara naluriah memperhatikan apakah teks ada di lembar kanan atau kiri buku, kemudian sudah sampai seperempat, atau setengah dari tebal buku yang dibaca. Orientasi ruang terhadap media cetak memunculkan patokan mental atau imajiner yang dapat membantu memperkuat memori untuk mengingat isi bacaan.
Sebaliknya, teks pada layar gawai tidak memiliki dimensi seperti yang terdapat pada buku atau koran. Aplikasi penyaji e-book kini dilengkapi beberapa unsur yang dimiliki oleh buku cetak, misalnya berupa animasi membalik halaman, indikator persentase berapa halaman yang sudah dibaca, dan tinta elektronik pada perangkat Kindle yang meniru buku dalam hal intensitas cahaya yang dipantulkan ke mata.
Namun inovasi tersebut masih belum sepenuhnya menggantikan sensasi fisik yang ada pada buku cetak. Membalik halaman dengan menggulir atau scrolling halaman pada sebidang layar gawai yang kecil menimbulkan kesan sempit kepada pembaca.
Keunggulan lain antara kertas terhadap layar yaitu sifatnya yang terbatas. Orang akan berada dalam kondisi fokus mencerna teks dari sebuah buku atau koran secara konsisten. Sedangkan ketika membaca lewat layar cenderung tergoda untuk melakukan aktivitas lain dengan gawai tersebut.
Mengukur efektivitas
Efektivitas membaca didasari pada dua indikator, yaitu literal reading performance yaitu kemampuan mengetahui atau menangkap fakta tersurat dari teks, dan inferential reading performance yaitu kemampuan menemukan dan memahami makna tersirat dari teks. Singkat kata, efektivitas dinilai dari kemampuan seseorang untuk mengetahui dan memahami isi pesan dari bacaan.
Hasil analisis Clinton terhadap aspek literal atau tekstual, didapati bahwa 16 dari 19 eksperimen (84 persen) yang diikuti oleh 1.629 peserta menunjukkan lebih efektif menangkap fakta dari teks yang ada pada media cetak.
Kelompok peserta yang membaca melalui media cetak, mampu lebih banyak mengingat detail informasi yang ada pada teks. Temuan ini diangkat oleh psikolog Tirza Lauterman dan Rakefet Ackermandalam laporan eksperimennya yang berjudul Taking reading comprehension exams on screen or on paper? A metacognitive analysis of learning texts under time pressure (2012).
Karya Ackerman dan Lauterman merupakan salah satu dari 33 eksperimen yang diteliti Clinton. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa pemahaman orang terhadap teks pada kertas dan layar tidak jauh berbeda ketika diujikan dalam kondisi santai atau tanpa tekanan. Tingkat pemahaman terhadap isi teks pada dua jenis medium mencapai 72 persen dari skor sempurna.
Namun ketika eksperimen diberi variabel penentu, yaitu berupa batas waktu untuk membaca, muncul selisih skor yang cukup jauh. Pembaca teks di kertas mampu meraih skor 69 persen, sedangkan yang membaca dari layar hanya meraih 58 persen saja.
Ketika berbicara tentang efektivitas membaca, maka faktor batas waktu menjadi variabel yang sangat penting memengaruhi daya tangkap. Pada waktu yang singkat informasi yang disampaikan melalui medium cetak lebih banyak diserap oleh pembaca maka dinilai lebih efektif.
keunggulan kertas terletak pada format media yang memiliki dimensi tata letak yang lebih mudah dicerna oleh otak manusia
Selanjutnya, Clinton menganalisis aspek inferensial atau pemahaman seseorang terhadap sebuah teks. Hasilnya, 10 dari 11 eksperimen (91 persen) yang diikuti 962 peserta menunjukkan pemahaman terhadap teks pada kertas lebih unggul dalam memicu memori pembaca terhadap konteks atau informasi terkait di luar materi bacaan.
Pada tataran ini pembaca sudah melampaui tahap mampu mengingat dan mencapai tahap memahami suatu topik bacaan. Hal ini memudahkan pembaca untuk menyimpan informasi dalam memori jangka panjangnya, sebab informasi yang baru diterima dapat dikaitkan dengan modal informasi sebelumnya.
Tahapan tersebut lebih sulit dicapai dengan bacaan di layar karena pembaca cenderung lebih sering melakukan pembacaan cepat atau skimming melalui gawainya sehingga melewatkan detail informasi. Pada titik ini dapat dipahami bahwa sifat alamiah medium kertas yang terbatas dibanding dengan layar gawai yang tak terbatas memiliki konsekuensi terhadap hasil pemahaman pembaca.
Berdasar temuan Clinton, bukan berarti membaca di layar lebih buruk capaiannya. Namun dalam konteks pengembangan kemampuan otak dan aspek penalaran, pembaca dituntut mampu mencerna isi teks dengan seksama, bukannya sambil lalu.
Scrolling dan konten teks pendek di media sosial, serta kecenderungan memberi perhatian hanya pada judul judulnya saja merupakan bentuk kebiasaan bermedia manusia digital. Jangan sampai terjebak hanya pada tataran literal dan tidak memahami konteks sebuah konten. Hal ini dapat menyesatkan pembaca dalam mengambil sikap.
Baca juga: "Dark Sosial" Ketika Media Sosial Menjadi Sumber Berita
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberi catatan dampak screen time bagi kemampuan kognitif, ketrampilan berbahasa, terlatihnya kreativitas, hingga terganggunya proses pembelajaran pemecahan masalah. Karenanya screentime ini tidak dianjurkan bagi anak-anak terutama yang masih berusia balita.
Di masa pandemi Covid-19 yang ditandai dengan banjir informasi di media digital, diperlukan kemampuan membaca untuk mencerna konten secara lebih jernih. Dibutuhkan momen untuk menyelami informasi secara mendalam guna menimba makna, salah satunya dapat diperoleh dari bacaan melalui media cetak. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Pola Hidup Rebahan, Antara Kesehatan dan Produktivitas
Tayang di
Komentar